COWASJP.COM – ANTARA Dahlan Iskan dan Bondet (lanjutan)Sebenarnya aku dan Dahlan iskan kenal sudah lama sekali, sebelum ia menjadi komandan Jawa Pos tahun 1982. Waktu itu, kira-kira tahuin 1979, ketika saya sedang getol menulis persidangan kasus Komando Jihad (koji) di PN Madiun.
Saya tidak tahu, mengapa wartawan Madiun saat itu tidak ada yang tertarik dengan persidangan itu. Setiap sidang, hanya saya saja yang nongkrong di situ. Apa karena meliput sidang tak ada angpao-nya, entahlah….hehehehe. .Dan tentu saja hanya saya saja yang menulisnya.
BACA JUGA: Antara Dahlan Iskan dan Bondet
Padahal menurut saya banyak sekali yang menarik, hingga saya menulis untuk Jawa Pos secara run news. Dari persidangan semacam itu, saya belajar teknik interogasi yang saya kaitkan dengan teknik wawancara. Bahkan dari situ pula saya bisa menguasai bagaimana pertanyaan yang lugas dan bagaimana pertanyaan yang menjebak.
Saat meliput Komando Jihad itulah saya melihat orang baru yang masuk ruang sidang dengan baju berwarna biru lengan panjang yang lengannya ditekuk separo. Ndelok ambune, saya tahu kalau dia seorang jurnalis seperti saya. Tapi melihat gayanya yang cuek, saya yakin itu wartawan Surabaya.
Biasanya, wartawan Surabaya memandang sebelah mata terhadap wartawan daerah. Ia hanya berbaik-baik kalau ada maunya, misalnya minta informasi berita atau suruh ngantar ke pejabat setempat.
Waktu itu saya juga bersikap cuek. Sampai akhirnya datang Mas Latif, wartawan Tempo Madiun. ‘’San, kenalkan ini mas Dahlan, Kepala Biro Tempo Jawa Timur,’’ kata Mas Latif…. Owww…saya baru ngeh…..Kami pun bersalaman, tapi lagi-lagi dia cuek dan hanya sesekali ngobrol dengan Mas Latif.
Untuk sidang-sidang minggu berikutnya, dia sudah mulai mau ngobrol dengan saya. Sampai akhirnya saya bertanya, ‘’Mas ini ada lowongan di Koran Memorandum, menurut anda sebaiknya saya tetap di Jawa Pos atau melamar ke Memorandum,’’ Tanya saya.
Waktu itu Memorandum tidak seperti sekarang yang identik dengan Koran kriminalitas. Saat itu Memorandum merupakan Koran politik yang cukup galak, milik mantan tokoh mahasiswa Agil H Ali. Dia pun menjawab, ‘’kalau sama-sama kecilnya ya mending di Memorandum,’’ katanya.
Tapi akhirnya nurani saya menolak. Sebab saya berpikir praktis saja, kalau sama-sama kecilnya ya mending tetap di Jawa Pos. Sebab selama ini, Jawa Pos yang saat itu milik keluarga Om The, yang memberi kesempatan saya belajar dan mendalami jurnalistik. Andai saja saya mengikuti saran Dahlan saat itu, mungkin saya tidak akan menjadi salah satu saksi hidup kebangkitan Jawa Pos yang akhirnya menjadi imperium sekarang ini.
Sekarang, saya hanya bisa melihat Gedung Graha Pena yang menjulang tinggi di Jalan A Yani Surabaya, tanpa mengenal lagi siapa di dalamnya. Paling-paling Azrul Ananda, putra mahkota Dahlan Iskan yang saya kenal sejak kanak-kanak,….dan beberapa orang yang saat saya masih di situ baru masuk kerja.
Setiap kali lewat depan Graha Pena bersama cucu, saya paling hanya bisa bercerita, dulu akung ikut berjuang membesarkan Koran itu. Meski ungkapan itu hanyalah sebuah kebanggaan pribadi yang tersisa. Sebab saya tahu, saya paham, bahwa apa yang pernah saya lakukan tidak lebih bagaikan sebutir pasir di pantai yang maha luas. (bersambung)