COWASJP.COM – PADA 2006 Akhmad Munir sudah menjabat sebagai Ketua PWI Jatim. Dia juga menjadi Kepala Kantor Berita Antara Jatim. Sosok muda jurnalis inilah yang dipercaya Ketua Umum Persebaya Arif Afandi menjadi Sekretaris Umum Persebaya. Sebagai Ketua PWI Jatim tentu Munir punya akses yang baik dengan media massa, dan punya kemampuan melobi.
Beliaulah yang menugasi kami membuat buku Persebaya, walaupun akhirnya buku tersebut tidak dicetak. Tidak adal penjelasan sampai sekarang mengapa tidak jadi dicetak. Apakah tidak tersedia anggarannya atau bagaimana? Ah, saya tidak ingin mengusutnya.
Baru sekarang inilah kami publikasikan konsep buku tahun 2006 lewat CowasJP.com. Kami berharap tulisan ini bisa semakin mendorong semangat Arek-Arek Suroboyo untuk kembali membangkitkan Green Force Persebaya yang sejati. Sejati di hati seluruh pendukungnya.
Arif Afandi yang waktu itu menjadi Wakil Walikota Surabaya ketiban sampur menjadi Ketua Umum Persebaya karena Ketua Umum sebelumnya, yaitu Walikota Surabaya Bambang Dwi Hartono kena sanksi PSSI. Persebaya kena sanksi berat karena mundur dari Babak Delapan Besar Kompetisi Divisi Utama 2005 tanpa izin Panpel di Jakarta dan PSSI.
Arif Afandi (kiri) dengan slayer Green Forcenya. (Foto: viva)
Yang jelas, Arif Afandi, mantan Pemimpin Redaksi Jawa Pos, mendapat tugas berat menyelamatkan Green Force Persebaya. Bagaimana Persebaya segera promosi lagi ke level puncak Divisi Utama, setelah kena sanksi degradasi ke Divisi Satu.
Kami (waktu itu masih redaktur senior Jawa Pos) dan Abdul Muis, wartawan olahraga Jawa Pos, 15 Februari 2006 terbang ke Jakarta mengemban tugas Ketua Umum Persebaya untuk melobi petinggi PSSI. Target: perjuangan Persebaya untuk kembali ke rumah sejatinya, yaitu Divisi Utama, berjalan mulus. Hal ini akan kami ceritakan tersendiri.
Kita kilas balik dulu kisahnya di bawah ini:
ATTACK 2
KECEMASAN bakal datangnya arus antiklimaks ekstrem benar-benar menjelma. Mungkin itulah ganjaran aksi Green Force 2005 yang mundur dari babak Delapan Besar Divisi Utama. Apa pun alasannya dan motifnya, akibat aksi mundur itu teramat pahit.
Pelajaran paling berharga bagi kita adalah jangan sekali-kali mencampuradukkan bahasa politik dengan bahasa sepak bola. Bahasa sepak bola adalah melintas total di rel kompetisi. Mentaati jadwal, menegakkan aturan main, bertanding home and away. Kita boleh saja kecewa berat terhadap gejala wasit remote control. Tapi jangan sekali-kali meninggalkan gelanggang pertandingan.
Aksi mundur Persebaya mengguncang perikehidupan sepak bola nasional.
Komisi Disiplin PSSI segera menjatuhkan hukuman 24 bulan larangan main!
Hukuman itu kemudian direduksi Komisi Banding PSSI jadi 16 bulan. Namun, apalah artinya pengurangan hukuman 8 bulan itu? Sebab, 24 bulan atau 16 bulan setara dengan dua musim kompetisi.
Berarti Persebaya tahun ini (2006) bakal degradasi ke Divisi Satu, kemudian degradasi lagi ke Divisi Dua! Jauh lebih parah dari Persik dan Petrokimia Putra.
Oke, Petro tahun ini kolaps dan bubar. Tapi itu lantaran faktor teknis dan finansial. Sedangkan Persebaya terbanting lantaran faktor nonteknis. Bagaimana mungkin tim yang lolos ke Delapan Besar tiba-tiba harus degradasi! Padahal kondisi finansialnya amat sehat.
Kalau benar-benar dilarang merumput 16 bulan, kemudian degradasi ke Divisi Dua sama saja dengan Persebaya kiamat. Itulah sebabnya para petinggi klub anggota Persebaya melakukan aksi terobosan. Mereka coba menggalang jalan tengah berupa permohonan grasi dari Ketua Umum PSSI. Mereka menggalang bahasa bola dengan para petinggi PSSI.
TUGAS EXTRA BERAT ARIF AFANDI
Pendek cerita, akhirnya PSSI memberikan pengampunan bersyarat. Musim ini boleh berkompetisi, tapi harus turun ke Divisi Satu. Kendati hukuman ini jauh lebih ringan dari 16 bulan larangan main, bukan berarti beban tugas Ketua Umum Persebaya yang baru, Arief Afandi, jadi ringan.
Wawali Cak Arief yang terpilih secara aklamasi dalam Musanglub Persebaya 19 November 2014 lalu mengemban tugas yang ekstraberat. Yakni’’mengembalikan’’ Persebaya ke rumah sejatinya: Divisi Utama!
Di tengah perjuangan memohon pengampunan, arek-arek sempat melakoni masa vakum kepemimpinan. Ketika tim-tim lain sudah merekrut pemain baru, mempersiapkan kontrak baru para pemain, merekrut pelatih anyar, dan menggalang persiapan lainnnya, Persebaya masih terbenam dalam situasi tak menentu.
Bahkan proses penunjukan pelatih kepala pun tersendat-sendat. Sekalangan pengamat menginginkan Bodem – sapaan akrab Soebodro, manajer teknik Green Force – saja yang diangkat jadi pelatih kepala. Namun, Bodem gamang. Persiapan tim pun tak kunjung matang. Untunglah manajemen segera mendaulat Freddy Mulli, mantan bintang Niac Mitra, jadi pelatih kepala. Mudah-mudahan Freddy berhasil.
Sampai 21 Februari 2006 – saat deadline penyusunan buku ini – skuad Persebaya dinilai belum genap. Freddy mengatakan, Persebaya masih butuh striker andal, gelandang serang, dan stopper pelapis yang muda dan cepat.
Mudah-mudahan, skuad yang diharapkan segera terbangun. Mudah-mudahan pemain yang diinginkan bisa diperoleh. Amin.
ATTACK 3
ANDAI masa kejayaan Persebaya boleh distratakan, maka pasca-era emas 1950-1952 masih ada era perak 1987-1990. Yakni era Ketua Umum (almarhum) Kol TNI dr Poernomo Kasidi. Waktu itu, Green Force berhasil menjadi runner-up Divisi Utama Perserikatan 1986/1987, juara 1987/1988, peringkat 3 1988/1989, kemudian merebut Piala Utama 1990.
Waktu itu Persebaya benar-benar kaya bintang lokal. Binaan sendiri lagi. Di seluruh lini bertabur bintang. Bahkan para pengamat berani mengatakan, siapa pun pelatihnya Persebaya bisa juara. Duet striker Syamsul Arifin – Mustaqim, playmaker Budi Juhannis didukung gelandang berkualitas Maura Hally, Aris Sainyakit, Yongki Kastanya, lini belakang dimotori Nuryono Haryadi dengan dua sayap dan stopper andal Subangkit – Rae Bawa/Harmadi, plus kiper nasional I Gusti Putu Yasa adalah skuad terbaik di Indonesia.
Regenerasi berjalan dengan amat baiknya. Ketika Mustaqim masih prima dan trengginas, sudah mengorbit pula mesin gol muda yang bernama Yusuf Ekodono dan Agus Winarno. Alhasil, tim muda Persebaya yang waktu itu dijuluki Bledug Ijo – dimanajeri Dahlan Iskan – berhasil mengempaskan juara Galatama Pelita Jaya. Bledug Ijo merebut Piala Utama yang kali pertama sekaligus kali terakhir digelar pada 1990.
Pada dekade 1980-an publik bola Surabaya patut berbangga punya tokoh-tokoh pers Jatim yang begitu concern pada Persebaya. Dahlan Iskan dan H. Agil H. Ali adalah dua tokoh pers Jatim yang luar biasa kiprahnya.
Kami masih teringat ketika Persebaya terpuruk di Kompetisi Divisi Utama Perserikatan 1985-1986. Waktu itu yang namanya divisi utama hanya bermuatan 10 tim! Mereka benar-benar layak disebut puncak piramida pembinaan sepak bola nasional.
Dahlan Iskan masih berusia 35 tahun. Jawa Pos belum punya satu pun anak perusahaan. Tirasnya masih 40 ribuan. Jawa Pos yang semula hanya setebal 16 halaman mulai ditingkatkan jadi 24 halaman.
Berita apa yang laku dijual untuk mengisi tambahan halaman itu? Dengan tegas Dahlan menyebut halaman olahraga. Dan itu adalah berita-berita tentang Persebaya. Sejak itulah Jawa Pos setiap hari menurunkan dua halaman berita olahraga. Kali pertama koran nasional yang memberikan porsi berita olahraga lebih dari satu halaman.
Dalhan Iskan (Foto: kompasiana)
Tapi, de facto, Persebaya terpuruk di peringkat 9. Satu strip di atas juru kunci. Ini tragedi. Tidak mungkin ’’menjual’’ tim yang tak berprestasi. Harus ada gerakan besar untuk menyelamatkan aset yang bernama Persebaya. Bos – sapaan Dahlan Iskan di lingkungan Jawa Pos – segera mengundang para pakar bola Surabaya untuk berkenan hadir di markas Jawa Pos. Waktu itu markas JP masih di Kembang Jepun, masih sederhana dan tanpa AC. Sambutan para tokoh bola Surabaya luar biasa. Antara lain Bang Moh – sapaan Mohammad Barmen. Diskusi pun intensif dilakukan untuk mencari solusi.
Salah satu solusi brilian waktu itu adalah menjadikan pers daerah sebagai mitra positif bagi Persebaya. Toh yang bakal terjadi adalah simbiosa mutualistis. Moral Persebaya terangkat, fanatisme pembaca Jawa Pos pun makin kental.
Apa lagi? Barisan suporter harus dibangun seperti suporter klub-klub Inggris. Mereka harus punya emosi dan identitas yang keren.
Mas Dahlan Iskan segera terbang ke Inggris. Menyaksikan beberapa pertandingan Premier League. Tujuannya: mempelajari bagaimana suporter Inggris bisa sefanatik dan sesemarak itu.
Pulang dari Inggris, Dahlan segera menginstruksikan anak buahnya untuk membuat ribuan kostum suporter. Yakni kaos hijau dengan logo wong mangap (wajah suporter lelaki berteriak, ekspresi keberanian arek Suroboyo) dan slayer hijau. Julukan Persebaya pun dirumuskan. Dipilihlah Green Force (Pasukan Hijau atau Kekuatan Hijau) yang diusulkan oleh Zainal Muttaqin, redaktur olahraga Jawa Pos yang kini jadi wakil CEO Jawa Pos Group itu. Sejak itulah kata Green Force menjadi sakral bagi jutaan suporter Persebaya.
Foto: twitter.com
Pendek kata, gerakan yang dimotori Pak Wali Kota dan Dahlan Iskan luar biasa. Dinamika kehidupan Persebaya di seluruh lini menggemuruh. Mbah Progo – sapaan Pak Moh. Said, tokoh utama Golkar di Jatim – pun kesengsem pada gerakan kebangkitan Green Force. Surabaya juga sangat beruntung memiliki Walikota dr. Poernomo Kasidi yang sangat mencintai dan memotori kebangkitan kembali Persebaya. Persebaya juga punya Ketua Harian EE Mangindaan yang waktu itu berpangkat kolonel TNI AD dan menjabat Danrem Bhaskara Jaya. Beliau tak hanya cinta bola, tapi juga memahami bagaimana seharusnya membangun tim idaman.
Musim kompetisi berikutnya 1986/1987 kehadiran Persebaya di Gelora Bung Karno Jakarta menjadi sangat fenomenal. Baru kali itu Senayan dihadiri puluhan ribu suporter hijau yang rapi, atraktif, dan tidak rusuh. Persebaya pun melesat ke final. Sayang, mereka kalah 0-1 oleh PSIS.
Namun, api semangat arek-arek telah berkobar. Gelar juara tinggal menunggu waktu. Dengan materi pemain yang hebat, manajemen solid, suporter luar biasa, plus dukungan luar biasa dari kaum elite politik, tokoh bisnis, dan pers, Persebaya pun menggapai juara pada kompetisi 1987/1988.
Ketika merebut juara itulah sosok fenomenal Agil H. Ali tampil sebagai manajer tim. Performa owner koran Memorandum ini memang flamboyan. Agitasinya luar biasa, dandanannya yang selalu perlente, dan daya lobinya yang kuat ke semua lini seolah mempermulus jalan menuju juara. Ketika itulah publik bola nasional mengenal istilah sepak bola gajah. Ini setelah Persebaya yang sudah pasti lolos ke babak Enam Besar, mengalah 0 – 12 pada Persipura Jayapura.
Sosok fenomenal Agil H. Ali (almarhum) tampil sebagai manajer tim Persebaya Surabaya. (Foto: emosijiwaku.com)
Di Jakarta, Agil menggelar jumpa pers. Dia coba meyakinkan pers dan publik bahwa sepak bola gajah itu sah-sah saja. ’’Saudara-saudara kita di Irian Jaya hanya punya satu kebanggaan. Yaitu tim divisi utama sepak bola. Perseman Manokwari sudah degradasi. Sisa Persipura! Apakah Persipura juga akan kita tenggelamkan ke divisi satu? Pengamat boleh menista sepak bola gajah. Tapi mempertahankan kebanggaan saudara-saudara kita di Irian Jaya jauh lebih mulia dari dugaan para pengamat.’’ Begitu orasi Agil di hadapan puluhan wartawan di Jakarta. Perse
Yang pasti, PSSI sama sekali tak menghukum Persebaya dengan sepak bola gajahnya. Dan, arek-arek sukses menggapai juara yang telah lama diidamkan! Budi Juhannis dkk. melibas Persija 3-2 di grandfinal lewat pertarungan berkualitas, heroik, dan dramatik.
Para petinggi PSSI tak hanya memuji-muji penampilan ciamik arek-arek Green Force, tapi juga penampilan atraktif puluhan ribu suporter Persebaya yang tret-tet-tet ke Senayan. Mereka tak hanya dari kalangan akar rumput. Tapi juga kalangan elite. Tiga pesawat go to Jakarta mengangkut para suporter elite Persebaya. Almarhum aktor Ratno Timoer jadi ’’tuan rumah’’ suporter Persebaya di Jakarta.
Penampilan agung komunitas Persebaya 1986 – 1990 tak pernah lagi terulang. Suporter yang semula elite dan apik mulai berubah liar dan gampang marah. Maka, gerakan pencerahan suporter Green Force wajib kita lakukan bersama. Sekarang! Wahai para suporter Surabaya, bersatulah! Ayo kita bangun kembali citra arek-arek yang anggun itu. Inilah salah satu tugas ekstraberat Persebaya era Ketum Arief Afandi sekarang.
Kini sosok Agil H. Ali tak seflamboyan dulu lagi. Usianya mulai senja. Tubuhnya digerogoti penyakit. Rasanya, para tokoh bola Persebaya masa kini wajib ’’menjenguknya.’’ Jangan biarkan mantan manajer terbaik Persebaya kita ini terbaring sakit sendirian. Semoga Allah memberikan kesembuhan kepadanya. Juga kemurahan rezeki kepada keluarganya. Amin ya Robbalalamin. *