Obituari Mantan Pemred JP Sholihin Hidayat (2)

Wartawan Kohin Tauladankan Bebas Utang Jelang Meninggal

COWASJP.COMRUMAH Kaji Sholihin Hidayat di perkampungan Sekardangan, Sidoarjo, sejak ia jadi Redpel Jawa Pos hingga Pemimpin Redaksi, sudah 30-an tahun, nyaris tidak berubah. Ba’da Magrib itu, pintu rumah tertutup rapat. Hanya pintu pagar merangkap garasi mobil yang terbuka. Lampu beranda tidak begitu terang, temaram.  Sunyi. “Assalamualaikum..!,” sapa saya,  mengetuk pintu berulangkali. 

Karena tidak segera ada jawaban dari dalam rumah, saya semakin penasaran. Sebelumnya, saya dengar kabar Kaji Sholihin –begitu saya biasa menyebut namanya-- dirawat di Rumah Sakit Delta Sidoarjo. Menjelang ke rumahnya, saya sempat datangi rumah sakit, menurut perawat, sudah dibawa pulang keluarga.  Kebetulan nomer ponsel Kaji Sholihin tak bisa dihubungi, saya yang lebih banyak tinggal di Jakarta juga kesulitan kontak keluarganya.  

BACA JUGA: Sebagai Wartawan, Saya Hanya Takut Allah Ta’ala…

Pintu belum juga dibuka, pikiran saya kemana-mana. Saya mencoba memberi salam lagi, lebih keras, setengah teriak. “Assalamualaikuuum…!” 

BACA JUGA: Jejak Jurnalis Santri

Kleek…, pintu pun dibuka. “Waalaikumsalam…! Oh, Pak Joko,” kata seorang lelaki, Heri –saya biasa memanggil namanya singkat—, dia menantu Kaji Sholihin. 

BACA JUGA: Cerita Pendek tentang Si Anak Bangil

“Masuk, masuk… Pak Joko,” katanya lagi, mempersilakan. 

BACA JUGA: Teringat Ucapannya: ''Sampean kan Tokoh Informal''

“Abah (Kaji Sholihin) dimana, Mas?”, tanya saya, melangkah masuk rumah.  

“Di kamar,” jawab Heri, pelan. 

Lantaran cukup familiar dengan keluarga Kaji Sholihin, saya langsung nyelonong ke arah kamar mantan Pemred JP itu. Kebetulan kamarnya mudah dijangkau, karena jadi satu dengan ruang tamu. Malah, di ruangan tamu ada dua kamar. Kamar satunya lagi, pintunya persis berhadapan dengan meja kursi tamu.  Kamar ini letaknya samping kanan pintu masuk, dan ditempati Bagus, anak bungsu –dua bersaudara-- Kaji Sholihin. Bagus memang sering kikuk kalau sudah ada tamu. Saya pernah kritik rumahnya ini saat Kaji Sholihin masih Pemred. Jawabannya enteng, “Yang mau datang ke rumah ini, aku anggap keluarga, Jok.” Begitulah, rumah figur orang nomer satu di redaksi koran terbesar nasional ini tidak istimewa, tapi sarat makna.  

“Assalamualaikum,” sapa saya, saat memasuki kamar Kaji Sholihin, yang di koran JP berinisial Hin. 

“Waalaikumsalam,” jawab mantan Pemred ketiga JP, pasca Pak Dahlan Iskan (Dis), dan Mas Margiono (Mg) ini. Suaranya lirih, nadanya tertatih. Tapi, raut wajahnya berbinar.

Saat itu, ia berbaring di tempat tidur. Di kamarnya ini, ia sendirian. Setelah menyalami tangannya, saya duduk di kursi samping tempat tidurnya.     

“Ambe’k sopo?”, tanya Hin, lirih, masih berbaring. 

“Diterno are’k2, Ji (Kaji, red), ” jawab saya. Kebetulan saya diantar relasi LensaIndonesia.com, media online yang sejak 2011 jadi tumpuhan saya kembali menekuni pekerjaan jurnalistik.  

“Guss.., Heerr..!,” teriak Hin, suaranya rada memaksa.  Heri, menantunya bergegas masuk kamar dan mendekat, sementara Bagus masih di dalam kamarnya bersama ibundanya. Rupanya, Kaji Sholihin minta badannya diangkat untuk duduk di tempat tidurnya. Saya pun ikut membantu. 

Kali ini, Hin tidak banyak bicara. Pandangannya menerawang ke langiit-langit kamar, sesekali mengarah ke teve –di depannya-- yang menempel di dinding kamar.  Sesekali juga menatap ke arah saya. Kontan pikiran saya terlintas macam-macam, apalagi di sudut kelopak mata Hin terlihat ada sedikit air mata meleleh. Saya pun berupaya menghibur dengan memijit-mijit kedua kakinya, yang setengah selonjor di tempat tidur. 

“Alhamdulillah Ji,  Antum bahagia. Bisa istiqfar terus. Bercinta kasih dengan sang Maha Pengasih. Ingat Gusti Allah terus.” Entahlah, saya asal nyeplos begitu. Kaji cuma manggut-manggut, tatapannya kosong. Karena tetap tidak bicara, saya tambah gusar. Saya jadi teringat  obrolan menyinggung soal  Pak Dis jatuh sakit dan  operasi “ganti hati”.  

“Jangan anggap sakit itu cobaan, justru itu kenikmatan. Yang diuji itu, ya orang-orang sekitarnya.  Setia, sabar, rumongso nggak?”.  

Hin masih tetap diam, sepertinya ada yang dipikir. Padahal, sebelum-sebelumnya, kalau saya jenguk, dia bergairah untuk bicara, meski tertatih.  Malahan,dia juga pernah menyinggung pingin diproduksi lagi talk show “Ko Hin Opo Maneh” di JTV.  “Ko Hin kudu digawe maneh, Jok,”  begitu katanya, beberapa bulan sebelum itu, juga di kamarnya ini.  

Meski pernah jadi komisaris, penulis Buku “Dahlah Iskan sang Pendobrak” ini tidak pernah menyinggung-nyingung soal Bulog.  Ketika awal-awal stroke, Hin masih suka ngobrol masalahl Bulog, bahkan juga isu-isu politik nasional teraktual.  Malah, ia sangat terpukul ketika Dis yang sukses jadi Capres Konvensi Partai Demokrat, belakangan, ada indikasi ‘dihabisi’ rezim Jokowi.  Dis, diakui Hin, wartawan  lokal berhasil melahirkan sejarah besar merombak wajah jurnalis cetak dari sabang-sampai merauke.  Koran-koran daerah yang sebelumnya hidup segan mati tak mau dibuatnya bergairah, kendati berkonsekuensi harus masuk konglomerasi media ala Dis. Wajar, SBY merangkul Dis. 

Hin memang menikmati ‘madu’-nya Dis, menjelang stroke. Berkat Dis --sewaktu jadi Menteri BUMN era SBY--,  Hin tidak lagi disebut host  “Ko Hin” –nya program talk show “Ko Hin Opo Maneh” di JTV.  Tapi, termasuk pejabat tinggi Negara,  sebagai komisaris Bulog.

Kali ini, Hin masih saja seperti ‘tenger-tenger’,  terdiam. Saya berupaya menghilangkan kegusaran, terus bersemangat nyerocos. 

“Antum ini sehat, Ji. Sehat lahir batin. Cuma, gak isok mlaku, tok. Deloken uwong uwong ndik njobo, ruwet, kemrungsuh kabeh. Ketokane ae’ sehat.”  

Bagi saya asal nyeplos pada Kaji Sholihin begitu, semasa dia masih sehat pun hal biasa. Itulah kelebihan Hin, meski usia lebih tua, derajat di JP lebih tinggi, lebih senior, figurnya lebih disegani dan lebih dipandang di dunia pers maupun birokrat dan politisi, tapi soal kejujuran dan hal yang benar, dia mau melepas egonya, mau mendengar. 

Malam itu, kondisi badan Hin memang tidak nampak terlihat segar. Dibanding bulan-bulan sebelum lebaran, terkesan  lebih kurus. Saya yang sering bersamanya ketika sehat, kadang trenyuh kalau melihat dia berkaca-kaca. Inilah suratan takdir Hin, begitu dia mengartikan sewaktu masih suka diajak bicara. Suratannya begini; jadi komisaris Bulog, melakukan peninjauah ke Medan, makan duren mungkin berlebihan untuk ukuran Hin, pulang ke rumah, wudlu mendadak tubuh lemas dan drop. Sejak kejadian tiga tahun lalu itu,

Hin mengidap stroke dan hanya bisa berbaring, maupun duduk di kursi roda.     

Setelah lama terdiam dan sesekali manggut-manggut, sementara saya terus nyerocos, tiba-tiba dia buka suara, meski  nadanya tetap tertatih.  

“Jok, omongno JTV, Imawan, Mahesa, atau Imam. Ko Hin waktu tayang ulang terakhir sing gak diperpanjang Bank Jatim, durung bayar. Jalukno supoyo diikhlasno, “ kata Kaji Sohilihin, rada bekaca-kaca. (Jok, omongkan ke JTV, Imawan, Mahesa, atau Imam. Ko Hin waktu tayang ulang terakhir yang tidak diperpanjang Bank Jatim --sponsor, red--, belum bayar. Mintakan supaya diikhlaskan). 

Spontan saya terkejut campur cemas. Jangan-jangan ini pamitan, pikir saya. Sepintas, saya teringat dia pernah menyampaikan soal hadits bahwa Rasulullah tidak mau menyolati seseorang yang semasa hidupnya punya tanggungan utang.  Kutipannya,begini;

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu:

“Sesungguhnya dibawakan kepada Rasulullah Shalallahu ’alaihi wa Sallam,  jenazah seorang laki-lai mempunyai (tanggungan) hutang. Maka, beliau bertanya;  “Apakah ia meninggalkan (harta) untuk (melunasi) hutangnya?  Jika dikatakan bahwa meninggalkan (harta) untuk melunasi hutangnya, maka beliau menshalatinya. Jika tidak,  maka beliau mengataan kepada kaum muslimin,  “Shalatkanlah jenazah sahabat kalian (ini).”  Ketika Allah membuka kemenangan-kemenangan atas beliau, maka beliau bersabda;  “Aku lebih berhak atas  kaum mu’minin atas diri mereka sendiri. Barang siapa dari kalangan kaum mu’minin yang meninggal dunia dengan tanggungan hutang, pelunasannya  menjadi tanggunganku.  Dan, barang siapa yang meninggalkan harta, maka (itu) untuk ahli warisnya. “ (HR. Bukhari Juz 2 : 2176). 

“Mosok, Ji. Aku baru ngerti,”  kata saya. Maklum, tugas saya selama dua tahun lebih –tahun 2008-2010-- bikin program talks show “Ko Hin Opo Maneh” hanya menangani produksi. Urusan  sponsor Bank Jatim dan kontrak dengan JTV, tanggungjawab  dia selaku producer executive. Termasuk,  bendahara Rony, mantan wartawan Suara Indonesia saat Pemred-nya Dhiman Abror, pasca tidak lagi menjadi Pemred JP dan mengundurkan diri dari JP.

Ucapan Kaji Sholihin itu membuat saya tidak konsen memberi semangat.  Maklum, selama tiga tahun dia stroke, tidak pernah sedikit pun menyinggung soal ada tanggungan dengan JTV. Bahkan, pasca kontrak produksi tayang dengan JTV berakhir, selama tiga tahun sebelum stroke,  juga  tidak pernah membicarakan itu. 

Untuk mengalihkan firasat yang nggak-nggak, saya  pun menimpali dengan setengah canda. “Iyo Ji, nanti kusampaikan. Aku akan temui mereka. Aku juga kalau pernah utang Antum (buat beli bensin, atau naik taksi, makan), ya tolong diikhlaskan, Ji,” celetuk saya.  

Dia menatap saya, matanya masih agak berkaca-kaca.  “Iyo podho-podho,” jawabnya, singkat. 

abah-hin-almarhum12kvi.jpg

Entah, harapan saya kemungkinan dia bisa sembuh, seketika itu buyar. Pikiran saya kemana-mana gara-gara Hin menyiratkan hadits pembebasan utang sebelum meninggal.  Hin tentu tidak tenang. Hadits Itu seperti yang pernah diobrolkannya, urusan jutaan tahun. Kalau ternyata ucapan Hin benar pamitan, mungkin Hin berharap jika ada teman di JP merasa pernah ada tanggungan dia,  agar diikhlaskan.

Spontan, saya teringat  nama-nama di JP yang saya tahu dan dengar punya kedekatan dengan Hin selama 20 tahun berkarir di JP. Seperti Dis, Margiono (penjabat Pemred setelah Dis),  Arif Afandi (Pemred JP ke-5), Dhiman Abror (Pemred JP ke-4),  Cik Lan –sebutan akrab Lanny —(eks Direktur Keuangan JP), yang lain entahlah.  

Hampir satu jam, saya berada di dalam kamar Kaji Sholihin. Kemudian, saya pamit dia. Saya juga pamit isterinya, Bagus, dan Heri menantunya. Amel –puteri sulung Hin— sedang keluar rumah. Ada satu lagi, King, begitu nama panggilan satu-satunya cucu Hin  yang masih sekolah PAUD. Bocah berambut gondrong ini,  saya elus-elus kepalanya.

Nama “King” mengingatkan saya  pada sebutan pondok pesantren almarhum Gus Munif –adik kandung Gus Mik—di Kediri, “Queen”. 

Dengan perasaan  gusar, saya tinggalkan rumah Hin di Jalan Jogoyudo No 80  (Rt 08, Rw 03), Plipir, Sekardangan, Sidoarjo.  Di dalam mobil teman, saya terus bertanya-tanya.

“Mosok Kaji Sholihin pamitan?” . Kalau benar, dia memberi tauladan kebajikan cukup dasyat, begitu pikir saya. Ini membuat saya harus introspeksi. Saya teringat obrolan Hin;

Sepanjang jadi jurnalis, bukan cuma menyisir ghibah dan fitnah, berbisnis modal utang “gali lubang tutup lubang” juga seolah hal lumrah.

Entahlah, pikiran saya semakin cemas.  Ada kekhawatiran  merasa salah besar kalau tidak segera menyampaikan amanah Kaji Sholihin tadi. Apalagi, kalau sampai  malam itu ternyata dia meninggal dunia beneran. Begitu  pikiran ngelantur saya.  Atau, saya belum menyampaikan terus balik ke Jakarta.

Saat mobil meninggalkan Sidoarjo, saya putuskan meluncur ke JTV, menemui Imam, yang kebetulan  menjabat direktur produksi JTV, selain Pemred JTV.  Tak mungkin menemui Imawan Mashuri lantaran  perintis JTV dan Gedung Graha Pena itu sudah tidak lagi jadi Dirut JTV. Juga tidak mungkin menemui Dirut JTV Mahesa, putera alharhum Eric Samola –mantan preskom Jawa Pos—malam hari. 

Tiba di Graha Pena, Jalan A.Yani,  saya bersemangat masuk ke Gedung JTV menuju ruang redaksi. Rupanya, Imam berada di luar kantor. Masih diliputi kekhawatiran jangan-jangan Hin ‘pamitan’ meninggal malam itu juga, saya pun mendesak  wartawan JTV supaya memberi nomer ponsel Imam yang bisa dihubungi saat itu juga. Lantas, saya kontak Imam,  dan nyambung. 

Saya sampaikan amanah Kaji Sholihin. Sambutan Imam yang pernah jadi wartawan  hukum dan kamtibmas di JP sewaktu Kaji Sholihin Pemred, melegakan.
“Iya Mas, nanti tak sampaikan kepada manajemen,” kata Imam dengan nada ikut prihatin, lewat  ponselnya.

Saya pun ‘plong’, rasanya. Bergegas keluar dari Gedung JTV, saya tidak langsung pulang. Saya melepas rindu duduk-duduk sambil merokok di pinggir halaman parkir depan Gedung Graha Pena. Ketika Kaji Sholihin selama dua tahun jadi host  talks show “Ko Hin Opo Maneh”, duduk-duduk begini kerap dia lakukan. Saya selalu menemani.  

Pernah suatu malam, ketika awal akan memproduksi “Ko Hin Opo Maneh”, Kaji Sholihin dan saya diusir Satpam Graha Pena, dengan nada membentak-bentak. Saat itu, dia dan saya kebetulan duduk-duduk di tempat yang nyaris sama,  sambil merokok kebul-kebul. Rupanya, kami memang salah karena area  dilarang merokok. 

Cuma,  saat Satpam menegur dengan cara membentak-bentak, mantan Pemred JP itu, tidak bereaksi apa-apa. Dia hanya tercengang.  Apa yang dirasakan Kaji Sholihin, entahlah. Tapi, dia mengakui keistimewaan Dis sebagai  jurnalis yang sejak muda anti rokok, mampu  tidak cuma menjadikan area kerja JP bebas rokok. Sekaligus, membentuk mindset disiplin, konsekuen, konsisten, pekerja keras. 

Ada penggalaman buruk, memang di JP, saat redaksi masih ber kantor pusat di Karah Agung, Surabaya. Kejadiannya sekitar pertengahan 90-an. Seorang karyawan bagian percetakan ceroboh buang puntung rokok di dekat mesin percetakan, yang sarat minyak pelumas maupun pewarna. Untungnya, api tidak sampai berkobar dan dapat segera dipadamkan. Kalau tidak, tentu mesin percetakan dan gedung kantor Karah, terbakar ludes.  Dampaknya, koran terbit bisa kacau. Sejak itu, Dis mengharamkan rokok di semua area kerja JP. Sanksi terberat dipecat.

Sopal sikap satpam menegur mantan Pemred JP dengan kasar,  saya sempat nelangsa.  Tapi, Hin yang alumni Fakultas Adab IAIN itu, malah menanggapi sambil tertawa kecil.

“Yok opo maneh, Jok. Zaman wis berubah,” kata Hin yang pernah cukup disegani di gedung berwarna biru itu, saat eranya. 

Kaji Sholihin, yang saya tahu,  biasa berbesar hati, ikhlas menghadapi realita. Jawa Pos memang sudah berubah. Selalu ada yang baru, persis dengan mottonya. Generasinya pun terus berubah, baru dan baru. Sekilas mirip miniatur Indonesia, rupanya. 

Fakta, bukan cuma Satpam  yang  seolah ‘persetan’ terhadap mantan Pemred JP seperti Kaji Sholihin, mungkin juga para mantan mantan Jawa Pos yang lain, sekali pun generasi  perintis. Nyatanya, wartawan era Pemimpin Redaksi Roy, Leak pun banyak yang tidak mengenal sosok mantan Pemred JP Sholihin Hidayat. 

Gera duduk sendirian, selain merasa asing, dan khawatir ditegur Satpam, saya melepas rindu lebih mendalam, masuk ke pintu Gedung Graha Pena.  Di lantai 2 Pena Resto, saya kembali teringat kejadian memilukan bersama Kaji Sholihin.  

Ringkasnya, begini. Senja selepas Magrib, di Pena Resto Graha Pena Lantai 2 itu, Hin dan saya ngobrol rencana produksi “Ko Hin Opo Maneh”.  Saat itu awal program talks show ini dibuat, sekitar 2008-an. Mendadak, Kaji Sholihin sesak nafas. Tubuhnya yang tambun tapi gembur, lemas bersandar di sudut tembok. Wajahnya pucat pasi. Waitress pun panik. Ada beberapa wartawan JP, juga karyawan bagian Iklan JP terlihat asyik makan bersama tamu, barangkali. Mereka cuek, tak peduli seolah berkata “siapa elo”. 

Menyaksikan pemandangan itu, saya hanya bisa menarik nafas panjang. Mungkin saja mereka hanya tahu  nama Pemred ketiga JP Sholihin Hidayat, tapi tidak mengenal orangnya. Realita begini, barangkali, imbas koran ini tidak mentradisikan silaturahmi atau reuni formal antara para mantan JP dengan generasi terkini. Bersyukur, saya tidak panik, dan bisa menenangkan Kaji Sholihin, sambil memijit sekenanya. Alhamdulillah, dia pulih sehingga bisa setir mobil kijang birunya lagi.

Begitulah  yang  terbayang ketika saya melepas rindu sendirian di Gedung Graha Pena, usai menyampaikan amanah Kaji Sholihin.  

Seminggu setelah mendapat amanah mantan Pemred JP Hin, saya dibuat ‘lenger-lenger’ beneran.  Menjelang siang itu, saya  baru saja bertamu di Radio Dalam, Jakarta Selatan.

Kebetulan saya bersama tiga kawan dalam satu mobil meluncur ke arah  Cinere. Dalam perjalanan, beberapa kali nada panggil ponsel berbunyi, tapi  saya biarkan lantaran ngobrol serius dengan ketiga kawan.  

Lantas, saya coba buka-buka beberapa grup WA. Mencengangkan, semua informasinya sama.  

Innalillahi waina ilaihi rojiun.. telah meninggal dunia sahabat kita H. Sholihin Hidayat beberapa waktu berselang.. Jenazah saat ini berada di RS Husada Utama diperkirakan sekitar pkl 12.00 tiba di rumah duka Sidoarjo. Berita duka ini saya terima melalui telepon Mas Bagus.. putra arlmarhum .. Semoga Pak HIN husnul khotimah. 

Membaca WA Mas Yamin –panggilan akrab wartawan senior Jawa Timur, Yamin Akhmad— yang juga sahabat Kaji Sholihin ini, saya terdiam. Saya cuma membatin; “Innalilahi wainna ilaihi rojiun.. Terima kasih kawan, kau ingatkan jangan ada hutang sebelum jadi jenazah”. (*)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda