COWASJP.COM – ockquote>
O l e h: Edhi Aruman
-------------------------------
Analisis Ekonomi, Jakarta
SAAT ini banyak perusahaan dan merek global yang telah memanfaatkan peluang di Asia. Unilever, Nestle, Samsung, Lenovo, Lo’real telah memperluas kantor regionalnya dan menjadikannya sebagai unsur penting dalam mengembangkan bisnis mereka. Keberhasilan yang telah dinikmati para pioneer ini bukanlah sesuatu yang berlaku umum. Artinya setiap perusahaan multinasional berhasil ketika masuk ke pasar lokal. Banyak merek Asia Tenggara, bahkan Indonesia, yang berjaya di pasarnya.
Banyak faktor pendukung yang membuat ekonomi Asia berkembang. Iklim politik yang kondusif untuk industri dan perdagangan, ketersediaan sumber daya alam, dan ketersediaan tenaga kerja mulai dari yang kelas pekerja hingga yang memiliki keahlian dengan biaya yang relative rendah. Dalam masyarakat modern, tingginya tingkat diferensiasi structural, makin terspesialisasi fungsi-fungsi dalam masayarakat, dan otonomi sistem ekonomi dari pemerintah merupakan kontribusi besar bagi perkembangan perdagangan dan industri serta kesejahteraan.
Dalam situasi yang kondusif tersebut, bagaimana merek lokal – seperti Softex, Hoka-hoka Bento, dsb -- mampu tumbuh dan berkembang meski tidak memiliki kekayaan sumber daya yang tidak sebesar perusahaan multinasional yang juga pesaing mereka. Bagaimana perusahaan-perusahaan lokal itu mampu menghasilkan, setidaknya dalam negeri, pasar merek terkemuka.
Bagi saya pertanyaan itu relatif, sebab bagaimanapun saat ini pasar global didominasi oleh perusahaan-perusahaan multinasional (MNC) yang berasal dari berbagai belahan dunia, termasuk negara-negara dunia ketiga. Keragaman budaya merupakan tantangan utama sekaligus peluang yang dihadapi perusahaan multinasional dan lokal dalam menerapkan strategi dan praktek pemasaran mereka.
Dalam situasi seperti itu wajar bila kemudian muncul perdebatan apakah yang menjadi dasar bagi praktek pemasaran internasional. Dalam konteks ini, pemasar internasional dihadapkan pada pertentangan sehubungan dengan budaya di berbagai belahan di dunia. Pada tingkat politik dan sosial, semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa subkultur di banyak bagian dunia kini mulai diekpresikan untuk menyatakan politik dan identitas sosial mereka. Ini dapat dilihat dari sering terjadinya berbagai konflik etnis.
Dalam konteks pola konsumsi, ada bukti yang berkembang bahwa kini muncul dan berkembang pola pasar dunia. Ini setidaknya ditunjukkan oleh tren produk dan merek menyebar global yang mendominasi pasar dunia. Beberapa kritikus khawatir tentang efek samping dari pemasaran global pada identitas budaya mereka sendiri. Perkembangan ini menimbulkan tantangan bagi pemasar, yang harus mampu mengembangkan pasar global sementara pada saat yang sama mempertahankan identitas budaya lokal, menghindari cap sebagai 'perusahaan asing', polusi beragam budaya dan memaksakan imperialisme budaya.
Para pebisnis berbagi keyakinan, budaya dan nilai-nilai tertentu (baca nilai barat), tetapi sangat menyesatkan bila Anda percaya bahwa mereka selalu lebih kuat pengaruhnya daripada budaya lain (misalnya, budaya nasional). McDonalds, yang mencoba untuk menstandarisasi produknya, harus menyesuaikannya dengan selera lokal. Di India, McDonalds melayani burger domba, dan tidak burger sapi.
Tekanan globalisasi juga dapat menyebabkan penguatan identitas lokal. Di Eropa misalnya, pertumbuhan Uni Eropa bisa dibilang mengarah ke penguatan identitas daerah (seperti dalam kasus Skotlandia). Gagasan bahwa orang-orang dari budaya yang berbeda dapat digabungkan bersama adalah jantung dari konsep 'melting pot', yang secara luas diyakini di Amerika Serikat sampai pertengahan abad ke-20. Hal digantikan oleh konsep pluralisme budaya, atau 'mangkuk salad', di mana unsur-unsur individu mempertahankan identitas mereka sendiri.
Melting pot adalah sebuah metafora untuk menggambarkan masyarakat yang heterogen berubah menjadi lebih homogeny. Unsur-unsur yang berbeda "mencair bersama-sama" menjadi satu kesatuan yang harmonis dengan budaya umum atau sebaliknya. Untuk masyarakat yang homogen menjadi lebih heterogen melalui masuknya unsur-unsur asing dengan latar belakang budaya yang berbeda yang bisa berakibat pada munculnya potensi disharmoni dengan budaya sebelumnya. Secara historis, fenomena itu sering digunakan untuk menggambarkan asimilasi imigran ke Amerika Serikat.
Globalisasi ekonomi diyakini telah banyak mengurangi hambatan yang pernah ada sebelumnya yang yang memisahkan satu negara dengan negara lainnya. Perdagangan lebih bebas daripada sebelumnya sehingga menciptakan saling ketergantungan yang lebih besar. Akibatnya, selama beberapa tahun terakhir laju konvergensi politik dan ekonomi meningkat secara dramatis sehingga kemiripan struktur politik dan ekonomi negara seakan muncul.
Selain itu, banyak ahli percaya bahwa globalisasi ekonomi telah melemahkan kontrol negara. Globalisasi melonggarkan cengkeraman negara atas kebebasan populer dengan memungkinkan warga untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut masalah politik dan ekonomi penting yang dihadapi negara.
Namun, beberapa sarjana politik internasional, menolak klaim mengenai efek universal globalisasi ekonomi politik. (Brown dan Jones, 1995; Dupont, 1996; Fukuyama, 1989 dan 1995; Haggard, 1990; Huntington, 1991; Jones, 1995; Kaushikan, 1993; Scalapino, 1989; Tai, 1993; Tamney, 1991; Zakaria, 1994). Mereka berpendapat bahwa budaya politik yang unik di negara-negara Asia melemahkan efek globalisasi. Dengan demikian, dampak globalisasi dirasakan berbeda di Asia dibandingkan yang dirasakan oleh kawasan di belahan dunia lainnya.
Ada hal lain yang membuat pasar Asia unik. Para pakar menunjukkan pengaruh Konfusianisme dalam membangun sikap masyarakat terutama masyarakat Asia Timur. Norma-norma perilaku masyarakat di banyak negara Asia Timur masih sangat didasarkan pada cita-cita Konfusianisme. Selain itu selama bertahun-tahun, kolusi antara bisnis dan pemerintah yang melanggengkan struktur kekuasaan yang ada dalam masyarakat telah muncul dan dilembagakan di banyak negara Asia Timur. Akibatnya, kontrol negara-negara Asia terhadap warga mereka tetap kuat dibandingkan dengan warga di belahan dunia lainnya, membuat dampak dari globalisasi ekonomi menjadi berkurang.
Keunikan pasar Asia yang membuat perusahaan multinasional yang bergerak di barang-barang konsumen (consumer goods) berhasil di Amerika Serikat atau Eropa misalnya, tidak serta merta mengekspor model bisnis, produk dan rumus pemasaran mereka di kawasan Asia seperti Indonesia, Myanmar atau Thailand.
Pasar yang berkembang ini berbeda dalam hal kebijakan pemerintah, peraturan perundang-undangan, perilaku ekonomi, sistem distribusi, kebutuhan dan perilaku konsumennya. Sebagian besar produsen dunia barang konsumsi yang mencoba menjual produk satu produk untuk seluruh dunia menemui kegagalan di pasar Asia.
Selama bertahun-tahun Procter & Gamble menjalankan bisnis diapers sekali pakai mereka seakan tanpa gairah. Salah satu hal yang membuat tak bergairah karena mereka menempatkan label ekonomi sebagai variabel utama dalam keputusan mengembangkan atau menghentikan bisnisnya itu.
Karakteristik konsumen Indonesia adalah menginginkan barang-barang dengan harga murah tapi di sisi lain mereka tidak ingin menggunakan barang yang dicap murahan. Dalam situasi seperti itu, P&G lebih suka mengimpor produk diapers dan menjalankan kampanye pemasarannya di luar Indonesia.
Untuk menggarap pasar Inndonesia dan negara Asia Timur membutuhkan pendekatan baru. Agar berhasil dibutuhkan pemahaman karakter dan budaya konsumen Asia. Yang diperlukan disini bukan sekadar pendekatan etic atau keilmuan, yang juga penting adalah pendekatan emic atau berdasarkan sudut pandang budaya. Keberhasilan pendekatan emic yang dilakukan Unilever dan kekuranggairahan P&G dalam memasarkan diapers menunjukkan kevalidan pendekatan emic.
Unilever selalu membangun merek didasarkan pada akar budaya setempat. Itu juga yang dilakukan McD setelah beberapa tahun masuk ke asar Indonesia dengan menambahkan nasi dan sambal pada menu yang ditawarkan. Ini membuktikan bahwa bagaimana pun budaya lokal masih lebih kuat dari budaya global. (*)