COWASJP.COM – ockquote>
O l e h: Subur Setyo Budi
-------------------------------------
PEMERINTAH Kabupaten (Pemkab) Lumajang gagal dalam upayanya mengembangkan kawasan pantai selatan untuk dijadikan lahan tambak udang. Semula pemerintah setempat akan memanfaatkan ribuan hektar tanah timbul atau tanah oloran di tepi pantai selatan untuk tambak udang. Namun dari hasil penelitian pihak terkait diketahui tanah oloran yang berupa timbunan pasir itu tidak bisa dimanfaatkan untuk tambak udang.
Tujuan utama Pemkab Lumajang mengadakan penelitian tanah oloran tersebut untuk memastikan apakah ribuan hektar tanah pasir itu milik Perhutani atau milik Negara. Penelitian tersebut juga sebagai upaya meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah)
BACA JUGA: Penambangan Pasir Semeru Kembali Menggeliat
Sejumlah pengusaha awalnya menyatakan bersedia menanamkan modalnya untuk usaha ttambak udang. Namun setelah mengetahu hasil penilitan tersebut mereka mengurungkan niatnya. Apalagi setelah mereka tahu ada seorang pengusaha yang terlebih dahulu mencetak tambak udang di Kecamatan Tempursari mengalami kerugian cukup besar.
Tanah timbul atau tanah olor itu berada di sepanjang pantai selatan. Yakni mulai dari Dusun Meleman Desa Wotgalih Kecamatan Yosowilangun, Desa Pandanwangi Kecamatan Tempeh dan Desa Bades Kecamatan Pasirian.
Sejak ribuan tahun lalu banjir dari gunung semeru menggelontor jutaan kubik pasir hingga ke laut selatan. Besarnya ombak laut selatan mampu mengembalikan pasir semeru itu hingga membentuk timbunan pasir di sepanjang tepi pantai. Timbunan jutaan kubik pasir semeru itulah yang kemudian disebut sebagai tanah timbul atau tanah oloran.
Skin, nama pengusaha yang gagal usaha tambak udang itu, dia telah mengantongi ijin mengelolah tanah oloran seluas 100 hektar di Kecamatan Tempursari. Karena pasir mudah terurai, sepanjang tepi tambak dibuatkan pasangan batu merah. Sedangkan di tepi tambak yang menghadap ke laut dibuatkan pintu air untuk masuknya air laut ke tambak. Namun parit buatan yang dibangun dari laut hingga ke pintu air sering tertimbun pasir yang dihempaskan ombak.
Sementara itu keberadaan tambang pasir semeru di kawasan selatan Lumajang hingga kini belum mampu mendongkrak PAD. Ironisnya, justru pengelolaan tambang pasir yang oleh Pemkab Lumajang mulai diintensifkan sejak beberapa tahun lalu justru mengalami penurunan pendapatan.
Hal tersebut tercermin dari data penerimaan pajak tambang pasir sbb; Tahun 2010 Rp5.179.200, tahun 2011 Rp 3.292.118.00, tahun 2012 Rp 2.595.705.00 , tahun 2013 Rp 2.210.590.00, dan tahun 2014 Rp 75.835.000.
Penerimaan pajak tersebut sungguh tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan akibat kegiatan penambangan. Ratusan dam truk yang memuat pasir dengan kelebihan tonase berlalu lalang siang dan malam di jalan-jalan pedesaan. Akibatnya banyak jalan desa yang sudah beraspal rusak parah.
Demikian juga ratusan truk tronton yang muat pasir dari tempat pengepulan ke luar Lumajang menimbulkan rusaknya jalan kabupaten dan jalan propinsi yang dilalui.
Datangnya ribuan armada angkutan pasir ke wilayah pertambangan juga menyebabkan rakyat merasa dirugikan. Mereka semakin tidak nyaman bepergian karena selain harus melewati jalan rusak juga lalu-lintas tidak lancar.
Dengan adanya tragedi berdarah di Desa Selok Awar-Awar Kecamatan Pasirian setahun lalu, aktivitas penambangan pasir semeru sempat dihentikan. Tentu masyarakat Lumajang merasa senang, apalagi sepanjang jalan propinsi mulai semeru selatan selatan hingga perbatasan Lumajang-Probolinggo di Ranuyoso dihotmic kembali.
Namun kenyamanan masyarakat Lumajang kini mulai terusik lagi, seiring dengan dimulainya kembali aktivitas penambangan. Bedanya, setelah Pemkab Lumajang melakukan penertiban , kini baru ada 5 pengusaha legal yang melakukan penambangan.
Selain itu hanya jenis dam truk yang boleh masuk ke area penambangan. Sedangkan truk tronton hanya boleh mengangkut pasir dari tempat2 penimbunan pasir yang berada di sepanjang jalan propinsi. (*)