COWASJP.COM – ockquote>
TINDAKAN remeh-temeh seringkali disepelekan. Namun, sebagai bagian ikhtiar, sebaiknya jangan dihindari. Sebab, semua perjuangan selalu ada hasilnya, walau kadang tertunda.
---------------------------------------------------------------------------
Mendadak, ratusan orang di halaman depan Hotel Raffles lari berhamburan. Bunyi sirine meraung dari arah pintu samping hotel. Saya dan Joko jadi ikut gerakan para fans, berlari ke samping.
Sirine ternyata dari sepasang voorijders yang sulit bergerak, tertahan puluhan orang di depan pintu samping. Di belakangnya, tiga limousine hitam terpaksa berhenti. Begitu juga dua minibus di belakangnya. Massa menghambur mendekati mobil. Seketika 4 bodyguard Negro keluar dari minibus.
Menghalau massa.
Tidak sulit mereka mengamankan situasi. Tinggi badan mereka rata-rata sekitar 2 meter, tubuh kekar dibalut T shirt ketat, wajah mereka mirip Mike Tyson. Disibaknya massa. Sehingga voorijders (polisi lokal) dapat jalan. Rombongan melesat ke utara.
Saya tak berdaya. Dengan keuangan kelas gelandangan, tak mampu mengejar Jacko. Bahkan, dengan uang yang normal sekali pun, belum tentu bisa. Jacko benar-benar gila. Dia tak tersentuh. Saya sudah pelajari, dia belum pernah interview langsung dengan wartawan.
Kesal dengan kondisi ini, saya dan Joko jalan-jalan, asal naik bus tak tentu arah. Bus disini murah. Dibanding taksi untuk jarak yang sama, ongkos kira-kira beda 20 kali.
Pernah, saya naik taksi, pas pukul 24.00 sopir menawari, lanjut atau stop? Kalau lanjut, masuk over midnight, tarifnya 2 kali dari semula. Ya, pasti lanjut-lah... Masak turun di lokasi yang tidak saya kenal?
Di Orchard Road, lalu-lintas macet. O... ada macetnya juga, to? Tapi... macet karena pengemudi mobil pada turun. Jalan kaki, memotret sesuatu di arah sana. Anehnya, itu dilakukan beberapa orang dengan arah yang sama. “Jacko... Jacko... ,” teriak gadis penumpang bus yang langsung turun.
Tentu, saya dan Joko turun. Benar. Jacko di dalam toko buku. Dinding toko yang seluruhnya kaca, menampakkan sang Mega Bintang membaca buku. Tapi, pengamanan bodyguard itu yang nggak kuat.
Di dalam toko, ‘clean’ tak ada pengunjung lain. Di luar, puluhan bodyguard siaga di pintu dan seputar dinding kaca. Puluhan wartawan (berkamera foto dan kamera TV) tak berkutik dihadangnya. Ampun...Saya bayangkan, Jacko ini orang baik. Mungkin, setiap ada Negro pengangguran yang datang padanya, asal badan tinggi berotot, langsung dijadikan satpam-nya. Masak, rombongan dia sampai 127 orang? Sebagian besar bodyguard.
Kami hanya bisa mengamati Jacko yang membaca, memilih buku. Di sebelahnya, ada cewek bule membawa keranjang, siap menampung buku yang dipilih Jacko. Keranjang sampai penuh, lalu ganti keranjang baru.
Yang menarik, Jacko tak pernah diam barang semenit pun. Tubuhnya yang tinggi langsing selalu bergerak, meski sedang membaca. Kakinya yang jenjang aktif bergerak. Sesekali menjentikkan jari tangan, seperti sedang mengikuti irama. Saya duga, dia sambil mendengarkan lagu lewat earphone.
Dia mengenakan celana ketat, hitam mengkilap, kaos ketat merah lengan panjang. Postur tinggi kurus terlihat jelas. Badannya begitu lentur, gerak ke kiri-kanan. Selentur rambut keritingnya, yang bagian depan dibiarkan menjuntai, meliuk-liuk.
Dia tahu, puluhan fans dan wartawan bergerombol di depan kaca toko, menontonnya. Sesekali dia lambaikan tangan ke massa. Hanya dengan begitu saja, puluhan orang sudah berteriak-teriak memanggil namanya. Tapi, massa tertib. Tak ada yang memaksa masuk toko.
Sirine voorijders hidup, massa kian penasaran. Ternyata Jacko masuk mobilnya yang berhenti persis di depan pintu toko. Tak ada celah orang mendekat. Konvoi melaju di keramaian Orchard Road. Saya dan Joko kembali naik bus, tak jelas arah.
Liputan macam apa ini? Tapi, inilah maksimal. Tiap hari saya baca koran setempat: harian Bernama dan The Straits Times edisi Singapore. Tak ada wawancara dengan Jacko. Liputan mereka, di luar konser, ya... remeh-temeh begini.
DIMANA BUMI DIPIJAK, DISITU BANTAL DIGELAR
“DI... ayo kita cari bantal model tiup. Biar agak nyaman di rumput,” kata saya di dalam bus.
“Bantal yang bagaimana itu?”
“Aku pernah lihat di penerbangan internasional, wanita pakai itu.”
Kami tiba di sebuah pasar (lupa nama daerahnya) dan mencarinya. Tanya ke penjual, ternyata mereka langsung paham barang yang dimaksud. Ditunjukkan arah tokonya. Ketemulah barangnya.
Bentuknya, setelah ditiup, persegi panjang. Di tengah ada lingkaran untuk leher, dan ‘pintu’ masuknya.
Warnanya coklat muda, berbahan kain beludru. Saya coba pakai dan bersandar pada dinding, rasanya empuk. Ini barang penting. Harganya murah. Setelah dikempeskan, dilipat, hanya sebesar dompet.
Setelah mengetik berita remeh-temeh itu, dan kirim ke Jakarta, saya kembali ke ‘hotel’. Jacko ternyata sudah di dalam. Tandanya, jumlah massa di halaman depan sangat banyak. Itu berarti, Jacko sudah melambai dari balik jendela di lantai 3. Sejam sekali, itu dia lakukan.
Saya tak sabar mencoba bantal baru. Senja baru saja lewat, bantal sudah saya tiup. Hasilnya, memang sungguh nyaman. Bukan hanya untuk tidur terlentang, tapi juga untuk miring kiri-kanan. Kecuali telungkup, tentunya.
Saya berdiri, melihat Joko yang mengambil jarak sekitar 10 meter dari saya, juga terlentang berbantal itu.
Dari jauh dia melihat saya, sambil mengacungkan jempol. “Top.... dwo. Uenaaak...” teriaknya. Saya tersenyum: Dasar... dia memang bakat menggelandang. Saya, ‘kan cuma fasilitator gelandangan.
Tapi, malam ini rasanya rumput lebih empuk banding kemarin. Wangi bunga Tanjung jadi parfumnya. Sorak-sorai massa ketika Jacko buka jendela, akrab di hati. Saya merasa sudah menyatu dengan situasi-kondisi. Nyaman. Belum pernah saya alami, tempat menginap jadi satu dengan tujuan liputan, seperti ini.
Berdasar pengalaman dirubung semut, kemarin, kini saya punya persiapan. Kemeja dimasukkan, dilapisi jaket. Ujung bawah celana dikareti seperti celana tentara. Tak ada celah binatang masuk. Hembusan angin jadi segar sejuk.
Kebetulan cuaca cerah. Bulan bundar di posisi sekitar 70 derajat arah timur. Sinarnya putih kekuningan, dengan corona transparan melingkarinya. Bintang-bintang bertaburan di seantero langit. Sebagian bintang kelap-kelip di sudut utara. Seisi cakrawala bagai bernyanyi, menyemangati kami.
Tapi, lagunya sendu. Lagu Rhoma Irama:
Langit sebagai atap rumahku......
Dan, bumi sebagai lantai
Hidupku, menyusuri.... jalan....
MENCOCOKAN WAJAH dengan MONYET
Bangun tidur, gelisah lagi. Konser masih besok malam. Hari ini diisi apa? Masak cuma melaporkan gerakan Jacko buka jendela? Pembaca pasti bosan. Sekuat apa pun tulisan deskriptif, kalau obyek liputannya tidak variatif, hasilnya tentu jeblok.
Masuk Raffles tidak mungkin. Persiapan stadion sudah lengkap, beberapa hari lalu. Penyebab Jacko pingsan sudah jelas over-dosis. Itu pun sudah lewat, basi. Saya mulai kehilangan akal.
Sementara, Joko tenang-tenang saja. Tugas dia beda dengan saya. Dia mengumpulkan semua bahan liputan, dirangkum dalam laporan mingguan. Pantas, bangun tidur dia kelihatan tetap semangat.
“Dwo... ayo kita sarapan (ke Jurong) lalu kita jalan-jalan aja.”
Saya mengangguk saja. Joko yang pernah bertahun-tahun jadi wartawan JP, mengerti kegelisahan saya. Dia menghibur, “Kamu sudah maksimal. Aku juga baca koran lokal, tak ada yang mereka tulis sejak konser batal,” katanya. “Malah kamu tiap hari menulis.”
“Tiap hari kita jalan-jalan. Mau kemana?” tanya saya.
“Kebon binatang. Di katalog, katanya bagus.”
Nyaris tawa meledak, tapi bisa saya tahan. Tidak enak, mimik Joko serius. Khawatir dikira melecehkannya. Saya ini lahir dan dibesarkan di Surabaya. Pilihan Joko itu seperti anak dari Desa Ndiwek di pedalaman Jombang, yang baru pertama kali ke Surabaya. Begitu tiba, tujuannya: Kebon binatang.
“Nonton apa, sih? Paling, kita mirip nyemot.”
“Ah... daripada bengong. Rekreasi, Bung. Ini hari terakhir disini.”
TERJEBAK di AKUARIUM
Ucapan dia tidak salah. Saya juga belum menemukan ide liputan. Siapa tahu di perjalanan muncul ide. Joko sudah bertanya diantara fans Jacko, arah menuju kebon binatang.
Kami naik MRT. Hebatnya, kereta bawah tanah ini melewati beberapa pertokoan di atasnya. Turun di stasiun, ganti naik bus. Lalu jalan kaki. Pukul 10.00 tibalah di “Singapore Zoo” di Mandai. Kami foto-foto di bawah tulisan kebon hewan, buat kenang-kenangan.
Repotnya, dengan begini makan siang jadi mahal. Saya menghitung, harus cukup sampai bayar airport tax di Changi. Tanpa mengeluarkan uangnya, saya hitung luar kepala: Cukup. Asal, setelah ini makan di Jurong terus. Jika tidak, besok puasa.
Sudahlah... Betapa pun, saya harus menikmati perjalanan. Keindahan taman dan kesegaran hewan, cukup menghibur. Kualitasnya jauh melebihi di Surabaya. Kebersihannya luar biasa. Jumlah pengunjung memang tidak banyak, mungkin karena bukan hari libur. Tapi, tak ada sampah, bahkan secuil kertas sekali pun.
Tiba-tiba ada pengumuman di pengeras suara, kebon binatang akan ditutup 15 menit lagi. Pengunjung diminta keluar. Ada pembersihan kotoran hewan besar-besaran, membuat tidak nyaman. Jam belum pukul 14.00.
“Baru jam segini sudah tutup. Kita terakhir aja, dwo.”
“Nanti kita terkunci disini, DI.”
“Halaaah...”
Kami masih berkeliling di ruang akuarium, mengabaikan peringatan hitungan waktu mundur dari pengeras suara. Sampai waktu habis, kami masih mengamati aneka ikan. Lokasinya jauh dari pintu gerbang keluar-masuk.
Sampai lewat setengah jam, kami masih asyik. Saya keluar mengamati, koridor sudah sepi. Semua areal tak ada orang. Sungguh tertib warga disini. Hanya Joko yang gendheng, tenang saja mengamati ikan. Edan....
Sirine meraung-raung di kejauhan. Nah, apa pula ini? Joko pun meninggalkan ikan, keluar ruang akuarium bersama saya. Jalan menuju perempatan yang jaraknya sekitar 100 meter. Dari perempatan, menengok kanan, arah pintu gerbang, jauh disana.
Luar biasa... ada sepasang voorijders berhenti di gerbang. Di belakangnya, 2 limousine hitam dan beberapa minibus. Spontan, kami jingkrak-jingkrak. Itu Jacko.... itu Jacko....
“Dwo... cepat ngumpet,” sentak Joko. Dia beringsut, mepet sebuah bangunan. Kami mundur mencari pintu bangunan. Itu semacam museum mini, berisi fosil. Disanalah kami mengatur strategi.
Ternyata di dalam bangunan juga ada pasangan muda dan seorang anak perempuan usia sekitar 5 tahun. Kami sama-sama kaget. Mereka tahu kami wartawan, sebab menyiapkan kamera, mengaturnya tersembunyi di balik jaket. Sssst.... Mereka mengangguk, tanda paham.
Jacko jalan santai mengamati hewan demi hewan. Dia mengenakan celana biru tua, stelan jas panjang warna senada. Puluhan tukang pukulnya mengepung, berjarak sekitar radius 20 meter dari sang bos.
Michael Jackson saat tampil di Sinagapore 1993. (Foto: straitstimes)
Sungguh, Jacko bagai raja. Kemana pun dia bergerak, puluhan bodyguard otomatis mengikuti, membentuk formasi kepung, dengan jarak tetap terjaga. Pengamanan sangat rapi. Obyek sudah sekitar 100 meter di depan mata, tapi situasi sangat sulit. Dada saya berdebar-debar.
Saya ambil beberapa moment dengan lensa tele, dapat. Kami memotret dari balik taman. Untung cuaca cerah, sehingga sinar cukup.
Di perempatan, Jacko pilih lurus. Itu berarti mengarah ke kami. Jarak kian dekat. Keluarga yang sejak tadi ingin keluar melihat Jacko, kami tahan. Mulut bocah itu ditutup tangan ibunya, sesuai permintaan kami.
Pada jarak sekitar 20 meter, kami minta keluarga itu keluar, jalan mendekati Jacko. Kami tetap sembunyi. Sontak, ada teriakan: “Stop....get out you...”
Suasana hening. Kami intip, keluarga itu berhenti. Diam terpaku. Gadis kecilnya menangis.
Jacko mengamati si bocah, jalan mendekati. Lantas menggendongnya. Aneh, bocah itu diam di gendongan Jacko. Diajaknya melihat monyet.
Para bodyguard mendekati orang tua, menggiring, menjauhkannya dari Jacko. “Distance hundred feet,” kata bodyguard. Kali ini tak berteriak lagi.
Ayo... Kapan lagi kami mendekat? Sekaranglah saatnya. Atau tidak sama sekali. Dengan kedipan mata, kami bergerak bersama: Maju. Tidak membuang waktu, langsung memotret moment itu.
Baru beberapa langkah, bentakan merobek keheningan. “No.... no.... You, back off. Move.... move.... back off.”
Puluhan bodyguard berlarian ke arah kami. Merampas paksa kamera saya dan Joko. “Kalian wartawan?” tanya salah satunya. Bersamaan kami menggeleng.
Jacko mengamati kami. Saat bodyguard hendak membanting kamera, Jacko cepat mencegahnya.
Lalu Jacko menjentikkan jari, menunjuk pintu gerbang, meminta kami keluar. Bodyguard menarik baju kami, mendorongnya menjauh, sambil mengembalikan kamera.
“Just one question, please...” kata Joko ke arah Jacko. Dibalas teriakan Jacko: “No.... no.... Go out...”
Ini yang mengagetkan para bodyguard.
Segera mereka mengejar, kami lari. Mereka mengumpat: “Damned you...” Untung, mereka dicegah Jacko, sehingga tak lanjut mengejar.
Kami digiring dua petugas lokal, keluar. Tiba di pintu gerbang yang tertutup, kami terkejut lagi.
Puluhan, mungkin seratusan wartawan mengelu-elukan kami. Mereka terkurung di luar. Mereka rupanya melihat kejadian tadi, pada jarak sekitar 150 meter.
Diantaranya ada wartawan Kompas dan Suara Merdeka. “Gile... bener... bisa saja kalian masuk,” ujar wartawan Kompas. “Bagi fotonya, dong,” kata Suara Merdeka. Kami dikerubuti, ditanya-tanya, ditawari rokok.
Kami basa-basi sejenak dengan mereka. Pelan-pelan menyelinap di sela kerumunan massa yang ingin melihat Jacko. Lalu kabur...
Betapa pun mereka kompetitor. Ajaran Pak Dahlan: Jangan kompromi dengan kompetitor, walau mereka kawan.
Malam itu, usai kirim berita, saya kian akrab dengan rumput Raffles. Enak saja tidur-tiduran. Saya merasa, lapangan dan kerumunan massa ini bagian dari rekreasi paling mewah dalam hidup. Terasa begitu mesra....
Jelang tidur, memandang lagit. Lagunya berubah lagi. Kali ini lagunya Iwan Fals:
Kemesraan, ini.....
Janganlah cepat berlalu
Kemesraan, ini.....
THE SHOW MUST GO ON
Konser Jacko, pusat perhatian saya yang tertunda. Jumlah penonton penuh, sama seperti sepekan lalu. Jacko benar-benar prima di atas panggung.
Lagu “Heal the World” membuat stadion berkelap-kelip, ribuan lilin bergoyang rancak, kiri dan kanan.
Bagai ribuan kunang-kunang di hamparan ilalang. Alunan slow pop itu membius puluhan ribu manusia.
Menyatu dalam damai.
Heal the world...
make it a better place
For you and for me....
and the entire human race
Seketika, Jacko terhuyung-huyung ke kiri. Geraknya tak lagi beraturan. Terseok-seok, dan nyaris ambruk.... Namun, berhenti dalam posisi nyaris jatuh. Kiwir-kiwir...
Kaki kirinya menahan, kanan merentang.
Ternyata itu bagian dari action. Sedetik kemudian dia berkelit, alunan musik menyajikan break pendek dan cepat. Lantas, dia kembali berlari lincah ke tengah panggung. Sungguh, atraksi di luar prediksi. Amazing...
Saya mengetik laporan pertunjukan itu dengan sepenuh hati. Saya tetap berani melaporkannya, meski koran lain sudah memuatnya sepekan sebelumnya. Sebab, saya sudah mengakrabi lagu-lagu dia.
Menjiwai tiap gerakan dia. Bahkan, tidur nyenyak di rumput depan hotelnya.
Saat pesawat kami meninggalkan Changi Airport, hari masih pagi. Hidung saya mengalami semacam halusinasi: Tercium wangi bunga Tanjung. Bunga yang tumbuh di depan Raffles.
Aku pulang, dari rantau....
Berhari-hari di negri orang,
Oh Singapura.....
Oh, di mana... kawan dulu...
Kawan dulu, yang sama berjuang....
(Pembaca, dengan terdengarnya lagu ini, maka sampai di sini tulisan saya. Jika ada kesalahan, saya mohon maaf. Sampai jumpa di tulisan lain.) Depok, 5 Juni 2012