Ketika Negeri Makin Terbelit Utang

Foto dan Ilustrasi CoWasJP

COWASJP.COM“Utang dan piutang singkirkanlah! Berkat piutang kerap hilang uang dan teman. Dan utang pun membunuh sikap berhemat.”

Shakespeare, Hamlet, Babak I Adegan 3

TOTAL utang pemerintah Indonesia pada September 2016 tercatat sudah mencapai Rp3.444,82 triliun. Angka ini naik Rp 6,53 triliun dibanding tahun sebelumnya Rp 3.438,29 triliun.

Pengamat Anggaran Politik dan Direktur Center for Budget Analysist (CBA) Ucok Sky Khadafi menilai, kenaikan utang ini tidak sehat. Pasalnya, APBN tidak pernah mencapai target dalam dua tahun terakhir. “Selama neraca keuangan tidak sehat, pajak pemerintah saja masih belum mencapai target,” kata dia kala dihubungi Okezone di Jakarta. “Utang ini di tutup dengan utang lain, istilahnya gali lobang tutup lobang yang lama kelamaan akan menjadi bangkrut,” kata dia.

Sekedar informasi melansir situs resmi Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu) 78,4% pinjaman berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 2.701,03 triliun. Kemudian, utang yang berasal dari pinjaman luar negeri turun menjadi Rp 738,89 triliun. Adapun pinjaman luar negeri bulan sebelumnya, adalah Rp749,33 triliun.

Sementara itu. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah butuh dana sekira Rp210 triliun pada tahun 2017 mendatang untuk membayar beban bunga utang jatuh tempo. Untuk membayar bunga utang, muncul opsi penambahan utang pada tahun 2017 mendatang.

Hanya saja, Menteri Sri Mulyani memastikan bahwa akan berhati-hati dalam menerbitkan surat utang negara sepanjang tahun 2017 mendatang. Artinya, meskipun beban bunga utang besar, namun hal ini tidak membuat pemerintah melakukan penerbitan surat utang besar-besaran.

sri-mulyani-CNN-Indonesiaio257.jpg

Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Foto: CNN Indonesia)

"Saya tidak katakan seperti itu. Saya tidak akan lakukan front loading seperti tahun ini. Jadi kita terus hati-hati," kata Sri Mulyani di Kompleks Istana Negara, Jakarta, Selasa, 25 Oktober 2016 yang lalu.

Pada kesempatan yang sama, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution menuturkan, besarnya beban utang ini juga diharapkan tidak akan mengganggu sektor pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur pun tetap akan dikebut dengan mekanisme kerja sama dengan pihak swasta atau dengan mekanisme public-private partnerships (PPP).

"Infrastruktur itu mahal sehingga investasi dalam jumlah besar perlu waktu dan uang lebih banyak untuk gerakkan pertumbuhan. Jadi kita akan bangun dengan mekanisme PPP," tutur Darmin.

darmin-nasutionblok-berita8zuFL.jpg

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution. (Foto: blok berita)

Mengerikan? Tentu. Ada skenario, negeri ini bangkrut tak bisa membayar utangnya karena berbagai masalah makin rumit. Sekarang saja tingkat keterbelitan warga masyarakat pada utang sangat merata, dari rakyat miskin di pantai-pantai kaum nelayan, para petani hingga bakul di pasar, para pegawai menengah dan sebagainya. Segala macam kredit merangsek warga masyarakat setiap detik, jam, dan hari. Sampai di mana mereka bisa bertahan?  Huruhara menjadi ancaman karena jutaan orang lapar dan tak terkendalikan oleh aparat negara.

Tetapi tenang saja, karena banyak bangsa terbelit utang. Berjuta dan bermiliar orang terbelit utang.

Benar, amat banyak negeri yang dililit utang Rakyat Amerika, yang sering dilukiskan makmur, juga dibelit utang. Banyak pihak juga merasa ngeri ketika berbicara tentang utang. Dalam sebuah situsnya di Internet, misalnya, U.S. National Debt Clock menyebutkan bahwa Total Public Debt negeri itu pada Rabu pukul 19.00 sekitar 19.784.728.159.854 dollar AS. Dengan utang sebesar itu, Pemerintah AS harus bayar bunganya saja per detik 15.670 dollar AS. Dengan jumlah penduduk AS sekitar 323 juta jiwa, utang tiap warga AS adalah sekitar 61.296 dollar AS!

Utang rupanya tak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Sejak dahulu kala, tak terhitung cerita yang mengisahkan keterpurukan orang atau bangsa akibat terbelit utang. Berbagai agama juga melarang kegiatan utang yang melibatkan riba, tetapi larangan itu seolah tak ada arti. Dalam hal ini, memungut riba termasuk perbuatan pencurian. Artinya, mengambil harta milik orang lain atau milik masyarakat. Perbuatan yang termasuk sejenisnya adalah penggelapan, pemerasan dan berdagang tidak jujur.

utang-negaraSINDOnewsXKZPl.jpg

ILUSTRASI: Utang (SINDOnews)

Bagi kaum Yahudi dan Kristen, Injil Perjanjian Lama secara tegas melarang pemungutan riba seperti disebutkan dalam Nehemiah 5:11 dan Exodus 22:25, dan sebagainya. Dalam agama-agama tradisional Afrika, ada peribahasa Igala (Nigeria) yang berbunyi, “Bila kamu tidak menanam, jangan memanen.” Di dalam agama Tao, para penganutnya diperingatkan:”Mengambil kekayaan seseorang secara tidak benar ibarat memuaskan rasa lapar seseorang dengan makanan busuk, atau rasa haus seseorang dengan anggur beracun. Hal itu memang memberikan kelegaan sesaat, tetapi kematian akan menyusulnya.”

Bagi kaum Hindu, Hukum Manu 9.263 mengingatkan mereka bahwa “Para pencuri yang pikirannya selalu diselimuti kejahatan, yang secara diam-diam membuat kerusakan di bumi, tidak dapat dikendalikan kecuali dengan hukuman.” Dalam agama Buddha, Sutta Nipata 119-21 antara lain menyebutkan, “Siapa pun mencuri apa yang dipandang milik orang lain, apakah itu di desa-desa atau hutan, ia harus dipandang sebagai seorang terkucil.”

Larangan riba dalam Islam juga amat jelas. Al Quran 3:130 mengingatkan, “Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” Ayat itu hanyalah satu di antara berbagai ayat dalam Al Quran yang menunjukkan larangan riba dan sejenisnya.

Meskipun larangan jelas, semua bangsa dan kelompok masyarakat tampaknya tak bisa terpisahkan dari kegiatan utang-piutang, dan tentu saja melibatkan riba. Namun dalam dunia modern, bunga bank dianggap sesuatu yang wajar, meskipun di banyak negara Islam, perbankan dijalankan dengan menggunakan sistem syariah. Pada sebagian cendikiawan Muslim sendiri pun muncul pandangan bahwa bunga bank dalam pinjaman untuk berbisnis bukan sesuatu yang haram. Pasalnya uang pinjamannya digunakan untuk berdagang alias berbisnis yang mendatangkan keuntungan.

Terlepas dari semuanya itu, menariknya, dari sekian bangsa di dunia, bangsa Yahudi adalah bangsa yang “paling jago” dalam berbisnis, termasuk dalam bisnis uang. Ini terjadi sejak abad pertama Masehi ketika Tentara Romawi menghancurkan tempat-tempat ibadah orang-orang Yahudi di Jerusalem dan mengusir mereka dari kota itu. Orang-orang Yahudi kemudian pindah bertebaran ke mana-mana, terutama ke Eropa dan Rusia. Tak bisa bercocok tanam, mereka pun berdagang. Sebagian membungakan uang.

Simaklah berbagai tulisan mengenai industri keuangan di Amerika sebagai negara adikuasa, maka akan diakui bahwa sebagian besar bisnis tersebut adalah di tangan orang-orang Yahudi. Akan diketahui pula bahwa “the percentage or national and State debts of the United States held to Jewish hands.” Buku Jews and The Money: The Myth and the Reality karya Gerald Krefetz, seorang Yahudi di New York, akan memperjelas pernyataan itu.

Aneh? Sama sekali tidak. Bacalah The Universal Jewish Encyclopedia, misalnya, maka akan terlihat bagaimana orang-orang Yahudi memang jago berbisnis uang. Dalam ensikopedia tersebut antara lain dijelaskan bahwa menjelang abad ke-10 saja (yang berarti lebih dari 1.000 tahun yang lalu), orang-orang Yahudi sudah menguasai bisnis peminjaman uang. About the close of the 10th Century, money lending became the primary occupation of the Jews, on account of canonical prohition of interest for Christian, kata buku itu. Dalam beberapa dekade saja, tambah buku itu, hampir semua penduduk Kristen Eropa terlibat utang pada orang-orang Yahudi, yang menjadi “holders of pawned villages, towns and even sanctuaries of the Church.”

Kehebatan orang-orang Yahudi dalam bisnis keuangan memang tidak terbantahkan. Meskipun begitu, kegiatan yang melibatkan pemberian utang dilakukan oleh hampir semua bangsa dan kelompok masyarakat di dunia. Juga, tidak semua orang Yahudi hidup hanya menumpuk kekayaan. Banyak di antara mereka yang hidup sederhana dan menjadi orang-orang idealis, membantu banyak orang yang kesusahan.

Apa yang mesti kita ambil pelajaran dari sejarah tentang utang-piutang adalah bahwa utang cenderung menimbulkan keterikatan, keadaan tidak merdeka. Benjamin Franklin pun menyampaikan pandangannya: If you would know the value of money, go and try to borrow some.

ezra-poundThe-Guardiannh7SH.jpg

Penyair terkemuka Amerika Ezra Pound. (Foto: The guardian)

Penyair terkemuka Amerika Ezra Pound mengatakan sejak 70 tahun lalu, biang utama terbelitnya rakyat Amerika pada utang adalah kekuasaan kelompok tertentu atas modal dan ekonomi. Dia menyebut, rakyat Amerika sebenarnya tidak merdeka karena mereka terbelit oleh utang dan riba. “Tidak ada kemerdekaan tanpa kemerdekaan ekonomi,” kata Pound.

Pernyataan pujangga kesohor Inggris, William Shakespeare, yang dikutip di atas kiranya patut pula direnungkan.(*)
 
Djoko Pitono, veteran jurnalis dan editor buku.

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda