COWASJP.COM – ockquote>
C a T a T a N: Djono W Oesman
------------------------------------------------------------------
(Pengamat Sosial dan Mantan Wartawan Jawa Pos)
“Mumpung Dahlan menteri, ayo kita minta proyek…” kata seorang teman, suatu hari di 2013. “Kapan lagi?” kata teman lain, di hari lain. Ternyata orang yang ‘minta-minta’ ke Dahlan, ribuan. Saya pernah melihat.
SENIN pagi, 16 Juni 2014 saya diterima Dahlan di ruang kerja Menteri BUMN. Nama saya dicatat di buku tamu. Saya diterima bersama delapan tamu lain.
Kami diterima Dahlan (tanpa staf) di meja oval besar. Mendadak, seorang tamu lelaki menyatakan, dia dan temannya ingin bicara enam mata (bertiga dengan Dahlan).
Langsung disusul dua tamu wanita, juga mengajukan permintaan sama. Mereka seperti berebut, ingin pertemuan eksklusif.
Dahlan cepat memotong: “Tidak ada pertemuan tertutup. Semua bicara disini, supaya semua orang bisa dengar…” tegasnya.
Benar-benar bakal seru… pikir saya saat itu.
Ternyata, permintaan tamu sungguh mengerikan... Disitulah karakter negatif manusia. Serakah, culas, adu-domba. Jahat…
PENJAJAGAN BISNIS CORPORATE to GOVERNMENT
Berikut ini misi saya menemui Dahlan.
Awal Mei 2014 kawan saya Muhammad Agus Jauhari, mantan Wartawan Tabloid Gugat (Grup Jawa Pos) menelepon saya:
“Ada pengusaha ingin ketemu pak Dahlan. Bisakah dibantu?”
“Kalo dia pengusaha, langsung ke pak Dahlan.”
“Sudah dia coba, gak bisa.”
“Bohong. Pak Dahlan terbuka.”
“Kata dia begitu.”
“Semua orang ingin dekati pejabat. Motifnya pasti uang. Kasihan pak Dahlan.”
“Ini niatnya mulia.”
“Halaaah… Bahasa langit.”
Pembicaraan soal itu tak berlanjut. Kami bicara hal lain.
Dua hari berselang, Muhammad Agus Jauhari (akrab dipanggil Jo) ke rumah saya. Dia bicara soal itu lagi. Saya ogah-ogahan. Hal beginian sering.
“Sudah, gini aja mas,” kata Jo. “Sampean saya temukan dengan beliaunya.”
“Beliaunya ini siapa?”
“Pengusaha, puteranya kiai di Jatim.”
Saya dan Jo ketemu pengusaha (saya lupa namanya. Usia sekitar 40-an). Dia didampingi seorang pemuda membawa tas. Ketemu di café kelas menengah dekat Sarinah, Jl Thamrin, Jakarta Pusat.
Disana pengusaha membeberkan dokumen. Intinya, perusahaan dia (kontraktor) ditawari perusahaan Korea Selatan (saya lupa namanya, tapi berdokumen). Butuh pelepah sawit, minimal 10 ton per bulan. Rutin.
Pihak Korsel punya mesin canggih. Pengolah pelepah jadi bungkil. Bungkilnya jadi bahan bakar industri. Katanya, dua kali lipat lebih efektif dan efisien dibanding batubara kelas satu.
Jika si pengusaha sanggup, pihak Korsel akan membangun pabrik di Indonesia. Masuk sebagai PMA (Penanaman Modal Asing). Mitra lokalnya perusahaan si pengusaha. Produknya dijual ke Korsel.
Ketika saya wartawan Jawa Pos, pernah bidang liputan ekonomi (1992 – 1997). Setahu saya, Indonesia butuh PMA. Gunanya:
1) Menggalakkan perekonomian. Menyerap tenaga kerja. Meningkatkan daya beli masyarakat. 2) Transfer pengetahuan (ini hal baru). 3) Khusus yang ini: Pemasukan devisa negara (produknya ekspor).
Tapi, ini salah alamat. Bukan ke BUMN, melainkan ke BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) dan Kementerian Perindustrian.
Pengusaha menyela: “BUMN punya sangat banyak perkebunan sawit, pak.”
Saya diam.
“Kami beli pelepahnya. Tidak minta. Kami beli mahal,” katanya.
Saya menyimak.
“Selama ini pelepah jadi sampah di perkebunan sawit,” tambahnya.
Saya berpikir.
“Tugas pak Djono menyampaikan ini ke pak Dahlan. Bapak jadi duta kami ke beliau,” jelasnya.
Dipaparkan, nantinya ada agreement swasta-pemerintah (C to G – Corporate to Government) jual-beli pelepah. “Pak Djono jadi duta C to G,” ujarnya.
Jujur, saya ngeri. Ini bukan bidang saya.
Saya pikir, ini harus tender. Tapi dia katakan, ini tanpa pesaing. Teknologi baru, eksklusif milik si Korsel. Tak ada duanya. Di Korsel pun hanya swasta Korsel ini yang punya.
Pemerintahnya tidak.
Saya: “Bapak kirimkan saja proposal ke menteri BUMN.”
“Sudah setahun lalu. Tidak ada jawaban.”
“Bapak temui saja pak Dahlan. Gampamg, kok,” saya menghindar.
“Saya sudah berusaha. Tamu beliau terlalu banyak.”
Saya diam. Dia menimpali:
“Pak Djono cukup ke beliau sebagai pembuka. Selanjutnya kami,” ujarnya.
“Saya pikirkan.”
Dia riang, memberikan semua dokumen.
Sebulan saya mikir. Gak ada bahayanya, baik bagi saya maupun pak Dahlan. Tidak korupsi, kolusi, nepotisme. Kalau BUMN jual pelepah, ya… si Korsel beli. Jika tidak, ya sudah.
Aman.
Akhirnya, saya SMS pak Dahlan: “Apa kabar, pak DIS? Saya ingin senam pagi dengan bapak.” Langsung dijawab: “Sekarang saya di Denpasar. Ketemu di apartemen jam 5 nanti.” Saya: “Siap pak.” Dia: “Kamu telat saya tinggal.” Saya: “Siap.”
Saat itu, jam di dinding kantor saya (Irnews.com) Blok M Jakarta pukul 21.00. Jadwal ketemu delapan jam lagi. Sedangkan, Dahlan masih di Bali. Bener-bener, Dahlan masih se-energik dulu.
INILAH… SENAM GAYA BURUNG KUNTUL
Pagi buta, 16 Juni 2014 saya dan Jo di apartemen Dahlan di SCBD Jakarta. Security mengatakan, tunggu di lobby. “Pak Dahlan nanti lewat sini,” ujarnya.
Di sofa saya mengantuk. Belum tidur di kantor. Seandainya tadi saya pulang dulu ke Depok (35 km), bisa telat. Untung, di kantor ada kaos merah. Juga sepatu kets DI. Pantaslah ikut senam.
Pukul 04.50 Sahidin (sopir Dahlan) muncul depan lobby dengan Mercy hitam. Lima menit, Dahlan keluar lift ke lobby. Berkaos orange, celana training hitam, sepatu kets DI.
Trengginas, gesit. Dia menebar senyum. Kami cipika-cipiki.
Mercy berangkat tanpa voorijder. Dahlan duduk kiri depan. Saya kanan belakang.
Dalam mobil Dahlan banyak bertanya kondisi saya dan keluarga. Tanya sampai detil. Saya tahu, dia sedang mengukur, apa tujuan saya menemuinya.
Jalanan Jakarta lengang. Tahu-tahu kami tiba di Monas. Dahlan disambut para staf, orang-orang penting, hampir seratus orang (kebanyakan wanita). Semua berkaos seragam:
Orange, training hitam. Kets DI. Rupanya ini klub senam. Saya baru tahu.
Dahlan memperkenalkan saya ke orang-orang penting itu. “Ini Dwo… mantan wartawan Jawa Pos, anak buah saya,” kata Dahlan. Otomatis, orang-orang penting menyalami saya, dengan hangat.
“Dwo, anda boleh ikut senam, boleh tidak,” ujar Dahlan.
“Saya senam, pak.”
“Wah, bagus.”
Dahlan tahu, saya inginkan sesuatu. Jadi, boleh tidak ikut senam. Tapi, kaos saya merah celana hitam, mereka orange-hitam. Beda tipis-lah. Sedangkan Jo, kaos putih celana krem. Jauh…
Spontan, semua berbaris rapi. Dahlan paling depan, tengah (centre). Saya pilih deretan paling belakang, tengah. Jo semula ragu, tapi ikut juga di sebelah saya.
“Ayo… kita mulai…” teriak Dahlan.
Seorang ibu mendekati tape recorder di pojok depan. Menekan tombol. Lagu pop lama langsung menghentak. Suaranya ternyata kencang di lapangan luas itu.
Disini, baru problem.
Gerakan senam unik. Tidak lazim. Melenggang, meliuk-liuk, melompat kiri-kanan, menonjok. Ampuuun… Saya berusaha keras meniru. Tapi selalu telat.
Belum lima menit, Jo meninggalkan barisan. “Aku tunggu disana, mas,” bisiknya. Saya cegah: “Kamu calo. Harus ikut senam.”
Dia ngikik. “Gak ah.... senamnya ngeri…” Dia beringsut, mengendap-endap, kabur.
Tinggal saya berjuang. Bener-bener termehek-mehek. Gerakan saya kocar-kacir. Sampai seorang ibu di sebelah saya menolong, memberi aba-aba: “Awas… bentar lagi loncat ke kiri.”
Saya meloncat kiri, tapi gerakan tangan salah. Saya menyesuaikan. Si ibu langsung aba-aba: “Siap-siap… loncat kanan…”
Saya ikuti. Huuups… nyaris ditabrak ibu itu. Ternyata, mereka dua kali loncatan ke kanan. Busyet… gak bilang-bilang.
Saya tidak menyerah. Toh, tidak banyak yang melihat kesalahan saya di belakang. Paling, cuma ibu sebelah ini.
Terpenting, enjoy ikuti irama lagu. Kadang mirip joget, kadang mirip silat. Berdiri satu kaki, kayak burung Kuntul siap menerkam ikan.
Mendadak, si ibu instruksi keras: “Awas… siap loncat putar… balik kanan…”
Saya ikuti. Dan, saya kaget setengah mati.
Kini barisan sudah berbalik arah. Saya di posisi paling depan, centre. Persis seperti posisi pak Dahlan, tadi. Whadow… mbok…
Tidak ada panutan lagi. Ingin kabur, tapi malu. Terpaksa, saya melirik gerakan ibu di sebelah. Sialnya, si ibu tidak lagi membantu aba-aba. Mungkin dia nggak enak dilihat orang banyak.
Saya sangat grogi. Tegang. Detik itulah, saya ingat kata Dahlan, tadi: “Anda boleh tidak ikut senam.” Aduuuh biyung… mamulo… mamulo…
Tegang, justru gerakan saya kacau, abis....
Ibu-ibu di belakang saya cekikikan, menahan tawa. Jo berdiri di kejauhan, ketawa terbungkuk-bungkuk. Saya komat-kamit berdoa: Segera-lah… waktu berlalu.
Tuhan mungkin kasihani saya. Tiga-empat jurus berlalu, tahu-tahu barisan meloncat kompak: Praaak… Putar balik arah lagi.
Maafkan… Saya telat meloncat. Semua sudah menghadap selatan, saya masih hadap utara. Sendirian…
SERIBU DESAKAN KKN, SERIBU TANGKISAN
Bubar senam (satu setengah jam) Dahlan menepuk-nepuk bahu saya: “Anda ternyata masih fit. Luar biasa…”
Saya tidak tanya, apakah dia memuji, atau meledek. Sebab, dia pasti lihat ketika saya jadi ‘pemimpin’ senam di tiga-empat jurus, tadi.
Segerombol orang langsung merapat. Bukan rombongan senam. Mereka dikoordinir oleh staf Kementerian BUMN. Dahlan berkata ke mereka: “Semua bicara di kantor…”
Ternyata mereka tamu menteri BUMN.
“Dwo… ayo ikut saya,” perintah Dahlan.
“Siap pak,” saya dan Jo jalan cepat menuju Mercy hitam. Formasi duduk, seperti tadi.
Mobil bergerak tanpa voorijder. Saya sampaikan niat. Dahlan menyimak. Satu-dua pertanyaan dia lontarkan. Saya jelaskan lengkap-cepat. Sebab, kantor BUMN hanya selemparan batu dengan Monas. Dia manggut-manggut.
Turun mobil, Dahlan sudah diserbu penggemarnya minta tanda-tangan dan foto-foto. Kelompok ini bukan klub senam, juga bukan rombongan tamu. Dahlan benar-benar selebritis.
Para tamu menteri (termasuk saya dan Jo) didata, diberi keplek (tanda Tamu). Masuklah kami ke ruang kerja Dahlan. Ruangan besar.
“Saya ganti pakaian, sebentar ya…” kata Dahlan.
Semua tamu mengangguk. Dahlan masuk ruangan di dalam ruang kerja. Keluar, dia sudah pakai kemeja putih, lengan tergulung, celana hitam.
Belum sempat Dahlan bicara, dua rombongan berbeda minta bicara tertutup. Langsung ditolak Dahlan. Tegas. “Semua bicara terbuka disini,” tandasnya. Sekaligus pembuka pembicaraan.
“Silakan giliran anda bicara,” ujar Dahlan, menunjuk tamu pria dan wanita yang minta bicara tertutup. Mereka tampak kaget.
Tamu pria memperkenalkan diri. Dia juga perkenalkan wanita di sebelahnya. Bicaranya pelan, mirip berbisik. Saya tidak dengar yang dia katakan.
Dia membuka tas, menyodorkan kertas-kertas ke Dahlan. Diterima Dahlan, diamati teliti. Sebentar kemudian, Dahlan berkata keras: “Tidak bisa begini…”
Dari penjelasan Dahlan, kami semua mendengar. Tamu itu petinggi perusahaan BUMN di Sumatera. Ada masalah hukum di perusahaan dia, terkait bupati setempat. Lalu dia menyodorkan kertas agar ditanda-tangani Dahlan. Ngeri...
Apa kata Dahlan: “Persoalan hukum diselesaikan di kepolisian. Tidak boleh saya intervensi,” katanya.
Lalu tamu menanggapi (saya tidak dengar suaranya). Dahlan cepat memotong: “Tidak bisa.”
Tamu masih menawar lagi. Begitu uletnya si tamu. Dia mengatakan:
“Kalau begitu, tolonglah pak menteri menghubungi pak bupati.”
]Dahlan berpikir sejenak, lalu: “Mana nomor telepon bupati?” Ternyata si tamu tak punya.
“Ada persoalan lain lagi?” tanya Dahlan.
Dijawab tamu, tidak. Selesai. Tidak sampai tiga menit.
Lantas Dahlan mengalihkan pandangan ke tamu-tamu lain. “Giliran selanjutnya, silakan,” katanya, menunjuk tamu lain.
Sedangkan, dua tamu pertama mohon diri.
Tamu berikutnya, meminta Dahlan hadir di suatu acara. Dahlan menyatakan, tidak janji tapi akan berusaha. Selesai. Tidak sampai dua menit.
“Lanjut…” ujar Dahlan.
Tamu dari Perumnas membawa seperangkat kamera. Minta Dahlan disyuting. Ucapan selamat HUT Perumnas.
Oke... dilakukan cepat.
Tanpa make-up, Dahlan syuting. Ucapan selamat HUT Perumnas. Tidak sampai sepuluh menit.
“Lanjut…” kata Dahlan menunjuk tamu.
Si tamu meminta Dahlan hadir di kampanye Capres Jokowi-JK di Depok, Bogor. Diterima: “Boleh, asal bukan di hari kerja,” ujar Dahlan. (saat itu Dahlan pendukung Capres Jokowi-JK).
“Lanjut,” Dahlan menunjuk tamu. Tidak urut. Saya dan Jo diloncati.
Nah… dua tamu pria yang ditunjuk ini, tadi minta bicara enam mata. Mereka kaget. Sebab, sesuai urutan duduk mestinya mereka terakhir, setelah saya. Ternyata saya diloncati.
Ternyata suara bapak itu sangat pelan. Sampai-sampai Dahlan yang berjarak semeter tidak mendengar.
“Apa? Apa?” tanya Dahlan, meringis.
Bapak yang satu lagi membantu bicara. Tapi pelan juga.
Baru-lah Dahlan mempertegas: “Anda minta dijadikan komisaris Telkom?” tanyanya lantang.
Dua bapak itu mengangguk, menunduk. Porturnya keren-keren. Rapi, gagah. Usia sekitar 40-an. Tapi mereka menunduk, jadi tidak keren. Salah satunya bicara pelan. Dahlan langsung memotong:
“Ya… anda sudah membantu saya, mengumpulkan orang. Tapi, saya tidak minta dibantu.”
Dua tamu diam. Sangat mungkin mereka malu. Banyak orang mendengar pembicaraan ini. Dahlan melanjutkan:
“Jangankan anda, pak Djono yang duduk disitu itu kawan lama saya,” Dahlan menunjuk saya. “Dia kesini tidak minta-minta. Bahkan menawarkan, mau beli pelepah sawit. Saya belum jawab,” tuturnya.
Inilah gaya Dahlan. Gesit-tegas. (pengalaman saya 24 tahun berkarir jurnalistik di Jawa Pos, sedang saya novel-kan. Kiat CEO Dahlan Iskan membangun Jawa Pos. Seru, dramatis, lucu, humanis).
Dahlan menjelaskan:
“Tawaran pak Djono sesuatu yang baru. Tapi, pelepah sawit jadi pupuk di kebun. Maka, tidak bisa dibeli. Jika pelepah dibeli, pemerintah harus beli pupuk untuk kebun sawit,” jelasnya.
Misi saya selesai. Dahlan menerangkan kepada tamu, si pengincar jabatan Komisaris Telkom, sekaligus menjawab tawaran saya.
Pertemuan diakhiri. Kami semua berpamitan ke Dahlan.
Apakah peristiwa tersebut hanya terjadi hari itu? Tidak. Dahlan mengatakan, setiap hari selalu ada banyak tamu. Bahkan di hari libur. Model tamunya kurang-lebih seperti itu.
Dahlan jadi Menteri BUMN 19 Oktober 2011 sampai 20 Oktober 2014. Tiga tahun lebih sehari.
Katakanlah, dia didesak KKN rata-rata satu per hari. Maka, sekitar seribu desakan KKN sepanjang karir menteri. Mengerikan. Tidak satu pun membuatnya terpeleset.
Betapa sulitnya jadi pejabat disini. Di saat, tipologi masyarakat kita seperti ini: “Mumpung saudara kita menteri. Ayo… kita minta proyek….”
(Depok, 1 November 2016)