COWASJP.COM – SAYA tidak tahu, mengapa di penghujung malam ini tiba-tiba terketuk untuk menulis secuil kenangan bersama Dahlan Iskan yang kini meringkuk dalam sel tahanan. Meski sudah bekerja bersama puluhan tahun lamanya sejak 1982, tak banyak kenangan dengan dia.
Sebab, saya memang termasuk orang yang tidak mau setor muka di depan pimpinan. Apalagi saya tahu, bukan watak Dahlan suka anak buahnya setor muka. Saya sangat paham, hanya satu yang ia inginan dari anak buahnya, kerja yang baik, kerja keras.
Bahkan—mungkin ini aneh—sejak 1982 bekerja dan bergaul, hanya sekali saja saya ke rumahnya yang saat itu di Tenggilis Mejoyo. Itu pun berombongan dengan ibu-ibu dan beberapa karyawan lain, saat Bu Napsiah Dahlan pulang haji. Ya...hanya sekali itu saja. Ketika Hari Raya Idul Fitri pun, saya hanya mengucapkan dan salaman di kantor.
Saya tahu dia pekerja keras. Waktu 24 jam baginya terasa tidak cukup untuk menampung pola kerjanya. Ia begitu cermat, dan selalu mengontrol pekerjaan anak buahnya. Termasuk bagaimana koran itu sampai di agen, bahkan sampai di tangan pembaca pun tak pernah lepas dari perhatiannya.
Ketika saya masih sebagai Kepala Biro Jawa Pos Madiun, saya sering melihat Dahlan ikut mobil boks pengantar koran untuk mengontrol distribusinya. Dia tidak duduk di kokpit depan dengan sopir, tapi justru tidur di boks yang berisi tumpukan koran. Sedang kernetnya, malah disuruh duduk di kokpit depan. ‘’Yo ngono kui bose, iso turu angler nang mburi,’’ kata Sutoyo, sopir pengangkut koran jalur Surabaya Madiun. Saya hanya garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
Dalam mengajar penulisan jurnalistik, ia pun melakukannya dengan cara yang sederhana tapi mengena. Tapi saya tidak akan mengulas masalah ini karena sudah banyak yang menulis. Saya di sini hanya ingi menyampaikan betapa dia membuat wartawannya benar-benar menjadi seorang jurnalis, bukan sekadar tukang tulis. Saya pernah mengalaminya dan hingga saat ini pun tak pernah terlupakan.
Suatu malam, di Kantor Kembang Jepun, kebetulan saya sedang piket malam. Hujan deras sejak sore tak ada hentinya. Jam sudah menunjukkan pukul 23.00, saya berpikir bahwa piket hari itu tidak ada tugas yang berat, sebab deadline tinggal 1 jam lagi. Tiba-tiba saya dengar suara Dahlan menyentak kebisuan malam. ‘’Santoso sini!’’ teriaknya.
Saya yang waktu itu duduk di ruangan Mbak Umi (sekretaris redaksi) menghampiri Dahlan yang sedang sibuk editing. ‘’Berita ini tidak lengkap, lengkapi dengan konfirmasi dengan ketuanya.’’
Sejenak saya membaca berita itu, ternyata tentang permasalahan yang ada di etnis India Surabaya. Hem...malam-malam, hujan lagi, mana saya gak mengenal bahkan tidak tahu siapa ketua orang-orang India di Surabaya. Saya pun bertanya, ‘’;Harus digarap malam ini juga bos?’’ Jelas pertanyaan itu disampaikan dengan harapan siapa tahu konfirmasi itu bisa dilakukan besok.
Tapi apa jawab Dahlan. Ia dengan tanpa ekspresi bahkan tanpa melihat saya yang ada di depannya langsung jawab dengan kalimat yang sederhana tapi mengena. ‘’;Anda wartawan apa bukan??’’ Ia berkata begitu sambil berdiri dari kursinya dan melenggang ke bagian pracetak tanpa melirik saya sedikit pun.
Saya terhenyak. Mendapat jawaban berupa pertanyaan itu, tak ada pilihan lain, saya cari di buku telepon, cari nama India untuk tanya siapa ketuanya. Jangan bayangkan saat itu seperti sekarang, jangankan handphone, telepon kabel pun masih sulit. Alhamdulillah Tuhan masih berpihak ke saya, nama dan alamat sudah di kantong, tapi....alamak jauh amat, di daerah rungkut yang sekitar tahun 1980-an masih sepi dan hanya ada perumahan baru. Jarak Jalan kembang Jepun sampai rungkut yah...dekat sih,...kira-kira 20-an km kalau gak salah, wong saat itu belum ada mbah google yang bisa ditanya.
Tak mau buang waktu, saya pun menstater motor Honda 90 yang setia mnenemaniku pergi. Honda itu hadiah dari Dahlan saat saya menulis berita seorang kakek yang tinggal di Parang, Magetan dipotong burungnya oleh istrinya sendiri. (Kisah unik dan lucu serta hadiah Honda yang lucu pula khas guyonan ala Dahlan Iskan akan.
Kisah ini saya tulis nanti kalau sempat hehehe). Sampai di perumahan itu, suasana begitu sepi kalau tidak bisa dikatakan mencekam. Tolah-toleh di situ kebetulan ada satpam yang sedang jaga. Diantar satpam saya ketuk pagar, apalagi di bantu satpam membuat orang india setengah umur itu pun keluar. Tapi saya hanya ditemui di pintu pagar. No problem, yang penting ketemu dan mencecar beberapa pertanyaan.
Singkat cerita, 5 menit menjelang deadline saya pun sampai kantor dengan basah kuyup. Saya ketik sebentar (heheh masih zaman mesin ketik nih ceritanya), begitu selesai langsung saya serahkam Dahlan. Ia baca sebentar tanpa diduga ia menepuk pundak saya. ‘’Kamu ternyata seorang wartawan,’’ katanya...lagi-lagi sambil berlalu. Reward berupa tepukan di pundak itu, masih terasa hangatnya sampai saat ini. Yang bikin kheki, begitu pagi baca koran, tak ada secuil kalimat pun hasil hunting semalam termuat...alamakkkk....
Yang jelas, ia selalu memberi kesempatan kepada anak buahnya untuk maju. Suatu saat, ketika Nany Wijaya, redaktur Feature halaman 1 mendapat tugas ke Filipina selama sebulan, maka saya ditugasi untuk menggantikannya. Jadi redaktur feature?? Hemmm.
Bukan pekerjaan mudah, karena saya tahu halaman itu sudah menggunakan jurnalistik sastrawi yang biasa digunakan majalah Tempo. Tapi tak ada kata tak bisa...harus bisa. Alhamdulillah sebulan sampai Nany pulang, boks halaman 1 berjalan dengan baik, tanpa komplain dari Dahlan, bahkan tanpa diedit lagi sedikit pun. Istilah jurnalistiknya ‘’pressklar’’.
Cuman yang agak biklin dongkol, ketika Nany pulang dia tanya.
‘’Siapa yang ngredaktur boks halaman 1?
Dengan enteng saya jawab ‘’Saya, kenapa?’’
‘’Ndak mungkin ini tulisan pak Dahlan.’’
‘’Ngomongo dewe karo Batman, percaya karepmu ora percaya ya karepmu,’’kataku dalam hati, langsung saya tinggal ngelewes pergi.
Cerita lain, setelah saya benar-benar diangkat jadi redaktur dan diberi tanggungjawab halaman Jawa Timur. Di Kantor Karah Agung seperti biasa sebelum kerja banyak wartawan dan redaktur yang ngobrol di tempat sempit dekat tangga. Saat itulah Dahlan bilang, ‘’halaman kita nih berat-berat, dari halaman 1 sampai terakhir isinya berat semua.‘’
Berawal dari situlah malam itu juga saya pun bikin draft berita ringan, unik, dan kalau bisa lucu. Tanpa harus bikin proposal apalagi minta persetujuan (bukan budaya kerja di Jawa Pos), hari itu saya edit sebuah berita unik dari Almarhum Mbah Mursodo, Blitar sesuai draft yang saya buat. Sedikit bangga ketika sore harinya di tempat yang sama Dahlan bilang, ‘’nah ini dia yang dibuat Santoso, ringan unik dan lucu, tinggal kasih rubriknya apa??
Saat itu banyak yang mengusulkan nama rubrik, tapi semua ditolak Dahlan. Akhirnya dia sendiri yang membuat, dan rubrik itu diberi nama OPO MANEH’’
Alhamdulillah, rubrik itu akhirnya diakui mampu mendongkrak oplah Jawa Pos di tingkat eceran.
Karena ternyata sangat disukai, dan ditunggu pembaca. Bahkan di level bawah yang biasanya tidak membaca koran, akhirnya membeli juiga untuk sekadar membaca OPO MANEH yang dilakukan si BONDET tokoh sentral yang saya ciptakan. Sampai akhirnya Dahlan menulis prakata di buku saya yang sempat best seller ‘’BONDET (SISI HITAM SEORANG WARTAWAN).
Dalam buku saya yang terbit tahun 2012 itu di antaranya Dahlan menulis sebagai berikut :........Pernah secara bergurau saya bercanda dengan saudara Santoso, agar dia lebih hati-hati. Kalau terlalu lama mengasuh rubrik Bondet, bisa-bisa anda jadi ahli mBondet. Tapi sebagai pimpinan Jawa Pos saat itu saya tidak berani mengganti Sdr Santoso. Kalau ganti redaktur bisa jadi warna rubrik itu luntur dan pembaca menjadi tidak suka.
Dalam hati saya berkata, kalau sampai suatu saat Sdr Santoso mBondeti wanita, berarti sebagian merupakan kesalahan saya. Saudara Santoso tidak pernah tersinggung dengan gurauan seperti itu. Dia sendiri suka bercanda dan tertawanya selalu renyah. Saya tidak lupa bagaimana nada tawa Sdr Santoso, karena begitu gampangnya dia tertawa.
Mengingat rubrik itu sudah agak lama dihapus dari Jawa Pos, buku karya sdr Santoso ini punya arti khusus bagi saya : NOSTALGIA. Saya ingat hari-hari yang menyenangkan di ruang redaksi Jawa Pos yang serba bebas dan merdeka. Suasana seperti itu kian saya rindukan saat saya sudah menjadi Menteri BUMN seperti sekarang ini. ALANGKAH MAHALNYA KEBEBASAN DAN KEGEMBIRAAN SEPERTI ITU...............’’
Menulis kalimat terakhir itu tak terasa air mataku meleleh...hari ini kebebasan Dahlan terpasung. Saya tidak tahu, apa yang dilakukan Dahlan di sel tahanan yang pengab itu. Memang, tak ada gading yang tak retak, saya pernah kecewa dengan Dahlan. Tapi kekecewaan itu sudah sirna bersama perjalanan sang waktu. Apalagi nenekku pernah menasihati ‘’wong iku kudu iso mikul dhuwur, mendhem jero.’’
Hanya doa kecil yang bisa saya sampaikan, semoga Tuhan segera melepas cobaannya buat insan energik ini. (Bersambung/*)