COWASJP.COM – SHOLIHIN HIDAYAT galau karena belum bisa menyelesaikan buku keduanya tentang Dahlan Iskan. Padahal, ia sedang berjuang melawan stroke dan penyakit jantung yang membuatnya terkapar sejak tiga tahun lalu.
"Kurang sedikit. Saya ingin menyelesaikan," katanya saat saya menjenguk di rumah nya kawasan Sidoarjo, sebulan lalu. Itulah pertemuan terakhir saya dengan Koh Hin --panggilan akrab pria yang pernah menjadi Dewan Pengawas Bulog ini.
Sebelum sakit, bos redaksi Jawa Pos (1995-2020) ini memang sempat menulis buku berjudul: Dahlan Iskan, Sang Pendobrak. Buku tersebut terbit saat salah satu pemilik Jawa Pos Group ini menjadi Menteri Negara BUMN.
Koh Hin menjadi wartawan Jawa Pos sejak era perjuangan tahun 1980-an. Ia ikut membesarkan koran terbesar yang terbit dari Surabaya ini. Masuk generasi awal saat koran ini diambil alih Majalah Tempo. Jadi, ia ikut suka duka perjuangan mendongkrak oplah koran tersebut.
Aktivis saat masih menjadi mahasiswa IAIN (kini UIN) Sunan Ampel ini melihat Dahlan Iskan tidak sekadar bosnya. Tapi, ia selalu menyebutnya sebagai santri. Ia menjadikan Dahlan bukan sekadar atasannya, tapi juga guru hidupnya.
"Saya sedih nggak bisa apa-apa ketika guru kita Pak Dahlan dikerjai hukum saat ini," katanya sambil menerawang.
Yang menarik, Koh Hin begitu yakin bahwa mantan bosnya itu akan menjadi seorang menteri. Itu dikemukakan jauh hari saat Dahlan Iskan masih menjadi Dirut PLN.
"Saya berdoa terus agar Pak Dahlan jadi menteri," katanya suatu saat. "Ini gara-gara doamu Hin," tutur Dahlan suatu saat setelah jadi menteri.
Koh Hin menggambarkan hubungannya dengan Dahlan seperti kiai dan santri. Santri adalah sebutan murid di lingkungan pesantren.
Santri selalu memberikan loyalitas tanpa batas kepada kiai atau gurunya. Hubungan batin santri dan kiai sampai dibawa mati. Itu pula yang selalu ditunjukkan Koh Hin kepada Dahlan Iskan.
Penghormatan, loyalitas, dan kecintaannya tak berakhir meski dia sudah tidak lagi menjadi karyawannya. "Pak Dahlan itu bukan hanya bos saya. Tapi guru dan kiai saya," tuturnya.
Saya mengenal Koh Hin sejak bergabung Jawa Pos tahun 1991. Namun, baru mengenal amat dekat sejak ia diangkat menjadi Pemimpin Redaksi menggantikan Margiono yang kini bos Rakyat Merdeka Group dan Ketua Umum PWI.
Begitu menjadi orang nomor satu di redaksi, Koh Hin langsung minta saya pindah ke Surabaya. Menjadi redaktur halaman utama. Itu terjadi 1995. Sebelumnya, saya bertugas menjadi Kepala Biro Jawa Pos DIY-Jateng. Kantornya ada di Yogyakarta.
Begitu bergabung di Surabaya, setiap hari bergelut dalam pemikiran dan kerja bersama. Tidak hanya di dalam kantor. Tapi juga menjadi kawan main di luar kantor. Seperti umumnya wartawan koran, jam kerja hampir 24 jam setiap hari.
Koh Hin juga yang mengenalkan saya dengan sejumlah kiai kenamaan di Jatim. Seperti almarhum Munif Djazuli Ploso Kediri dan KH Agoes Ali Mashuri Sidoarjo.
Dengan Gus Munif, Koh Hin sangat dekat karena lama menjadi santri KH Hamim Tohari Djazuli alias Gus Mik. Sedangkan Gus Ali, ia dekat karena pernah sekelas saat menjadi mahasiswa IAIN.
Sebagai wartawan yang mantan aktifis PMII, Koh Hin sangat ahli tentang dunia pesantren dan NU. Bahkan, ia memperlakukan kiai yang dekat dengannya sebagai kiai khos. Kiai yang dianggap punya karamah, keistimewaan dari Tuhan.
Saat meliput tentang wafatnya Gus Mik, dia menulis dengan angle kekaguman dan khas orang pesantren. Misalnya, ia menggambarkan adanya mendung yang menggelayut di langit. Seakan melindungi jenazah dan para pelayat dari terik matahari. Seakan alam ikut menghormat kematian sang kiai.
Loyalitasnya terhadap kiai yang dianggap khos alias langitan juga sangat besar. Ia membiarkan satu-satunya putranya yang tidak mau sekolah formal.
Koh Hin tak mau memaksa bersekolah karena pesan kiainya. Dia makin yakin apalagi putranya yang bernama Bagus kini telah hidup mapan meski tidak pernah mengenal sekolah formal sejak kecil.
Ada yang unik saat Koh Hin menjadi pemimpin redaksi. Hampir setiap malam, dia punya kebiasaan tidur di atas kursi tempat kerjanya. Tak ada yang berani membangunkan sampai dia terjaga dengan sendirinya.
Biasanya, ia baru terbangun mendekati masa-masa tenggat akhir. Yakni saat dia harus memeriksa isi dan judul berita koran.
Ia juga seorang wartawan yang setia kawan. Mungkin tradisi pesantren yang komunal ikut membentuk sikap dan karakternya. Dia tetap menjaga silaturahmi dengan banyak orang sampai tak mampu melakukannya karena sakit.
Sebulan menjelang ia menghadap Sang Kuasa, Koh Hin masih bercerita kalau sehari-hari sibuk mengingat nama teman-teman dan keluarganya.
"Hari-hari ini, saya sedang mengingat-ingat nama teman-teman, termasuk anak-anakmu Rif. Kalau nggak ingat rasanya jadi ngelu," katanya.
Kini, engkau tak akan ngelu lagi Koh Hin. Tapi, kami telah belajar banyak tentang loyalitas tanpa akhir, kesetiakawanan, dan keteguhan. Itulah jejak seorang jurnalis santri.
Selamat jalan, Kawan!