COWASJP.COM – DALAM system peradilan pidana (crime justice systems), kedudukan Jaksa Agung (Jakgung) adalah penuntut umum. Jakgung adalah ghost terhadap eksistensi JPU (jaksa penuntut umum).
Jakgung wajib menggunakan haknya dalam KUHAP (pasal 183, 184, 185, 186) untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah. Ghost adalah otak dari JPU yang wajib membuktikan tuduhannya. Sedangkan JPU adalah kepanjangan tangan dari ghost untuk melakukan acaranya mengikuti hukum acara (KUHAP).
Jadi, ketika perkara sampai pada tahap P21 (telah dilimpahkan), JPU sudah harus memiliki keyakinan bahwa terdakwa bersalah. Jika sebaliknya, JPU bisa menerbitkan surat penghentian penuntutan perkara (SKP2) atau tuntutan bebas murni di pengadilan (vis praak).
Saya terkejut ketika kemarin Jakgung menyatakan kepada pers agar Ahok tidak dijustifikasi. Maksudnya, agar Ahok tidak dinilai bersalah. Kepada siapa pernyataan Jakgung ditujukan? Pernyataan ini paradoksal dengan tugas Jakgung.
Tidak dapat pernyataan Jakgung tadi dipandang dari azas presumption of innocent (praduga tak bersalah). Dalam aturan peradilan azas presumtion of innocent hanya digunakan oleh lawan penuntut, yaitu pengacara yang bertindak selaku pembela terdakwa. Itu satu.
Kedua, oleh hakim yang mengadili hingga majelis hakim memutuskan perkara.
Ketiga, juri yang mengadili dalam system Anglo Saxon dan British Law yang memutus guilty or not guilty (salah atau benar).
Keempat, publik di luar pengadilan hingga terbit putusan berkekuatan hukum tetap (inkraht).
Foto: istimewa
Di luar empat aspek itu adalah pers. Paradigmanya, adalah trial by the pers (penghukuman oleh pemberitaan media massa) yang wajib dicegah.
Di luar itu, penggunaan tuduhan salah benar adalah masalah etis dan tidak. Maling yang tertangkap tangan harus dinyatakan bersalah. Begitu juga dengan Ahok. Landasan moral publik harus menjadi nilai moral teknik yuridis. Jika terjadi paradok antara keduanya, ada yang tak beres pada hukum secara fatal. Nilai moral publik ini dikenal sebagai voluntee generale de tu, berbasis hukum-hukum.dasar (agama, adat, tradisi, dan kebiasaan) adalah juga hukum di mana hukum positif mengekspresikan hukum negatif (moral) memakai positivisme yuridis Joan Bodin dan Von Jehring yang digunakan Indonesia hingga kini.
Terjadi ketidakpastian hukum jika JPU memiliki keyakinan bahwa terdakwa yang ia tuduh adalah innocent, berlawanan dengan tugasnya. Di sini saya gagal paham. Sebab Jaksa Agung adalah kepanjangan tangan pemerintah, begitu pula hakim, yang dengan demikian tak ditemukan apa yang disebut "badan peradilan yang tidak memihak" sebagai prasyarat Negara Hukum pada Pasal 1 Ayat 3 UUD 45. Badan peradilan yang tidak memihak itu adalah Juri. Peradilan di Indonesia, hakim merangkap juri. Sangat runyam.
Lawan dari JPU adalah para lawyer dalam kedudukannya selaku pengacara terdakwa. Setelah berlalunya periode sistem pokrol, digantikan dengan istilah pengacara, para lawyer bekerja secara kawanan. Nyaris tak ada perkara yang ditangani oleh pengacara tunggal. Selain menggunakan ghost, juga menggunakan investor hukum. Umumnya ghost menjadi bagian dari investor hukum, yang membiayai perkara, dan pengacara hanya melakukan acaranya sesuai mengikuti hukum acara.
Tugas pengacara adalah memberikan perlawanan kepada bukti yang diajukan oleh JPU. Jika bukti JPU rapuh, pengacara dengan mudah mematahkannya. Jika JPU dan pengacara terdakwa bersatu, dapat dipastika terdakwa lolos. Menurut saya, dari pernyataan Jakgung tadi, Ahok lolos dari dakwaan. Majelis hakim yang pada umumnya memiliki kerjasama yang erat dengan JPU, juga akan ikut. Terutama karena bukti sudah dilemahkan.
Para penuntut Ahok tak memiliki daya sama sekali dalam persidangan itu karena berada di luar hukum acara.
Sampai.di sini bahaya yuridis yang dikemukakan mantan Jakgung Basrif Arief yang meminta agar Jakgung diganti dengan yang netral di mana Jakgung Prasetyo adalah Ketua DPP Nasdem, sedang Nasdem adalah pendukung fanatik Ahok. Kasus Ahok niscaya menggerus pengadilan setelah kepolisian. Tampaknya demo Islam masih akan berlanjut panjang untuk menagih keadilan. (*)