COWASJP.COM –
O l e h: Roso Daras
----------------------------
INI bukan kabar burung tentang Bung Karno dan Ibu Tien Soeharto. Juga bukan gosip tentang “ada hati” di antara keduanya. Percayalah, gosip dan kabar burung itu sangat tidak bisa dipertanggung-jawabkan. Gosip murahan yang hanya bertujuan merendahkan derajat-martabat keduanya.
Akan tetapi, kisah yang ini adalah kebenaran. Bung Karno dan Ibu Tien Soeharto bersanding di satu dinding. Ingin bukti? Pergilah ke Rembang. Persisnya ke pemakaman RA Kartini di Desa Mantingan, Kecamatan Bulu. Lokasinya sangat mudah dijangkau, karena terletak di km-19 dari pusat kota Rembang menuju Blora.
Penunjuk jalan menuju ke makam RA. Kartini. (Foto: Roso Daras/CoWasJP.com)
Makam Ibu Kita Kartini sejatinya terletak di pemakaman keluarga sang suami, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, bupati Rembang yang menikahinya pada 12 November 1903. Kartini lahir 21 April 1879 di Jepara. Dus, ia menikah saat berusia 24 tahun. Perawan tua pada zamannya. Sebab, gadis-gadis era itu, sudah dipingit menginjak usia 12 tahun. Dipingit, bisa diartikan laksana sekuntum sekar yang siap disunting.
Garis Tuhan menetapkan tanggal 17 September 1904, sebagai hari wafat Kartini, dalam usia 25 tahun. Pegat-nyawa empat hari setelah melahirkan putra pertama, RM Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir 13 September 1904.
Halaman komplek makam RA Kartini. (Foto: Roso Daras/CoWasJP.com)
Kartini adalah perempuan ningrat berpikiran pesat. Ia sudah menyoal fenimisme tahun 1900-an. Bukan hanya fenimisme, tetapi juga fenimisne dan nasionalisme. Itu tercermin dalam buku Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan menuju Cahaya, kemudian disempurnakan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang), yang –antara lain— berisi kumpulan surat-surat Kartini kepada rekan wanitanya di Eropa.
Buku legendaris itu terbit tujuh tahun setelah wafatnya Kartini, tepatnya tahun 1911. Penyusunnya sorang pria Belanda bernama Jacques Henrij (JH) Abendanon yang pernah menjabat Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda (1900 – 1905).
Prasasti di kanan-kiri pintu masuk ke makam RA Kartini. (Foto: Roso Daras/CoWasJP.com)
Pemikiran-pemikiran Kartini dalam buku itu, menarik perhatian masyarakat, terutama bangsa Belanda, justru karena dipantik oleh seorang wanita pribumi.
Tak pelak, pemikiran Kartini banyak mengubah pola pikir bangsa penjajah laknat, terhadap wanita pribumi awal tahun 1900. Komposer W.R Soepratman bahkan menggubah lagu masterpiece berjudul Ibu Kita Kartini.
Tanpak penulis ziarah ke makam RA Kartini. (Foto: Roso Daras/CoWasJP.com)
Syahdan, Indonesia merdeka 1945. Presiden Sukarno mengapresiasi jasa Kartini dengan menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964. Keppres itu berisi penetapan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Bung Karno bahkan menafsir emansipasi dan gerakan feminisme Kartini dalam kitab Sarinah. Selain itu, Sukarno juga menetapkan hari lahir Kartini, 21 April, sebagai Hari Kartini.
Nah, ringkasan Keppres Bung Karno tadi kemudian digrafir di atas batu marmer putih. Batu bertulis itulah yang kemudian dipajang di dinding sebelah kanan pintu masuk makam RA Kartini di Mantingan, Bulu, Rembang.
Makam Pahlawan RA Kartini selalu ramai dikunjung para ziarah. (Foto: Roso Daras/CoWasJP.com)
Ihwal komplek pemakaman itu sendiri, sempat tak terurus. Lusuh cenderung kumuh. Adalah Ibu Negara, Ibu Tien Soeharto yang kemudian mengambil prakarsa memugar komplek makam itu. Pada tanggal 21 April 1979, bertepatan 100 tahun RA Kartini, Ibu Tien meresmikan pemugaran pesarean tersebut. Teks peresmian pun digrafir, sama seperti grafiran Keppres Bung Karno. Batu prasasti itu ditempelkan di dinding sebelah kiri, pintu masuk makam Kartini.
Dus, prasasti Bung Karno di kanan, prasasti Ibu Tien di kiri. Keduanya bersanding di pintu masuk makam wanita istimewa Indonesia: Kartini sang putri sejati. ***