COWASJP.COM – JAGAT jurnalistik olahraga kehilangan salah seorang wartawan terbaiknya, yaitu Kholili Indro atau biasa disapa KO. Itu kode yang dipakai dalam setiap tulisannya di Jawa Pos (JP).
Bapak dua anak itu mengabdikan hidupnya dengan menulis pyur berita-berita olahraga di JP hingga menghadap Illahi, Sabtu malam (23 Juli 2016), beberapa puluh menit menjelang hari Minggu (24 Juli 2016). Pernah almarhum ditugaskan membantu JTV sebentar, itu pun tak jauh dari dunia olahraga dan akhirnya ditarik lagi ke JP.
Jadilah Cak KO – begitu saya biasa menyapa alumnus AWS Stikosa itu – menjadi satu-satunya wartawan olahraga di JP paling senior yang masih aktif.
Saya kenal pria kelahiran Gresik ini ketika masih bergabung Cenderawasih Pos (Cepos), anak perusahaan JP Group di Jayapura, 1994 silam. Saat itu saya bermaksud wawancara pemain Petrokimia Gresik yang akan bertanding dengan Persipura, Jayapura, di Hotel Dafonsoro, Jayapura. Saat naik ke lantai dua di ruang makan sudah ada KO sedang wawancara dengan Jacksen F Tiago, striker Petro Kimia. Saya pun ikut nimbrung.
Kholili Indra semasa hidupnya (kiri) dan Abdul Muis. (Foto: Amu CoWasJP.com)
Setelah wawancara Cak KO mampir ke kantor redaksi Cepos di Jalan Sam Ratulangi, Dok V, Jayapura. ‘’Jackson stress berat, tidak bisa main karena akumulasi kartu kuning di Ujungpandang (Makassar, Red) saat Petro berhadapan PSM,’’ tutur Cak KO. Setelah mengirim berita ke Surabaya, Cak KO saya antar balik ke hotel berjarak sekitar 1 km.
Kenal kali pertama, saya tangkap KO orangnya kalem, ramah, banyak senyum dan bicara seperlunya saja. ‘’Bahari, saya sudah sampai di Surabaya. Maaf ya...tidak sempat pamit,’’ kata Cak Ko di seberang telepon.
Setelah tiga tahun bersama Cepos, tahun 1996 saya bergabung Jawa Pos setelah ditolong masuk Cak Abror yang saat itu menjadi Redpel. Sedangkan Pimrednya Solihin Hidayat. Saya memilih bergabung kompartemen OR (olahraga) karena saat itu saya rasakan redaksinya penuh kekeluargaan.
Dari kiri Nino Sutrisno (pelatih Persebaya), Risdianto (legenfa Timnas PSSI) dan sahabatnya di Jawa Pos Abdul Muis. (Foto: Amu CoWasJP.com)
Kompartemen OR di bawah Suhu atau Slamet Oerip Prihadi (SOP) tidak terlalu formal. Kadang, rapat kompartemen OR dilakukan di kantin sambil ngopi dan rokok-an. Tapi, tetap serius.
Suhu juga sangat ngayomi wartawannya dan menghargai anak buahnya, tak peduli yunior sekali pun seperti saya. Selama memimpin OR saya tidak pernah melihat Suhu marah apalagi membentak bentak anak buahnya.
Bahkan saya dengar Suhu tak jarang pasang badan kalau Dahlan Iskan (DIS) kurang puas atau tak berkenan atas tulisan wartawan olahraga. Saat itu DIS masih aktif dan kerap cawe-cawe terhadap semua berita di JP.
Apalagi, sebelum gabung JP dan masih menggarap berita-berita JPNN yang juga berkantor di Karah Agung, saya sudah kenal Cak Fu karena saya sering nunut mobilnya kalau pulang kerja sampai RSI Wonokromo dari Karah Agung. Begitu juga Cak Amu. Hubungan wartawan dan redaktur di OR cukup cair.
Cak Amu misalnya, menugasi saya wawancara para lurah yang wilayah kerjanya menjadi basis Bonek untuk berita bersambung. Sebab, saat itu para Lurah diminta Cak Narto (Walikota Surabaya yang juga Ketua Umum Persebaya) mendistribusikan tiket setiap Persebaya bertanding. Tak jarang Lurah mengaku dipisuh-pisuhi (diumpat) Bonek karena tak kebagian tiket. Atau bajunya suwek karena ditarik tarik Bonek yang rebutan tiket. Juga nonton bareng bersama legenda Persebaya, mantan playmaker Budi Juhannis, di kantornya saat Persebaya bertemu PSM Makassar di semifinal 1997.
Yang saya ingat pesan Cak Fu sampai kini dalam membuat berita harus fokus, tidak melebar ke mana-mana. Sedangkan Cak Amu saat ngedit sering memanggil saya. Di situ saya diajari bagaimana membuat lead atau pembuka berita yang menarik serta menggali kedalaman berita. ‘’Nek gawe berita, masio dibengoki redaktur nggak usah direken nek gorong mari. Nek kesusu koen kirim terus onok salahe tambah diuring-uring. Isok tambah suwe ndandani beritane. Makane, nek berita wis yakin lengkap, kelar, baru dikirim, Har (bagitu Cak Amu memanggil saya),’’ wejang Cak Amu. Di OR juga ada redaktur Cak BIK yang bolak balik Jakarta-Surabaya.
SELALU SENYUM: Dari kiri, Taufik Lamade, Kholili Indro almarhum (tengah) dan Ariyono Lestari dalam salah satu acara. (Foto: dok.CoWasJP.com)
Wartawan OR di Surabaya saat itu bisa dihitung jari. Ada Kholili Indro (KO) yang ngepos di Persebaya, Don Kardono (DON) ngepos di Mitra Surabaya, DR Imron Mawardi (RON) ngepos di Petrokimia Gresik dan Gelora Dewata milik Pak Mislan yang bermarkas di Sidoarjo. Endi M. Saputra (EMS) wartawan paling muda ngepos di tinju, basket dan berita OR internasional. Saya sendiri tidak punya pos.
Cari berita berdasarkan penugasan redaktur atau blusukan sendiri. Yang terakhir itu kerap saya lakukan. Saya juga kulo nuwun sama Cak KO membantu peliputan Persebaya yang saat itu menjadi the dream team karena bertabur pemain bintang. Tim asuhan duet pelatih Rusdy Bahalwan dan Subodro ini dihuni antara lain Aji Santoso, Eri Irianto, Bejo Sugiantoro, Anang Ma’ruf, Chairil ‘’Pache’’ Anwar, Mursyid Effendi, trisula Brazil striker Jackson F. Tiago, Carlos de Mello di tengah dan satu di stopper atau pemain belakang. Saya lupa namanya. Dan, terbukti 1997 Persebaya juara dengan menaklukkan Bandung Raya di final Gelora Bung Karno.
Apa reaksi Cak KO? Arek Desa Indrodelik, Bunga, Gresik itu, yang kelak nama Desa Indro dijadikan nama belakangnya menjadi Kholili Indro tak hanya sangat welcome. Tapi, juga mengenalkan saya kepada pemain Persebaya dan pengurusnya. Sampai membantu wawancara segala. ‘’Ayo wawancarai Eri (Eri Irianto (almarhum) Bah. Kode saya di tiap berita BH, tapi Cak KO selalu memanggil Bah. Mungkin Cak KO risih atau saru memanggil saya BH),’’ pinta Cak Ko di Mess Persebaya, JL Karanggayam.
‘’Wayahe koen sing nulis Bah,’’ ujarnya memberi semangat. Sama sekali tak tersirat di matanya pos liputanya direbut, atau merasa tersaingi dengan yuniornya. Sebaliknya, Cak KO sering mengajak diskusi soal berita OR kekinian dan memberi masukan informasi terbaru dan menarik terkait berita yang layak diliput. Jadilah di lapangan Cak KO partner terbaik saya selama meliput OR.
Cak KO tak hanya piawai menulis berita sepakbola, tapi juga handal meliput tinju. Hampir tidak ada petinju, pelatih bahkan promotor tinju di Jatim yang tidak kenal Cak KO. Mulai promotor Aseng, Mohamad Yunus pelatih Sasana tinju Akas Probolinggo dan tokoh tinju lainnya akrab dengan Cak KO.
Itu karena Cak KO pintar merawat sumber berita. Artinya, hubungan atau kontak dengan sumber berita tak hanya dilakukan saat wartawan butuh informasi atau konfirmasi berita . Tapi, Cak KO selalu menjaga hubungan baik, merawat sumber berita meski hanya sekedar telepon menanyakan kabar si narasumber. Hingga sumber berita merasa di-wong- no (diorangkan atau dihargai). Tak hanya dihubungi saat wartawan butuh berita. Itu kelebihan Cak KO dibanding wartawan lain.
Walaupun dalam keadaan sakit beliau tetap masuk kantor, seperti tampak dalam foto ini Kholili Indro (kiri) dan Agus Sariyanto (mantan pemain Niac Mitra). (Foto: dok.CoWasJP.com)
Cak KO pun selalu mendapat bocoran terkait isu terhangat berita-berita olahraga. Baik di sepak bola maupun tinju. Tak heran, soal produktivitas berita pun jangan ditanya. Sehari nulis lima sampai tujuh berita itu hal biasa bagi Cak KO. Selain karena jumlah wartawan minim, halaman OR saat itu tergolong banyak. Bahkan tak jarang satu halaman OR isinya semua kodenya KO. Benar-benar luar biasa di zaman keemasannya. ‘’KO itu hebat. Satu KO sama dengan dua wartawan atau bisa lebih,’’ celetuk DR Imron Mawardi kepada saya di kantor Karah Agung saat itu.
Cak KO juga ringan tangan dengan teman wartawan OR lainnya. Kalau ada yang libur atau tugas luar kota atau keperluan lain dengan enteng Cak KO menggantikan pos wartawan OR yang bersangkutan. Sekali pun tidak pernah mengeluh. Orangnya enakan. Di kompartemen OR selalu ditekankan wartawan di lapangan harus komunikasi, saling koordinasi hingga kalau ada yang libur posnya bisa dipantau rekannya.
Selain itu, Cak KO juga rajin memotret. Karyanya, foto kaki pemain sepak bola patah saat berebut bola mendapat penghargaan sebagai foto terbaik. Yakni, Piala Prapanca PWI Jatim 1994. Atas komitmennya memajukan OR di Jatim dan tetap konsiten menulis berita-berita OR meski kondisinya sakit-sakitan, PWI Jatim pun memberi penghargaan Achievement Award Siwo PWI Jatim 2016 yang diserahkan di Banyuwangi. Karena kondisi kesehatan tak memungkinkan, penghargaan itu diterima dan diwakili istri dan anak Cak KO di Banyuwangi.
Foto pemain sepak patah kaki itu dibesarkan, dipigura dan dipajang di ruang tamu rumahnya. Cak KO juga rajin menyimpan foto-foto hasil liputannya. Dan, kerap foto lawas itu di-share ke akun FB-nya. Jadilah, Cak KO peng-arsip foto lawas OR yang langka. Banyak pemain, pelatih dan pengurus setelah melihat fotonya dishare Cak KO di-FB minta dikirimi.
Selain pintar merawat sumber berita, Cak KO orangnya ngalahan, tidak konfrontatif. Ketika Cak KO tahu saya eker-ekeran dengan seorang tokoh Persebaya di Lapangan Tambaksari saat Persebaya bermain tanpa penonton, beliau memberikan nasihat yang bijaksana.
Pemicunya, ada kursi kosong di samping tokoh tadi. Tapi, tidak boleh ditempati, meski saya sedang meliput. Alasannya, karena ada temannya yang akan datang. Padahal, stadion sudah ditutup dan tidak ada lagi penonton diperbolehkan masuk. Saya kesal dan marah’ ‘’Podo-podo gak bayar ae koyok sing duwe stadion,’’ semprot saya. Akhirnya, wartawan lain menengahi.
Esoknya, di kantor saya pun dinasehati Cak KO yang mendengar keributan tadi. ‘’Ojok ngono Bah ambek narasumber. Engko gak dikeki (diberi) informasi,’’ ingat Cak KO penuh kebapakan. Saya hanya mengangguk.
Kholili Indro saat di besuk sahabatnya Abdul Muis (amu). (Foto: dok.CoWasJP.com)
Sebaliknya, Cak KO diam saja kalau posisi rekannya mungkin benar. Ceritanya, saat itu tahun 1997, Persebaya yang bertabur bintang berhadapan Mitra Surabaya tim sekotanya. Mitra pun kalah telak. Saya lupa skornya. Kalau tidak salah 7 - 1 untuk Persebaya.
Mungkin untuk menutupi ‘’malu’’ Jawa Pos bikin tulisan analisis ada Brazil Connection. Sebab, Dahlan Iskan saat itu menjadi pengurus Mitra Surabaya. Begitu pun manajer timnya dijabat Don Kardono, yang juga wartawan OR JP. Tapi, anehnya kode tulisan yang muncul ‘’KO’’. Sampai sekarang pun saya masih penasaran siapa sebenarnya penulis ‘’Brazil Connection’’. Apakah benar-benar KO atau hanya kodenya yang dicatut. Saya belum tahu, dan tidak mau tahu.
Intinya dalam tulisan itu, Da Costa pemain belakang Mitra Surabaya sengaja ‘’dikorbankan’’. Da Costa dituduh main mata dengan memberi peluang, atau membiarkan Jackson F Tiago mengacak-acak pertahanan Mitra hingga kalah telak. Pengurus Mitra Surabaya pun berencana menjatuhkan sanksi berat kepada Da Costa.
Saya yang melihat langsung pertandingan Persebaya vs Mitra Surabaya di Tambaksari, melihat tulisan itu mencari-cari kesalahan pemain Mitra dengan mengaburkan kondisi riil pertandingan di lapangan. Sebab, faktanya Mitra Surabaya memang kalah jauh dengan Persebaya.
Akhirnya, saya temui Da Costa di penginapannya Apartemen Marina. Da Costa pun membantah semua tuduhan itu. Intinya, Da Costa mengaku sudah bersikap professional sebagai pemain dengan main mati-matian melawan Persebaya. Meski ia mengaku kenal Jackson maupun Carlos de Mello karena sesama dari Brazil, tapi dia minta pengurus Mitra dan pimpinan Jawa Pos buka mata lebar-lebar bahwa Mitra Surabaya saat itu kalau jauh dengan Persebaya. ‘’Mereka harus buka mata, jangan saya malah dikorbankan,’’ kata Da Costa saat itu.
Kholili Indro (almarhum).
Akhirnya, Da Costa tidak dijatuhi sanksi oleh pengurus. Sebab, Mitra saat itu lolos empat besar ke Senayan bersama PSM Makasar, Persebaya dan Bandung Raya.
Tenaga Da Costa sangat dibutuhkan Mitra di Senayan. Nama Da Costa pun akhirnya direhabilitasi.
Tapi, saya masih penasaran dengan pengurus Mitra yang tiba-tiba merehabilitasi Da Costa. Saat ada kesempatan wawancara dengan pengurus Mitra Surabaya yang kantornya tak jauh dari kantor PWI Jatim saya tanyakan rasa panasaran itu.
‘’Apakah Da Costa direhabilitasi karena Mitra butuh tenaganya untuk empat besar di Senayan. Lalu, bagaimana soal tudingan ‘’Brazil Connection’’ pada Da Costa,’’ tanya saya. Di ruangan itu ada Soeroso Mangunsoebroto salah satu pimpinan Mitra Surabaya dan Djoko Malis. Mereka menjawab sekenanya.
Tapi, wawancara itu tidak saya tulis, sekedar saya memuaskan rasa penasarann saja. Cak KO yang ada di ruangan yang sama juga bersikap biasa saja. Tidak melarang saat saya bertanya. Saat sore tiba di kantor JP Cak KO bersikap biasa. Tidak menegur atau menasehati tentang wawancara saya tadi siang. Artinya, Cak KO bersikap profesional.
Hubungan sesama wartawan OR maupun dengan redakturnya di Surabaya cukup akrab. Sampai akhirnya, saya dipindah ke Semarang meliput PSIS, Arseto Solo dan PSIM Jogjakarta tahun 1998. Lalu, saat krisis 1999 dipindah ke Jakarta meliput berita nasional.
Meski tidak meliput di OR lagi, tapi kalau pulang ke Surabaya dan mampir ke Graha Pena kompartemen OR selalu jadi jujukan saya karena semuanya hampir saya kenal. Terlebih saat itu masih ada Cak Amu, Suhu, Cak Fu, Cak KO dan beberapa wartawan muda.
Kholili Indro (almarhum) didamping isteri tercintanya. (Foto: dok.CoWasJP.com)
Sampai akhirnya saya ditarik ke Surabaya tahun 2006. Jadinya, kami sering ngobrol apa saja dengan Cak KO dalam berbagai kesempatan karena selama ini kami sudah saling kenal. Cak KO orangnya bijak, dan selalu memandang positif setiap kebijakan redaksi. Tak pernah ngrasani pimpinan apalagi menjelek-jelekan perusahaan tempatnya bekerja. Karena itu, hubungan Cak KO baik dengan sesama karyawan maupun pimpinan JP cukup baik.
Tak heran setelah pensiun sekitar tahun 2014 Cak KO terus diperpanjang kontraknya meski kondisinya sakit-sakitan. Perpanjangan kontrak itu saya dengar dari kawan-kawan di JP, instruksi langsung dari Azrul Ananda. Selama mampu, KO dipersilakan tetap gabung JP.
Meski sudah berstatus redaktur tentunya dengan gaji lebih dari cukup, tapi gaya hidup Cak KO sederhana. Baik dalam penampilan maupun cara hidupnya. Seingat saya, saat liputan bersama Cak KO tahun 1996, beliau menggunakan sepeda motor lawas Yamaha Tahun 1975. Saat saya kembali ke Surabaya tahun 2006 bahkan sampai 2013 pun Cak KO kalau ke kantor tetap menggunakan motor yang sama: Yamaha 1975. Bandingkan dengan wartawan atau redaktur di bawahnya ke kantor umumnya sudah mengendarai mobil.
Jarang sekali Cak KO menggunakan mobil kesayanganya Carry lawas. Seingat saya hanya sesekali Cak KO naik Carry ke kantor. Seperti saat ada wartawan OR namanya Anton nikah di Tretes, Pandaan. Saya tahu karena saya nunut mobilnya Cak KO ke Tretes bersama rekan JP yang lain.
Orangnya pun tidak neko-neko. Merokok tidak, minum minuman keras tidak. Apalagi kebiasaan jelek lainnya, sama sekali tidak. Orangnya lurus, ibadah salatnya kenceng. Etos kerjanya luar biasa sampai akhirnya kanker kelenjar getah bening menggerogoti tubuhnya 2010. Tak ayal banyak orang kaget.
Pemred Jawa Pos Nurwahid (batik biru) dan Nanang Suprianto (kaos hitam) saat berbincang dengan puteranya almarhum di rumah sakit. (Foto: dok.CoWasJP.com)
Namun KO orangnya sabar menghadapi ujian sakit. Terbukti sudah melakukan kemo puluhan kali, lebih dari 40 kali, mungkin orang lain sudah tak sanggup, atau menyerah, tapi Cak KO terus berobat kemo dengan harapan ada keajaiban.
Dalam menjalani terapi penyakitnya, Cak KO orangnya sangat disiplin guna menjaga penyakitnya tidak tambah parah. Begitu tiba jam makan, Ca KO pun membuka dan menyantap menu yang dibawa dari rumah. Saya tahu itu, karena setiap makan Cak KO memilih tempat belakang redaksi kira-kira sekitar jam 21.00 sampai 22.00 malam. Kebetulan jam segitu kerja saya hampir rampung.
Sedangkan Cak KO deadline OR masih malam sekitar pukul 24.00. Jadi, saya sempatkan salat Isya di samping Cak KO makan. Setelah itu, sambil makan biasanya kami berdua ngobrol apa saja dengan Cak KO.
‘’Semula saya sempat protes sama Tuhan. Kok diberi sakit superberat. Tapi, setelah merenung, akhirnya saya ikhlas. Benar-benar ikhlas. Dipanggil besok pun saya siap,’’ kata Cak KO di rumahnya sekitar bulan September 2015.
Saya beberapa kali ke rumah Cak KO di Kebonsari meski sudah purna tugas dari JP. Kadang sehabis main bola Askring di Lapangan Bungurasih, saya sempatkan mampir ke rumah Cak KO karena rute pulang melewati rumahnya. Jadi, sekalian silahturahmi. Begitu juga Cak KO beberapa kali ke rumah saya sekadar ngobrol atau mampir.
Terakhir ketemu Cak KO saat besuk di Graha Amerta RSUD Dr Soetomo bulan puasa lalu. Seperti yang ditulis Cak Amu, kondisi Cak Kholili sempat drop, kejang bahkan tak sadarkan diri. Bahkan saat itu ingatannya belum normal. Saya baca tulisan Cak Amu jadi mbrebes mili. Saya bisa membayangkan bagaimana beratnya cobaan yang dihadapi Cak KO dan keluarganya.
PENUH SESAK: Begitu kabar kabar meninggalnya Kholili Indro, wartawan senior Jawa Pos. Rumah Sakit pun diserbu pelayat untuk memastikan kabar tersebut. (Foto: dok.CoWasJP.com)
Kondisi Cak KO benar-benar drop. Esoknya, saya besuk dan memang melihat begitulah kondisinya seperti digambarkan Cak Amu dalam tulisanya di CowasJP.com.
Terhadap kehadiran saya pun Cak KO tidak ingat dan tidak merespon pembicaraan saya. Kadang senyum dengan tatapan matanya kosong. Suara saya tercekat, tak kuasa harus ngomong apa saat berhadapan dengan Cak Kholili. Rasanya campur aduk. Ya, iba, kasihan, nelongso menyaksikan kondisi sejawat seperti itu. Benar-benar air mata mau tumpah.
Beruntung istri dan kedua anaknya telaten, setia menemani dan membesarkan hati Cak KO. Meski mereka harus tidur berhari-hari di RS. ’’Ajak ngomong terus Mas, biar ingatanya pulih. Cak Amu kemarin juga ngajak bergurau dan terus bercerita, akhirnya ingatan sedikit pulih,’’ ujar Isteri Cak Kholili Indro.
Sekarang Cak KO, sampeyan sudah lulus ujian dan menghadap RAB-MU dengan tenang. Semoga amal baikmu selalu menemani di alam kubur sampai dibangkitkan kelak. Kami semua, rekan, sahabat sampeyan juga antre giliran menghadap Illahi. *