COWASJP.COM – ockquote>
O l e h: Santoso Bondet
-----------------------------------
BEGITU Jawa Pos dipegang Grafity Press dengan manajemen baru (yang saya pahami honornya naik tikel tekuk), semangat saya dalam memburu berita bagaikan api digrujug bensin, eh….sekarang pertalite ya…hehehe. Apalagi sudah tidak lagi berpikir untuk mengirim berita harus jadi ‘’pedagang’’ (maksudnya apa saja yang ada dijual). Sebab, saat itu ongkos kirim diganti oleh kantor, termasuk biaya liputan.
Karena itulah, kalau semula area liputan hanya di kota Madiun saja, kini berani melebar se wilayah karesidenan Madiun yang meliputi Kota/Kabupaten Madiun, Magetan, Ngawi bahkan sampai Pacitan.
Namun kalau keluar kota memang harus menyiapkan dana ekstra, lha wong saya ini jadi wartawan gak bondho apa-apa, Bonek saja. Bayangkan kemana-mana jalan kaki, jangankan sepeda motor, sepeda pancal saja saya tak punya, apalagi kamera. Bondhone cuma blocknote, ballpoint dan topi Bareta ala Pak Tino Sidin kala itu, biar tampil agak gaya hehehe.
BACA JUGA: Antara Dahlan Iskan dan Bondet
Tapi mesti begitu, di kelas wartawan daerah saya berani diadu kualitas maupun kuantitas beritanya. Wartawan daerah yang beritanya sering masuk halaman 1 ya yang punya inisial STS (Santoso). Apalagi tulisan berbentuk feature yang ada di kolom bawah halaman 1 yang disebut boks, saya termasuk jagonya. Bagaimana bisa????
BACA JUGA: Kenal Sejak Meliput Komando Jihad
Sejak Jawa Pos dipegang Grafity Press, maka pemegang kendali pemberitaan rata-rata orang Tempo. Ada Dahlan Iskan, Dharma Dewangga (alm), Suhu Slamet Oerip Prihadi. Jelas taste berita maupun bahasanya pasti berasa Tempo. Jadi kalau semula saya jual barang loak di Gang Puntuk, akhirnya jadi pemburu Majalah tempo bekas.
Semua isi Tempo benar-benar saya lahap dan saya pelajari sampai titik komanya. Maka jangan heran kalau tulisan berbentuk jurnalistik Sastrawi cukup menguasai. Dan imbasnya tulisan saya gak ada yang masuk tong sampah. Istilah jurnalistik tulisan saya ‘’pressklaar’’.
BACA JUGA: ANNO 1982
Dan semakin baiknya kesejahteraan, budaya amplopisasi juga mulai saya tinggalkan. Kalau toh saya menerima, diam-diam saya belikan rokok satu slof. Misalnya di kantor polisi, rokok itu saya bagikan diam-diam ke Shabara yang biasa tugas jaga pos dan terima laporan kejadian. Nah dengan cara begitu saya tidak pernah kecolongan berita, sebab mereka selalu saja mengontak saya ketika ada peristiwa layak muat Jawa Pos.
Sehingga bisa dikatakan, saya menguasai banget medan Karesidenan Madiun, meski sepeda pancal saja tak punya. Toh manusia diberi akal budi yang sempurna untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi. Sebuah falsafah hidup yang saya yakini.
Termasuk ketika ada kecelakaan sebuah mobil jeep sarat penumpang yang masuk jurang di daerah Kalak, Pacitan dan penumpangnya tewas semua. Jangan memandang Kalak seperti sekarang yang sudah beraspal yang jaraknya sekitar 30 km dari Kota Pacitan. Hanya dalam waktu 1 jam saya sudah mendapat info lengkap, tinggal konfirmasi dengan Kapolres Pacitan saja.
Waktu itu yang menjabat Kapolres Letkol Pol. Hutomo (gak pakai Mandala Putra lho). Ketika saya telepon untuk konfirmasi, Pak Hutomo kaget juga. Sebab saat itu Kasatlantas sedang menghadap melaporkan kejadian itu. ‘’Diamput koeennn ngerti soko ngendi, aku sik lagek entuk laporan, Kasatlantas sik ngadep nang kene,… koeen malah wes entuk data lengkap,’’ jawab Pak Hutomo yang memang suka bergurau dan kebiasaan Jawa Timurannya itu tidak pernah lepas.
Yah begutulah caraku untuk menjawab ekskusifitas berita yang selalu dituntut oleh Dahlan Iskan. Bangga juga ya, bikin wartawan lain kelabakan lantaran tidak punya berita itu. Bahkan mas Sudarno yang dulu runtang-runtung dengan saya pun tidak pernah saya beri bocoran. Eksklusif….eksklusif,,, itulah yang selalu diminta Dahlan. Dan pola semacam itulah yang sedikit demi sedikit menaikkan oplah Jawa Pos dan menggeser dominasi Surabaya Post di Jawa Timur.
Perhatian Dahlan terhadap wartawannya saat itu…sekali lagi saat itu…..kalau kurang ya tambahi lagi…SAAT ITU….memang sangat bagus. Contohnya ketika baru setahun pegang Jawa Pos, dia memberi reward sepeda motor bekas Honda Astra 90. Sebab dia akhirnya tahu, bahwa saya tidak punya sepeda motor, meski beritanya sampai kemana-mana. Sebagai orang Takeran dia pasti menguasai medan di wilayah Madiun, jadi tahu bagaimana beratnya. Nah sepeda motor itu pun ada kisahnya.
Begini kisahnya. Waktu itu saya mendapat informasi bahwa di Rumah Sakit Magetan ada pasien unik. Sudah tua, burungnya dipotong istrinya sendiri gara-gara selingkuh dengan tetangga…wowww,…keren… Saya kejar ke Magetan, tapi sial, orangnya sudah keburu pulang dari rumah sakit. Akhirnya saya cari alamatnya,…duh,…di sebuah desa wilayah Kecamatan Parang.
Karena saya yakin itu berita unik dan pasti ekslusif, esoknya saya kejar. Parang, sebuah wilayah berbukit di Kabupaten Magetan. Kendaraan umum yang menuju daerah itu pun sulit. Hanya ada Colt Bagong yang ngetemnya saja bisa berjam-jam.
Sampai di Parang sudah siang, padahal berangkat dari rumah isuk uput-uput. Naik opelet pun 2 kali, pertama Madiun – Gorang-Gareng kemudian dilanjut Gorang Gareng – -Parang. Toh masalah belum selesai, ternyata desanya masih masuk lumayan jauh. Dan tahun itu belum usum yang namanya Ojek. Mau tak mau kekuatan kaki pun diuji. Jalan memutari perbukitan.
Sampai sana pun peliputan pun belum juga tuntas. Wawancara dengan nenek pun kelar, tapi dengan sang kakek gagal. Laki-laki tua yang nahas itu berada di rumah anaknya di Maospati. Saya hanya bisa menghela napas panjang. Tapi saya tidak putus asa, meski baru keesokan harinya saya bisa mengejar sang kakek.
Itu pun ternyata juga perlu perjuangan ekstra. Sebab sampai di alamat yang dituju, sang kakek sedang berobat alternatif diantar anaknya. Menunggu, duh dari jam 8 pagi sampai jam 3 sore lumayan kelaparan. Tapi semua itu terobati begitu berita lengkap kemudian saya tulis dan saya kirim lewat Pos Kilat Khusus.
Nah, pas awal bulan saya ambil gaji ke Surabaya. Saat itu bertemu dengan Dahlan. Dia Tanya ‘’Kamu nulis Karso Biran berapa lama.’’ Jujur saya bingung jawab bagaimana. Tapi spontan saya jawab ‘’Satu jam boss’’ Padahal saya menulis paling hanya butuh waktu 30 menit saja. Sebab speed saya dalam menulis berita memang bisa diandalkan.
‘’Apa kesulitanmu untuk menulis kisah itu?? Lagi-lagi dia Tanya.
‘’Kesulitan saya Cuma satu, tidak punya sepeda motor. Seandainya punya motor, berita itu sudah termuat 3 hari yang lalu,’’ jawab saya. Dia pun manggut-manggut. Saya paham, orang seperti Dahlan pasti mengutamakan ekslusifitas dan kecepatan dan berita itu masih hangat.
‘’Okey besok cari harga sepeda motor bekas di Madiun,’’ katanya.
Saya menerjemahkan kalimat Dahlan Iskan yang terakhir adalah penugasan untuk mencari berita ekonomi tentang harga pasaran motor. Esoknya saya datangi penjual motor bekas, baik yang di showroom sampai perorangan, kemudian saya tulis. Kebetulan hari itu juga ada berita ekslusif yang harus segera sampai di meja redaksi. Ke Surabaya lagi. Ketemu Dahlan lagi.
Saya sodorkan berita soal motor tadi. ‘’Ini bos penugasannya kemarin,’’ kataku pede banget lantaran bisa menyerahkan berita penugasan langsung dari Pimpinan Redaksi saat itu. Saya lihat reaksinya. Dia garuk-garuk kuping dan ambil kertas langsung nulis erek-erek.
‘’Nih ke Cik Lan (kasir, maksudnya) besok beli motor bekas,’’ katanya. Ganti saya yang terhenyak.
Cik Lan saat berwisata. (Foto: istimewa)
Singkat kata saya pulang dengan membawa duit Rp 200 ribu, dan saya belikan Honda Astra 90 seharga 195 ribu. Dengan motor itu saya makin ‘’menggila’’ semua berita saya libas dengan gampang, tak ada berita di leng semut pun yang terlewati.
Sebulan kemudian, giliran ambil gaji saya terbengong-bengong. ‘’Lho Cik Lan, kok ada potongan emangnya saya punya utang?? Cik Lan yang pelit senyum hanya menjawab dengan nada dingin.
‘’Lha pinjaman untuk beli motor itu.’’
Alammmmaaaakkkkkkkk, itulah guyonan ala Dahlan Iskan. Untung saya ndak jantungan hehehehe….(bersambung)