COWASJP.COM – ockquote>
O l e h: Santoso Bondet
-----------------------------------
TAHUN 1987, tepat 10 tahun berprofesi sebagai jurnalis, atau 2 tahun sebagai kepala Biro Madiun. Berarti dalam karierku sebagai jurnalis, saya hanya menikmati 8 tahun saja sebagai news hunter. Karier selebihnya harus meninggalkan lapangan untuk berkutat dalam managerial pemberitaan yang menjadi tanggungjawab saya, agar tampil ciamik, gak kalah dengan Koran pesaing.
Kantor Biro Jawa Pos Madiun yang dulu di Jalan Jendral Sudirman, menempati bangunan yang semula dipakai oleh dr Wiranto. Suatu hari pas saya sendirian di kantor , sedang teman-teman lain, Mbak Sri Purwati (alm), Kanzul Fikri, Mbak Yani, dan beberapa wartawan yang baru lolos tes masih di lapangan. Tiba-tiba telepon berdering, saya angkat ternyata Dahlan Iskan yang nelpon.
BACA JUGA: MOTOR BERKAT KARSO BIRAN
‘’San, kamu terpaksa harus pindah ke Surabaya,’’ Kata Dahlan. Saya agak ragu untuk menjawab, saya sudah kapok menjawab asal saja, ntar disergah lagi ‘’Anda wartawan atau bukan,’’ hehehehe.
BACA JUGA: ANNO 1982
‘’Siap,’’ satu kata meluncur begitu saja, meski dalam benakku masih ada segumpal tanda tanya, kenapa begitu tiba-tiba. ‘’Besok sudah harus ngantor di Surabaya,’’ lanjutnya dan, jeklek….telepoin ditutup. Terpaksa tidak terpaksa, ya harus berangkat.
Ternyata saya mendapat promosi untuk memegang jabatan redaktur Jawa Timur, jelas sebuah jabatan cukup strategis lantaran Jawa Pos terbit di Jawa Timur. Semula masih didampingi Cak Koesnan Soekandar, sebagai redaktur senior, tapi akhirnya saya dilepas untuk mengomandani wartawan se Jawa Timur, termasuk mengelola pemberitaannya.
Boleh dibilang, abang ijone berita di Jawa Timur ada di tangan saya. Dimuat atau tidak dimuatnya sebuah berita ada di tangan saya. Apalagi waktu itu zaman Orde Baru, maka para pimpinan daerah pun takut kalau ada pemberitaan miring di wilayahnya. Maka redaktur Jawa Timur jelas menjadi target utama untuk ‘’dibungkam’’ agar tidak neko-neko. Caranya jelas, dengan ngiming-ngimingi berbagai macam fasilitas.
Boleh dibilang jabatan itu sama saja dekat dengan surga, sekaligus dekat pula dengan neraka. Surganya, tak kasih bocoran ya, hampir semua bupati ingin dan berlomba-lomba untuk member fasilitas wah kepada saya. Dari sekedar tanya nomor rekening sampai menawari rumah segala. ‘’Di sini ada perumahan baru pak San, monggo kalau ngersaake, nanti saya yang atur,’’ begitulah biasanya para bupati atau walikota yang ingin mendekati saya. Itu surganya, lha nerakanya????
Nerakanya adalah saat itu Jawa Pos punya aturan tegas, bahwa semua wartawannya dilarang keras menerima amplop atau fasilitas lain dari nara sumber. Nah loe, siapa berani melanggar sanksinya jelas. Out dengan tidak hormat. Saya pun juga berpikir, salah-salah nguber uceng kelangan deleg tenan ki, kalau saya mau menerima fasilitas itu. Andai saja fasilitas itu saya terima, paling tidak saya punya 37 rumah yang tersebar di seluruh wilayah Jawa Timur,…
Bagaimana tidak, wong puluhan tahun saya jadi komandan Jawa Timur hingga mengenal baik seluruh bupati dan walikota saat itu. wowww…jadi pensiunan kaya dong. Mana ada bupati yang ngasih rumah tipe RSSSS hahAHA.
Apalagi dengan bekerja semacam itu saja, saat itu saya sempat beli 3 rumah, 2 di Madiun dan 1 di Surabaya.
Tapi melihat ada oknum teman yang berani melawan arus dan aman-aman saja, kadang ada ada tanya dalam hati,’’ apa goblokku ya ndak mau menerima fasilitas dari pihak lain saat punya taring.’’
Foto: istimewa
Apalagi kalau melihat kondisi saat ini jadi ‘’kontraktor’’ alias kontrak rumah sana, kontrak rumah sini, akibat modal lenyap digondol rekanan. Rasane nyesel juga ya….hehehehe. Bagaimana bisa mantan redaktur senior Jawa Pos, rumah saja ngontrak pisss ah… Mungkin ada yang bilang, malu-maluin Dahlan Iskan saja sampai anak buahnya ndak punya rumah. Tapi itulah realita kehidupan yang harus kita terima.
Tapi enggak, saya yakin Tuhan punya rencana lain. Paling tidak saya merasakan Tuhan memberi anugerah kesehatan yang cukup prima kepada saya, alhamdulillah. Dalam usia memasuki tapal batas hidup manusia (60 tahun), saya masih bisa kesana-kemari tanpa keluhan apa pun. Masih bisa berada di depan komputer berjam-jam lamanya setiap hari, bahkan bisa sampai jam 3 pagi baru tidur. Dan masih juga lancar menulis, bahkan menulis novel pun OK. Yang menggembirakan buat saya, saat ini saya masih berani makan sate 10 biji plus nasi gule 2 porsi sekaligus hehehehe. Nah, siapa mau traktir nih,…ditunggu,…hehehe….
Dan yang paling membahagiakan saat ini adalah bisa melihat cucu yang nakal-nakal, bisa mengajak mereka jalan-jalan, ngobrol dan sebagainya. Sebab ketika masih aktif di Jawa Pos, ketemu anak saja jarang. Saya pulang dini hari, mereka masih tidur, mereka bangun dan sekolah, saya yang tidur.
Mereka pulang sekolah, saya sudah berangkat lagi. Simpangan terus. Itulah rutinitas yang kadang saya rasakan tak seimbang meski mendapat gaji jutaan saat itu.
Tapi betapa pun saya masih menyempatkan diri waktu buat anak-anak. Setiap Minggu, saya pastikan mengajak mereke rekreasi keluar kota. Yah,…..itu pun dengan pikiran masih berkutat dengan berita…berita …dan berita. Karena sudah ada garis tegas, bahwa pemberitaan Jawa Pos tidak boleh kalah dengan koran lain. Apalagi di rumah sendiri, Jawa Timur.
Kadang tersenyum kecut ketika ingat banyak teman yang memberi ucapan selamat saat saya menduduki meja redaksi. Sebab ternyata jabatan di media semacam Jawa Pos bukannya hal yang gampang. Bukan pekerjaannya yang berat, tapi justru banyak masalah yang harus dihadapi di balik pemberitaan itu sendiri.
Termasuk saat ada sedikit kesalahan dalam pemberitaan, hingga Jawa Pos sempat dituntut Rp 1 M di awal 90-an oleh nara sumber. Sampai-sampai Dahlan sempat nyeletuk , ‘’mendidik Santoso jadi redaktur ini biayanya sangat mahal, kita dituntut nara sumber Rp 1 M. Tapi itu pengalaman baik bagi Santoso, agar dia lebih berhati-hati dan jeli lagi dalam menangani pemberitaan di halamannya,’’ katanya.
Masih soal pemberitaan, anak buah saya di Pasuruan, almarhum Johar Mahmudi sempat disel hampir sebulan lamanya di tahanan aparat gara-gara menulis sebuah kasus yang terjadi di kesatuannya.
Saya sempat menyesal mengapa berita itu harus saya turunkan, kalau toh akhirnya begini. Tapi itulah susahnya jadi redaktur, kalau berita semacam itu tidak diturunkan, pasti diprotes oleh wartawannya. Bahkan kadang dibilang banci. Tapi kalau diturunkan, side effect-nya kadang di luar nalar kita. Bagai makan buah simelekete. (Bersambung)