COWASJP.COM – ockquote>
C a T a T a N: Djono W. Oesman
-------------------------------------------
Ketua Panitia Reuni Cowas JP (Konco Lawas eks Jawa Pos) di Malang, Minggu, 21 Agustus 2016 adalah Slamet Oerip Prihadi. Senior saya di JP. Beliau dulu Redaktur Kota, atasan saya. Banyak kisah nostalgia liputan berita. Antara lain, berikut ini:
RSUD Dr Soetomo Surabaya ladang liputan saya di akhir 1986. Sekitar 6 bulan saya ngepos di situ.
Pagi-siang-malam saya di situ. Mulai berita teknis medik, kejahatan yang masuk lab forensik kamar mayat, sampai kecelakaan, bunuh diri.
Semua peristiwa jurnalistik di situ tanggung-jawab saya sendirian. JP menerapkan prinsip kemandirian.
Satu wartawan satu pos, bahkan lebih. Saya selain pos Dr Soetomo juga floating (aneka kejadian human interest). JP itu hebat, bisa juga disebut hemat.
Membanggakan: Pakaian saya sering bau bangkai. Ikut dokter forensik membolak-balik jenazah. Bau mayat itu sengit-ngit. Sampai lengket baju. Dokter melapisi jubah putih, saya tidak. Dari jutaan warga Surabaya hanya sedikit berbaju bau bangkai. Penjaga kamar mayat dan saya. “Membanggakan” gurauan petugas kamar mayat dan saya.
Ratusan berita (kejadian, analisis-interview, deskripsi situasi, aneka model investigasi) saya tulis untuk JP dari RSUD Dr Soetomo. Berita ‘kecil’ yang saya tulis di bawah ini paling berkesan. ‘Kecil’ karena sepele. Tapi unik.
Dan, tulisan berikut ini bukan beritanya (yang sudah dimuat di JP, dulu). Bukan. Melainkan kisah ‘belakang layar’ yang tidak diberitakan. Atau, the story behind the news. Istilah kerennya gitu, Bro…
NEGOSIASI JURNALISTIK
Siang musim kemarau, Surabaya panas terik. Matahari menghujam ubun-ubun. Saya ngadem di ruangan Humas RSUD Dr Soetomo. Agak bau obat dan alkohol. Tapi, AC-nya nyembur kenceng.
Puluhan pegawai bagian Humas ada di situ. Menggunting berita koran, baca koran, bicara koran.
Semuanya saya kenal. Salah satunya menghampiri saya, dan menyapa:
“Mas, mau bantu kami memandulkan kucing, nggak?” tanya seorang lelaki staf Humas (saya lupa namanya).
Pertanyaan tak biasa. Mengapa dia tanya begitu? Apa kaitannya dengan tugas saya? Okay… okay… saya wartawan. Harus selalu responsif di lapangan.
“Kucing siapa?”
“Kucing liar di RS ini. Ada ribuan, lho…”
Ow… kalo ini peristiwa jurnalistik. Bukan peristiwa besar, tapi unik.
“Bagaimana caranya?” tanya saya antusias.
“Disuntik. Tapi… saya kira nggak usahlah… ” ujarnya, meralat ucapan pertama.
Saya dan dia sudah akrab. Hampir setiap hari kami ketemu. Ucapan dia yang ragu itu malah membuat saya penasaran. Saya tanyakan lebih detil. Dia pun menjelaskan.
Ternyata begini: Direksi RS merasa terusik dengan banyaknya keluhan pasien, bahwa RS terbesar se Indonesia Timur itu banyak kucingnya.
Saya tahu, di sana saat itu ada ratusan, mungkin ribuan, kucing liar. Di semua ruangan pasien ada kucing. Asal pintu terbuka sejenak, pasti kucing masuk. Mulai dari kelas bangsal sampai VIP. Belum lagi yang berkeliaran di koridor, taman, terutama bak-bak sampah.
Perintah direksi: Habisi kucing.
“Saya mau bantu. Besok jam berapa?”
Dia semakin ragu: “Nggak usahlah… Maaf mas, gak jadi,” ujarnya.
Saya duga, mungkin itu silent operation. Mungkin direksi menyatakan: Rahasia. Kayaknya mereka sudah menganalisis dampak, jika itu diberitakan. Si Humas keceplosan ke saya, karena kami akrab.
Buktinya, kini dia pergi menghindar.
Saya kejar dia. Lalu saya jelaskan, dampak berita itu tidak buruk bagi RS. Saya mulai merayu supaya diajak memandulkan kucing.
“Kalau dimandulkan, bagus. Penyayang binatang gak bakal marah. Kecuali kalau dibunuh,” rayu saya.
“Tapi, gak ada perintah agar diberitakan media,” balasnya.
“Tidak ada perintah publikasi, bukan berarti dilarang publikasi, ‘kan?”
Dia diam. Mikir. Akhirnya…
“Gini aja. Sampean bantu kami, tapi ini jangan diberitakan di Jawa Pos, ya….”
Ganti saya mikir. Kalau bukan untuk JP, buat apa saya di sini? Buat apa baju saya belepotan bau mayat? Sebaliknya, kalau saya tidak menuruti keinginan dia, pasti saya gak diajak.
Saya balas: “Ya.”
“Janji lho, ya…”
“Apa nggak sekalian, sumpah? Kejem amat…”
Dia ketawa. Kami ketawa. Saya tafsirkan dia agak ragu. Namun kemudian dia tegas:
“Besok jam 5 pagi,” katanya.
“Jangan katakan ini kepada wartawan lain.”
“Mengapa?”
“Katanya mau off the record…”
Roso Daras (kiri) dan Ganton, dua personel CoWas di Jakarta. (Foto: CoWasJP.com)
“Oh… betul.”
Cakrawala di timur masih kemerahan. Puluhan staf RS berbaris di lapangan belakang, dekat Kamar Jenazah. Saya tiba, barisan baru dibentuk.
Para Satpam yang ikut baris, tahu saya wartawan JP. Tahu saya orang luar. Seorang Satpam menghampiri, melarang saya ikut baris.
Setelah saya sebut rekomendasi Humas, dia balik kanan. Dia mendekati staf Humas. Bisik-bisik. Lalu dia masuk barisan lagi, tersenyum ke arah saya.
Di panggung kecil, seorang wanita berjubah dokter, berdiri menghadap ke arah barisan. Dia perkenalkan diri, dokter hewan dari Kebon Binatang Surabaya. Dialah pemimpin tim ini.
Dia jelaskan ringkas cara injeksi ke kucing. Injeksi berisi zat kimia Irginine. Cairan pemandul. Jika itu masuk ke tubuh kucing jantan, kucing tetap sehat. Sehari kemudian mandul.
Dijelaskan, si jantan tetap bisa ereksi. Juga bisa penetrasi. Tak dijelaskan, apakah pejantan bisa menikmati orgasme. Tidak ada yang tanya soal ini. Saya juga enggan. Sebab, penjelasan itu saja sudah menimbulkan heboh cekikikan. Terutama para cewek.
Di lapangan sulit membedakan jenis kelamin kucing. Perintahnya, hajar saja semua kucing. Sebab, bagi betina tak menimbulkan efek apa-apa.
“Ada pertanyaan?” tanya pemimpin.
Tetap tak ada yang berani tanya soal orgasme.
“Jika tak ada pertanyaan, ayo dimulai….”
SI GARONG COLONG PLAYU
Barisan bubar. Pasukan Pemburu Kucing mengambil senjata di pojok lapangan. Senjata berupa spued, sarung tangan, penutup hidung, dan umpan. Ada ikan asin, teri, pindang, tulang ayam goreng.
Saya hati-hati mengambil senjata. Ngeri… mandul… Ternyata semua lelaki juga bertindak sama.
Melihat pasukan terlalu hati-hati, pemimpin tim ketawa. “Bapak-2, Mas-2, jangan takut tergores suntikannya. Irginine dalam dosis sangat kecil tidak berefek apa-apa bagi manusia,” katanya. Semua ketawa terbahak.
Perang dimulai.
Sial, pagi itu sepi kucing. Tampak dua ekor ndeprok (setengah duduk setengah tidur) di dekat tiang koridor. Satpam maju. Dilempari pindang, dua kucing langsung makan dengan lahap.
Ketika disergap, satu tertangkap, satunya kabur. Lalu, cresss… disuntik. Kucing kaget menjerit.
Sedetik kemudian kucing dilepas. Mengibas-kibaskan ekornya. Lalu lari.
Puluhan orang terpukau. Mereka bersorak bertepuk tangan. Satpamnya membuka penutup hidung, lalu bicara enteng: “Gampang, kok…’’
Tepuk tangan bertalu-talu. Misi sukses.
Kami semangat. Berpencar memburu kucing. Saya mengincar seekor di dekat bak sampah. Badannya kurus, warna kuning pucat. Saya lempar pindang, langsung diterkam.
Ternyata, whaooow… pindang digondol, dibawa lari. Saya kejar, dia tunggang-langgang. Menyelinap masuk gorong-gorong. Jiangkrik… si Garong colong playu. Siapa bilang gampang?
Ada lagi yang baru keluar dari ruang pasien. Badannya gembul, abu-abu blirik-blirik putih. Matanya galak, gerakannya trengginas. Kali ini harus dengan taktik. Harus pakai strategi.
Saya jongkok, dia mendelik (melotot) menghentikan langkah. Ikan teri saya tebar pelan-pelan.
Pusss…. Pusss…. Dia datang, pelan-pelan.
Dengan mata waspada dia makan teri. Saya dekati. Saya elus kepalanya dia mengelak. Tak menunggu lama, dia saya ringkus. Kena. Menggeletak di lantai. Berontak, tapi saya cengkeram sekuatnya.
Empat kakinya saya satukan dengan dua tangan saya. Kepalanya ngranggeh berusaha menggapai tangan saya, langsung lehernya saya injak.
Saat jarum masuk, dia berontak. Obat saya tekan habis, salah satu kakinya terlepas dari cengkeraman.
Lalu: Cresss… kali ini tangan kiri saya kena cakar. Reflek, kucing terlepas.
Untung injeksi sudah saya cabut. Jika tidak, kasihan dia dengan jarum menempel. Tapi tangan saya beset, berdarah.
Selanjutnya saya ogah-ogahan berburu. Kucing-kucing pada beringas. Seolah mereka berkomunikasi dan bersatu. Pada berlarian menghindari manusia.
Sekitar dua jam tim bergerak, lalu diperintahkan kumpul lagi di lapangan. Ternyata lebih dari separo pasukan, tangannya berdarah dicakar kucing. Kini giliran para perawat maju, mengobati anggota pasukan yang terluka. Termasuk saya.
Jelang acara ditutup, semua diberi amplop. Termasuk ke saya. “Mohon ini diterima. Sekedarnya dari kami,” kata cewek pemberi amplop.
“Saya wartawan, dilarang terima amplop.”
“Ini untuk mas, bukan selaku wartawan. Tapi sebagai relawan.”
Amplop saya terima.
Operasi pemandulan dievaluasi. Semua lapor, jumlah kucing yang disuntik. Ada yang satu, dua, bahkan nol seperti saya. Total tak sampai 50 ekor kucing disuntik.
Gerakan dinilai tidak efisien. Selain jumlah kucing disuntik sedikit, juga korbannya berdarah-darah.
Ketua panitia menyatakan, akan dicarikan cara lebih tepat mengatasi kucing.
DEBAT soal OFF THE RECORD
Yang pasti, saya menulis peristiwa itu di JP. Efeknya warga Surabaya heboh. Banyak yang protes ke RSUD Dr Soetomo, terutama penyayang hewan.
Esoknya saya tetap ke ruangan Humas. Karena itulah posko saya. Alhasil, saya didamprat semua staf Humas. Mereka marah, karena mereka dimarahi direksi. Mereka menuduh saya ingkar.
Saya minta maaf ke mereka. Saya katakan, sangat berat bagi saya tidak menulis berita itu. Saya tersiksa berat jika tak menulisnya.
“Maafkanlah saya…”
“Maafmu kami terima. Tapi Jawa Pos harus meralat beritanya.”
“Ralat gimana?”
“Tulis, bahwa pemandulan kucing tidak pernah ada.”
“Gila… Tidak bisa. Peristiwa itu faktual.”
Mereka terdiam. Solusinya, saya disuruh minta maaf ke direksi. Saya turuti. Ganti direksi memarahi saya. Mereka juga menuntut ralat berita. Tetap saya tolak. Saya tidak menulis berita bohong.
Cekcok. Sengit. Deadlock…
Saya tawarkan win-win solution. Saya akan tulis satu berita keberhasilan, prestasi, atau hal lain yang menguntungkan RSUD Dr Soetomo. “Atau… anda gugat saya ke pengadilan. Saya bakal menang karena saya menulis berita benar, dan akan saya buktikan kebenarannya…”
Dirut akhirnya setuju saya tulis peralatan medik canggih yang baru mereka beli. Hubungan kami harmonis lagi.
Pelajaran: Jangan percayai janji wartawan (khusus) untuk urusan beginian. Pasti ingkar.
BERAKHIR dengan skor DRAW
Beberapa pekan kemudian, ada silent operation soal kucing lagi disana. Ribuan kucing mereka ringkus. Dimasukkan kandang besar, diangkut beberapa truk. Dibuang ke daerah Tandes. Zaman itu Tandes banyak semak-belukar.
Saya dengar itu. Tapi saya tidak diajak operasi penangkapannya. Ketika saya datang ke ruang Humas, saya nyeletuk:
“Kok dungaren (tumben) sepi kucing… Pada kemana meong kita?”
Meledaklah tawa semua staf bagian Humas. Ketawa abis…
Kontan, saya menunjuk mereka: “Berarti benar, anda buang ke Tandes, ya…”
Seketika semua terdiam. Bagai rem mendadak. Clakep… mingkem. Mata-mata mereka melotot, mengancam saya.
“Kalo anda tulis kami gugat. Dan, kami bakal menang di pengadilan, karena anda tak punya bukti hukum,” kata Kahumas.
Saya diam. Ancamannya pasti bukan gertak sambal. Andai saya tulis, ribuan warga Tandes bakal marah ke RSUD Dr Soetomo. Sebab rumah-rumah disana mendadak diserbu ribuan tamu.
Bagaimana, jika warga menuntut RSUD menangkapi lagi ribuan kucing yang sudah menyebar?
Saya pikir-pikir. Menyesal, tidak sempat merekam ancaman Kahumas barusan. Sebab, rangkaian dialog kami itulah bukti hukum. Sekarang sudah telat. Tak ada celah konfirmasi yang mendukung berita, seumpama saya tulis beritanya.
Bisa saja saya paksakan. Ditulis deskripsi penyebaran kucing (mendadak) di Tandes. Mendatangi rumah-rumah warga. Wawancarai mereka. Menghitung kucing dari rumah ke rumah. Lantas konfirmasi ke Dirut RSUD Dr Soetomo yang sudah pasti: Membantah membuangnya. Bantahan juga dimuat sebagai konfirmasi.
Tapi ini jenis konfirmasi lemah. Konfirmasi keropos. Tidak ada bukti pendukung. Lemah hukum.
Daripada repot-repot, saya tidak menulis beritanya. Sewaktu pemandulan kucing, saya menang. Ketika pembuangan kucing, saya kalah. Saya anggap: Satu sama. Draw.
Pada reuni eks JP di Malang nanti, cerita model beginian dari peserta reuni bakal banyak. Pastinya lebih seru. Semuanya kisah nyata.
Maka, tunggu apa lagi? Ayo… kita berangkat ke Malang!*