COWASJP.COM – ockquote>
O l e h: Cak Amu
--------------------------
AIR mata ku tiba-tiba meleleh. Membasahi ujung pipi hingga terasa asin. Padahal, saya hanya menyaksikan aksi sukses gemilang pasangan ganda campuran terbaik Indonesia, Tantowi Ahmad/Liliyana Natsir melalui layar kaca LED tivi di rumah.
Saya terharu menyaksikan sukses mereka. Terharu, karena teringat masa lalu ketika menjadi wartawan olahraga di Jawa Pos, saya mendapat kesempatan meliput final ganda putra di Olimpiade Atlanta 1998. Saat itu, pasangan Rexy Mainaky/Ricky Subagja berhasil menjadi penerus Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma yang empat tahun sebelumnya menyandingkan medali emas untuk Tim Merah Putih.
Sukses Tantowi/Liliyana, saya anggap sebagai sukses ganda, lantaran mereka berhasil membuka lagi tradisi juara di Olimpiade 2016, Rio de Janeiro Brazil, setelah tim bulutangkis Indonesia gagal membawa medali emas di Olimpiade 2012. Tantowi/Liliyana-lah yang mampu menyibak kegagalannya sendiri di Olimpiade London Inggris itu.
Yang paling memuaskan bagi saya adalah keberhasilannya membungkus ambisi pasangan Malaysia, Chan Peng Soon/Goh Liu Yin (21-14/21-12) dalam waktu singkat. Hanya 45 menit! Saya puas, karena kalau Malaysia yang menang, kasihan para TKI yang bekerja di Negeri Ringgit itu. Pasti sombong dan rakyat kita diejak bahkan dihina-hina.
Karena itu, sukses Tantowi/Liliyana benar-benar bisa memuaskan banyak orang. Terutama bangsa Indonesia yang tengah merayakan hari kemerdekaannya.
Betapa tidak! Malam itu adalah tanggal 17 Agustus 2016, dimana masyarakat Indonesia tengah mengenang hari Indonesia Merdeka. Tidak ada hiburan yang bisa menghibur bangsa kita, meski seminggu sebelumnya disibukkan dengan lomba-lomba konvensional dan acara rutinitas berupa tasyakuran, kecuali ini:
Bekibarnya Bendera Sangsaka Merah Putih dan berkumandangnya lagu kebangsaan Indonesia Raya di negeri orang. Apalagi disaksikan jutaan pemirsa di seluruh dunia. Termasuk Rakyat Malaysia yang menyaksikan final langsung dari layar tivi. Nikmat rasanya, tak senikmat ketika Kita Menjadi Juara!
Alan Budi Kusuma (kiri) dan Susi Susanti pelarih medali emas Olimpiade 1992 di Spanyol. (Foto: istimewa)
Perayaan Tujuh Belas Agustusan yang ke-71 tahun ini betul-betul terasa beda. Air mata kita ternyata tidak bercucuran tatkala mengenang jasa-jasa pahlawan. Air mata ini, jutsru meleleh sat melihat pahlawan olahraga kita berhasil mengerek bendera kebanggaan bangsa: Merah Putih Berkibar!
Saya yakin, banyak air mata berlinangan di Rabu malam Kamis itu. Tak terkecuali air mata kebahagiaan Tantowi dan Liliyana. Juga keluarga kedua pemain, yang selalu mengikuti perjuangan mereka dari siaran langsung dari arena Riocentro Paviliun, Rio de Janeiro.
Mereka memang layak jadi bintang. Mereka pantas menerima sanjungan dan penghargaan. Dunia butuh orang yang mampu membahagiakan orang lain. Walau hanya sebatas lewat bulu tangkis. Dari olahraga yang semula dianggap minoritas ini, ternyata mampu mengharumkan nama bangsa kita.
Tidak salah jika Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrowi, jauh hari sudah memasang iming-iming yang diikat dengan janji bonus besar: Rp 5 M untuk peraih medali emas. Saya kira penghargaan ini cukup setimpal, mengingat atlet Indonesia setelah tidak lagi berprestasi, banyak yang hidup di garis kemiskinan.
Bonus Rp 5 M itu, tentu bisa dijadikan simbol mereka untuk siap mental, jika tidak dielu-elukan lagi oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia. Minimal, mereka bisa seperti pendahulunya Susi Susanti, Alan Budi Kusuma, Ricky Subagja yang sukses berwirausaha setelah gantung raket.
Untuk mencapai sukses gemilang di Brazil, pasangan yang karib disapa Owi dan Butet ini, butuh waktu enam tahun berjuang. Status sosial, beda agama dan kultur tak menghalangi pria berdarah Jawa beragama Islam dan wanita berdarah Batak yang nonmuslim itu. Keduanya menyatu dalam satu ikatan: Demi Indonesia!
Karena itu, Ketua Umum PBSI Gita Wiryawan tak pernah goyah dengan tekad dan keyakinan kedua pemain terbaik ganda campuran itu untuk tetap berpasangan di Olimpiade 2016. Wacana untuk memisahkan mereka langsung ditolak Gita, meski di Olimpiade sebelumnya 2012, gagal meraih emas dan hanya membawa pulang medali perak.
Ibarat sebuah keluarga, Tantowi dianggap sebagai sosok “suami.” Meski usianya lebih mudah dari Butet (Liliyana), dia mampu menjadi meredakan gejolak hati pasangannya. Saat Butet sempat tegang menjelang final, Owi mampu menetralisirnya. Owi pun membisikkan kata-kata semangat dan menyejukkan lewat telinga Butet.
Saat itu, Owi berkata kepada Butet: ‘Nggak apa-apa cik, saya siap back-up di belakang. Cik Butet tenang aja jaga di depan. Cici lebih unggul kok (permainan) depannya’’.
Kata-kata Owi ini membuat Butet makin semangat dan percaya diri. “Setelah break, saya rileks saja, toh di game pertama saya sudah menang juga, seharusnya lawan yang under pressure,” ungkapnya seperti yang dilansir BadmintonIndonesia.org.
Bukan, hanya kekompakan dan saling mendukung, mereka juga memiliki semangat yang membara dan tak pernah menyerah.. Terbukti pada sebuah foto yang diunggah Butet sekitar 22 minggu lalu. Yaitu, jauh hari sebelum tampil di Olimpiade Rio Janeiro.
Butet menulis: "Hidup itu pilihan. Hidup itu tanggung jawab. Hidup itu komitmen. Semoga saya masih bisa tetap semangat menghadapi turnamen-turnamen sampai Olimpiade, entah apa yang terjadi pada kami, di awal tahun ini kami coba perbaiki semuanya dari latihan yg berat, komunikasi, fisik, kami evaluasi dan kami benahi. Maafkan kami yang akhir-akhir ini selalu mengecewakan, kami akan berjuang lebih keras lagi, mudah-mudahan kami bisa perbaiki ini."
AIR MATA MEREKA!
Ya…Cabang bulu tangkis memang masih menjadi primadona Indonesia di arena Olimpiade. Langgaran raihan medali emas sejak 1992 itu, berhasil mereka pertahankan. Inilah medali emas ketujuh dari cabang bulu tangkis sepanjang sejarah Indonesia sejak mengikuti Olimpiade 1952 di Helsinki, Finlandia.
Air mata pebulutangkis kita ini pernah bercucuran di setiap Olimpiade dibentang. Sejak Olimpiade 1992 Barcelona Spanyol, Arek Karang Asem Surabaya, Alan Budi Kusuma matanya sembab ketika naik podium menerima kalungan medali emas.
Dia menjadi atlet dan pemain tunggal pria pertama Indonesia meraih emas di Olimpiade. Sungguh luar biasa, karena sukses Alan diperoleh dari All Indonesian Final. Alan mengalahkan rekan senegara Ardy B Wiranata di Pavello de La Mar Bella.
Habetnya lagi, di sektor tunggal wanita, bintang terbaik dunia Susi Susanti, juga berhasil menyandingkan medali terhormat untuk kontingen Indonesia. Inilah “Pengantin Emas” pertama di dunia dan olimpiade. Kedua pasangan ini kemudian mengakhiri karirnya menjadi pengantin yang sesungguhnya. Menikah!
Empat tahun kemudian, di Olimpiade Atlanta Amerika Serikat 1996, pasangan Rexy Mainaky/ Ricky Subagja berhasil menjadi juara ganda putra pertama Indonesia. Kemudian di Olimpiade Sydney Australia 2000, gelar juara ganda putra dilanjutkan pasangan Candra Wijaya dan Tony Gunawan.
Di dua Olimpiade berikutnya di Athena Yunani, 2004, tunggal putra terbaik Indonesia Taufik Hidayat berhasil membekuk jagoan Korea Selatan, Shon Seung-mo di final dan meraih emas. Kemudian ganda putra Hendra Setiawan/Markis Kido mengembalikan tradisi emas ganda pria di Olimpiade Beijing, Cina 2008.
MEMANG ada kepuasan yang tak ternilai ketika mereka berhasil menorehkan sejarah emas untuk bangsa dan negara. Saya sendiri yang hanya sebagai peliput sukses Rexy Mainaky/Ricky Subagja di Olimpiade Atlanta 1998, turut merasakan kebahagiaan campur kebanggaan yang telah mereka rasanya.
Jiwa nasionalisme kita tetap terpatri walau posisi wartawan harus netral. Sebagai anak bangsa, rasa solidaritas itu tetap kental. Di saat mereka sukses, kita juga turut merasakan sukses mereka, walaupun kenikmatan itu hanya sebatas kenikmatan batiniah. Karena itu, tidak salah jika air mata saya pun turut meleleh, ketika Rexy dan Ricky mensyukuri kemenangannya di tengah arena.
Saat saya temui seusai pengalungan medali, Ricky memandang Rexy sebagai rekan dengan kekuatan yang lebih. Tapi sisi emosional Rexy menjadi perhatian Ricky dan pelatih saat itu. Sang pelatih Christian Hadinata menyebut mereka memiliki sifat Yin dan Yang. Yaitu, Rexy memiliki sisi yang berapi-api, dan Ricky memiliki ketenangan.
Rexy Mainaky/Ricky Subagja di Olimpiade Atlanta 1998. (Foto: isitmewa)
Ricky mengakui harus memerhatikan mood Rexy saat bertanding, “Kalau kami sama-sama tidak beres, kami tidak akan bermain bagus dan tak akan kompak,” akunya. Hasilnya? Pasti gagal!
Ricky mengenang saat di French Open tahun 1992, dia dan Rexy tidak berbicara, baik saat bertemu di luar maupun di dalam lapangan. “Kami akhirnya kalah saat itu dan dipanggil pelatih untuk membereskan masalah emosi ini,” ujar Ricky sambil tersenyum.
Kelemahan Rexy dalam penempatan bola dipegang oleh Ricky yang pandai di hal ini. Kondisi saling mengisi secara teknis kadang tidak diimbangi dengan situasi emosi yang beres di waktu-waktu tertentu.
Anda mungkin masih ingat bagaimana Rexy bermain. Selalu berteriak setiap melakukan smash.” Ricky menjelaskan bahwa Rexy selalu melakukan itu sebagai bentuk membebaskan beban di kepala. Ricky mengenang, “Dalam sebuah pertandingan, dia pernah mencoba untuk bermain ‘tenang’, tapi tidak berhasil. Dia main buruk saat itu.”
Kemenangan Ricky dan Rexy di Olimpiade Atlanta tidak mudah didapatkan. Ricky menceritakan bahwa beban bertanding saat itu sangat berat walau secara personal ranking-nya di posisi pertama tidak goyang sejak dua tahun sebelumnya.
Saat bertanding, tidak banyak yang diucapkan Ricky kepada Rexy, “Saya cuma teriak ‘tahan! Tahan!’ selama pertandingan.” Bagi Ricky, momen bertanding di Olimpiade merupakan kesempatan terbaik dan butuh motivasi besar untuk meraih prestasi di pertandingan tersebut. Dan, sukses seseorang itu baru didapat jika dia berhasil mengendalikan emosi jiwanya terlebih dahulu. (*)