COWASJP.COM – Ini bagian akhir saya menulis kisah ini. Masih banyak lagi pengalaman lebih seru, tapi itu akan aku tulis dalam buku True Story 2 BONDET (Sisi Hitam Seorang Wartawan) Silakan tunggu tanggal terbitnya.
Karena banyak hal yang sebenarnya bukan untuk konsumsi umum yang harus saya tulis di sini.
Bahkan anak istriku sendiri tgidak ada yang saya beritahu.
Sebab sebenarnya saya ingin mengubur dalam-dalam sepenggal pengalaman yang sangat tidak manusiawi itu. Apalagi itu menyangkut institusi Jawa Pos yang hebat di mata masyarakat. Dan tentu juga nama sang legendaries Dahlan Iskan, suhu jurnalistik saya. Saya ingin mikul dhuwur mendhem jero.
Tapi karena banyak kawan yang ingin saya membuka apa yang mereka sebut kesewenang-wenangan, akhirnya saya mulai berpikir, betul juga ya. Paling tidak, pengalaman ini juga bisa dijadikan pelajaran bagi orang lain, bahwa kerja keras dan loyalitas saja tidak cukup untuk bertahan bila sang penguasa imperium menghendaki kita tidak ada di lingkungannya lagi. .Salah tidak salah, tetap saja dicarikan alasan pembenar.
Mungkin kerja keras dan loyalitas perlu ditambah satu lagi ...JADI PENJILAT DAN ABS pada Sangkuni-Sangkuni yang sedang di singgasana.
Apalagi ketika beberapa hari lalu bertemu dengan sohib yang masuk lingkaran mahkota kerajaan juga menyarankan seperti itu. OK saya akan tulis semua kisah dramatis di akhir profesiku di Jawa Pos, tapi tidak di sini. Saya akan menulis di True Story 2 yang saat ini sudah 50 persen selesai, kalau mau ngebut dan tidak banyak pekerjaan dalam sebulan pun selesai.
Kenapa tidak menulis di sini saja. TIDAK. Sebab di sosmed berbagai kalangan akan membacanya. Dan kita tahu, tidak semua yang masuk di sosmed punya penalaran yang panjang, sehingga saya khawatir akan salah persepsi. Karena itulah saya memilih menulis di buku nanti. Jadi 5 W plus 1 H-nya nanti ya…hehehehe.
Singkat cerita saya sudah tidak di Jawa Pos lagi. Pisau guillotine yang sudah beberapa saat lamanya saya prediksi akhirnya jatuh juga dan menebas karier saya. Tapi bukan Santoso namanya kalau mati hanya karena tebasan guillotine. Orang tua saya tentu berharap saya menjadi orang kuat dengan memberi nama itu.
Nama saya sebenarnya agak aneh, mirip-mirip perempuan, yakni Prehatin Rahayu Santoso. Ketika SD saya malu memakai nama itu. Tapi sekarang saya justru bangga dengan orang tua saya. Sebab nama itu bisa diartikan, kuat dalam hidup penuh keprihatinan, selalu rahayu alias selamat, dan akhirnya menjadi kuat. Paling tidak kuat dalam menghadapi segala cobaan hidup.
Sejak itu, saya pun mencari kehidupan baru di Kota Malang, jauh dari profesi saya sebagai jurnalis. Saya akhirnya jadi penjual nasi pecel di Alon-alon Kota Malang. Dengan mobil sedan kinyis-kinyis masih bau pabrik, saya pun jadi bakul pecel, hehehe. Tutup bagasi belakang saya buka untuk menempatkan uborampe. Karena belum bisa bikin sambel pecel, terpaksa sambelnya diimpor dari Madiun.
Buka jam 5 pagi dengan membawa nasi 10 kg, hanya dalam waktu 2 jam ludes dan pulang dengan membawa uang yang cukup lumayan. Bahkan dalam sebulan saya hitung-hitung hasilnya melebihi gaji saya plus tunjangan profesi di Jawa Pos. Cuman bedanya, saya sekarang berkantor di jalanan. Jadi kalau ada orang yang mencibir melihat PKL, itu artinya mereka tak tahu, bahwa penghasilan PKL itu cukup besar. Atau di benak mereka masih ada tingkatan profesi berkasta-kasta yang membuat matanya buta terhadap pekerjaan lain.
Seneng juga ya,…dalam arti duit, tapi dukanya juga ada. Kalau sudah jam 7 pagi saya belum beranjak dari perkiran mobil, pasti diusir. Kalau sudah begitu, saya menganggap Allah mengajak saya bergurau. Bagaimana tidak, dulu walikotanya saja baik dengan saya dan sering mengundang ke rumah dinasnya, kini tukang parkir pun berani mengusir.
Begitulah kehidupan bagaikan roda pedati, yang harus kita hayati dengan sebuah falsafah Jawa ‘’SEMELEH’’
SEMELEH hanya sebuah kata, tapi susah untuk melakukannya. Tapi saya bisa. Dengan demikian saya terhindar dari post power syndrome dan dari penyakit akibat tidak sinkronnya antara nalar dan perasaan. Saya tetap tegar. Bahkan kemudian saya meningkatkan diri dari bakul pecel jalanan dengan membuka warung kecil-kecilan di samping Universitas Islam Negeri (UIN) Jalan Gajayana.
Di situ saya mengontrak warung kecil plus sebuah kamar di samping pemilik warung. Hemmm,..biasa hidup di rumah gedong magrong-magrong yang setiap hari dihiasi dengan kicau puluhan burung kelas aduan, kini harus mengontrak 1 kamar jadi satu dengan orang lain. Dan kalau anak-anak datang , maka saya harus tidur dengan menggelar tikar di bawah meja warung. Waktu itu anak-anak juga kuliah di Malang, namun saya koskan sendiri.
Pernah suatu hari ada teman wanita dari Jawa Pos yang kebetulan makan di warungku. Dia menangis begitu melihat saya sedang bakar ayam dengan tubuh penuh peluh.
Mungkin dalam benaknya dia berpikir, orang yang berpengaruh sekelas Gubernur Jatim, sekarang jadi orang warungan dan berpeluh-peluh bakar ayam.
Waktu itu saya hanya bilang ‘’Jangan menangis hanya karena melihat saya seperti ini. Anda boleh menangis kalau saya harus menadahkan tangan atau nodong ke perjabat-pejabat hanya untuk makan sehari-hari,’’ kataku tegas.
Bahkan sebenarnya saat itu ada saja teman yang mengajak saya bergabung di medianya. Tapi dengan halus saya tolak. Pikiran saya sederhana saja. ‘’Karya macam apa bisa saya buat ketika setiap hari saya masih harus berpikir, besok anak saya makan apa, besok untuk bayar kuliah dengan duit mana??? Karena sedikit banyak saya masih punya idealism seorang jurnalis.
Lagi pula dengan membuka warung itulah yang membuat anak saya bisa mengikuti kuliah dengan lancar dan akhirnya diwisuda. Satu di STIKI (sekolah Tinggi Ilmu Komputer dan Informatika) dan satunya di FISIP Unmer keduanya di Malang.Alhamdulillah, meski janji Dahlan tidak pernah terwujud bahwa kita besarkan Jawa Pos untuk memberi pekerjaan anak cucu kita, namun saya cukup bangga karena anak-anak bisa cari uang sendiri tanpa harus dengan koneksi. Apalagi warisan kursi.
Nah sampai di sini tulisan saya di somed kawan,…….kalau ingin tahu lengkapnya, silakan pesan TRUE STORY 2 BONDET (Sisi Hitam Seorang Wartawan). Di buku ini banyak saya ungkap, apa yang belum saya tuangkan di edisi 1. Dan tentu masih sangat heboh, bagi orang yang menilai bahwa menulis aib pribadi merupakan keseombongan.. Termasuk misteri di Gunung Kemukus………
Jangan sampai kehabisan ya,…edisi 2 ini dicetak terbatas. Modale cekak soale hahahaha……Salam…………(the end)