COWASJP.COM – ”INDONESIA....., Indonesia......, Indonesia.....,” teriakan nasionalisme terdengar begitu gegap gempita. Itulah euforia yang sering terjadi saat atlet bulutangkis Indonesia menjuarai turnament internasional. Sayangnya, euforio itu semakin meredup, frekuensinya sudah menurun, ketangguhan negara lain telah mengikis keperkasaan atlet-atlet bulutangkis Indonesia.
Terakhir atlet bulutangkis kita tak mampu bertaji pada turnament Indonesia Open 2016. Juni lalu, Istora Senayan yang terkenal “angker” bagi pemain asing, telah menjadi saksi bisu terpuruknya atlet bulutangkis Indonesia di tahun ini.
Tetapi, apapun alasannya, saya tetap suka bulutangkis. Ada beberapa alasan pembenaran yang patut dijabarkan. Sepakbola adalah olahraga terfavorit. Setuju, itu benar adanya. Tetapi untuk prestasi dunia, bangsa kita masih berharap besar pada olahraga bulutangkis.
Selain itu, bulutangkis adalah olahraga yang aman. Saya belum pernah mendengar adanya “tawuran” massal hingga menimbulkan korban jiwa pada turnament olahraga satu ini. Saya belum pernah mendengar bulutangkis dipakai “tunggangan” politik untuk merekrut suara. Jauh berbeda dengan suporter sepakbola yang lebih besar dan kolosal. Suporter bulutangkis nggak kenal Bonek, Aremania, Jakmania dan sebagainya.
Tidak ada anggaran belanja daerah yang dihambur-hamburkan untuk pembiayaannya. Belum ada cerita tentang permusuhan antar kelompok penonton dalam turnament bulutangkis.
Malah sebaliknya, ada tendensi saling merapatkan diri saat satu sama lain saat menjalani pertandingan. Pendukung satu dan lainnya saling berharap bisa lebih kenal. Olahraga dengan pemisah jaring/net di tengah, tentu mustahil terjadi “full bodycontact” yang menyebabkan cedera. Dan, banyak lagi hal positif yang belum bisa saya uraikan satu per satu.
Ada keprihatinan yang mengoyak relung hati saya. Salah satu olahraga yang bisa membawa nama harum bangsa ini, mengapa semakin mundur?!
Saya suka bulutangkis, sayangnya saya tidak sepenuhnya mengerti seluk beluk dan metode pembinaan perbulutangkisan. Karena itu, bisanya hanya prihatin.
Ingin rasanya, setiap saat melihat pertandingan bulutangkis ditayangkan televisi nasional. Saya membayangkan media-media cetak kita sering mengulas bulutangkis. Nyatanya, itu hanya “di angan-angan”, seperti lagunya Gombloh.
Saat ini, pemberitaan dan penayangan bulutangkis tak akan mampu meningkatkan ratting acara dan omzet iklan. Sangat bertolak belakang dengan event-event sepakbola dunia. Saya kira inilah kendala utama, mengapa harapan itu hanya seperti judul lagunya Gombloh “di angan-angan”.
Pada tahun 2014, saya bersama beberapa teman yang sepaham, mendapat kesempatan untuk mengobati rasa keprihatinan dan kekecewaan. Point entry yang bisa dijadikan peluang adalah terjadinya pergantian pimpinan baru di tubuh Pengprov PBSI Jatim. Kebetulan sekali, ada program kerja yang namanya Shuttle Time, sebuah program pengenalan bulutangkis pada anak-anak secara dini dengan metode permainan.
Selain ketua Pengprop PBSI Jawa Timur baru, Oei Wijanarko Adi Mulya, SE., sosok sekretaris I, Eddy Prayitno adalah orang yang sangat antusias dalam mensosialisasikan Shuttle Time. Sementara H. Nursalim, sosok baru dalam kepengurusan Pemprov PBSI Jatim sebagai Kasubid sponsoship dan pemasaran, merespon program ini sebagai langkah awal dalam menjalan tugasnya.
Dengan mengembangkan Shuttle time, diharapkan bisa memicu pertumbuhan klub di daerah-daerah dan merangsang individu, lembaga mapun perusahaan untuk ikut memberikan kontribusi di dalam pengembangan regenerasi bulutangkis.
Pasangan ganda campuran asal Indonesia, Tontowi Ahmad (kiri) dan Liliyana Natsir. (Foto: TIMES Indonesia)
KEBANGKITAN LAMONGAN
Kekecewaan dan keprihatian berpadu dengan harapan baru. Tercetuslah sebuah event yang bertajuk “Shuttle Time On The Road”. Menggandeng Muspida Lamongan, KONI dan beberapa perusahaan sponsorship, perhelatan ternyata sukses luar biasa.
Event ini sempat dibukukan dalam rekor MURI, sebagai peserta anak-anak usia dini terbanyak dalam program Suttle Time. Melibatkan 2 pelatih nasional, 27 tutor provinsi Jawa Timur, 60 guru-guru SD dan 1.480 siswa-siswi sekolah dasar.
Yang istimewa, hadirnya Development Manager Badminton World Federation (BWF) John Shearer sebagai perwakilan federesi bulutangkis dunia, perwakilan Asia, Wakil Sekjen Pimpinan Pusat Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PP PBSI) Achmad Budiharto, Ketua Pengprov PBSI Jatim Widjanarko Adi Mulya, Kabid Pembinaan Prestasi PP PBSI Rexy Mainaky yang juga juara dunia 1995 bersama Ricky Subagja dan Bupati Lamongan H. Fadeli.
Tidak terhenti di situ, event lanjutan diadakan. Turnament Bupati Open Lamongan tingkat Jawa Timur, plus beberapa undangan seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan Jogyakarta. Perhelatan ini pun, menurut saya, sukses luar biasa. Kota-kota yang diundang hadir semua, bahkan atlet yang mengikuti turnament jauh melebihi perkiraan, overload.
Lebih istimewa lagi, salah satu atlet Lamongan, berhasil menyabet gelar juara I, single putra pemula. Lamongan yang selama ini belum punya nama di tingkat provinsi, tiba-tiba salah satu atletnya mampu menyabet gelar juara, unbeliveable.
Dua event di tahun yang sama memaksa komunitas bulutangkis Jawa Timur menoleh Lamongan. Keberadaan Lamongan di kancah bulutangkis mulai diperhitungan. Hal ini membuat saya semakin teropsesi untuk mengembangkan bulutangkis di Lamongan.
Juara tunggal pemula putera kejuaraan Bulutangkis Bupati Open Lamongan. (Foto: dok CoWasJP.com)
Sayangnya harapan itu kembali pada kondisi yang sesungguhnya. Di tengah kebanggaan masih ada saja kegundahan. Perilaku media lokal ternyata juga mempunyai karakteristik yang similar dengan media-media pusat, baik cetak maupun elektronik. Hukum ekonomi menjadi pijakan utama. Kalau tak menambah keuntungan untuk apa? Tak ada yang salah, dan tak ada yang bisa disalahkan. Tak ada satu pun norma dan pasal-pasal hukum yang dipakai acuan untuk menyalahkan mereka.
Media lokal cenderung memberitakan atlet-atlet lain, ketimbang mengekspos sukses atlet daerahnya sendiri. Sekilas hal ini bukanlah persoalan. Namun, bila mau menengok lebih dalam, ada nuansa “bargaining” yang sudah membudaya. Dan, yang lebih menyakitkan, salah satu oknum penulis olahraga media lokal adalah pejabat penting di jajaran KONI Kabupaten.
Mengapa tidak ada keinginan untuk membanggakan atlet asuhannya sendiri? Mengapa harus terjebak dalam alur konsep ekonomi? Pertanyaan yang tak mempunyai jawaban.
Ada satu lagi pemberontakan saya menyikapi kemunduran prestasi bulutangkis Indonesia. Di hadapan para punggawa Pengprov PBSI Jawa Timur yang baru, saya ngotot untuk memakai tabloid yang bernama MBIS (Maju Bersama Indonesia Sejahtera) dalam rangka menyosialisasikan program-program kerja Pengprov PBSI dan teknis serta pola latihan yang benar dalam pembinaan bulutangkis.
Intinya, tabloid ini dipakai sebagai informasi dan sosialisasi segala pernak-pernik bulutangkis. Salah satu tujuannya adalah peningkatan kualitas program latihan dan pembinaan. Disebarkan secara gratis ke seluruh klub-klub bulutangkis di Jawa Timur melalui pengkab/kota PBSI. Pembiayaannya melalui Optik Nusa Group dan iklan perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengan perbulutangkisan.
Kalau mau jujur, saya merasa tidak pede dan nervous saat mempersantasikan gagasan tersebut. “Lha wong nulis aja gak pecus, kok cek ngotot-e mau membuat tabloid bulutangkis.’’ Begitu kira-kira “kicauan” dalam benak saya.
Namun, hal yang mendorong saya menjadi “bonek” adalah keinginan yang besar untuk memberikan konstribusi dalam tumbuh kembangnya perbulutangkisan di negeri ini.
Alhasil, mereka setuju. Jadilah tabloid MBIS sebagai media sosialisasi proram kerja dan informasi seputar pernak-pernik bulutangkis. (*)