COWASJP.COM – PROGRAM talk show “Ko Hin Opo maneh” (KOM) di JTV menjelang memasuki tahun kedua, Ko Hin –sebutan populer mantan Pemred JP Sholihin Hidayat sebagai host-nya—dengan ekspresi ‘berbunga-bunga’, memastikan akan merayakan resepsi pernikahan anak sulungnya, yang tertunda.
Anak pertama Ko Hin --perempuan dari dua bersaudara—yang lahir semasa ia mengawali berkarir jurnalis di Jawa Pos, saat dinikahkan, memang tidak ada resepsi. Maklum, pasca tidak lagi jadi Pemred JP dan ‘pensiun dini’ dari JP, karier jurnalis Ko Hin bagai membalikkan tangan. Wajar, pertengahan 2009 itu, Ko Hin ‘syukuran’ saat sukses membawakan talk show “KOM”. Ia pun bisa memenuhi janji menggelar resepsi pernikahan anak kesayangan yang tertunda sekian tahun, secara meriah di gedung terbaik di kota kelahirannya, Sidoarjo.
BACA JUGA: Wartawan Kohin Tauladankan Bebas Utang Jelang Meninggal
“Alhamdulillah, Jok, gedung full. Undangan akeh sing teko,” kata Ko Hin. Saya kebetulan dipercaya pegang EO (Event Organizer) resepsi bersama Rony --mantan wartawan “Suara Indonesia” (SI) yang Pemred-nya Dimam Abror Djuraid, pasca Pemred JP, Direktur Radar Timur dan pensiun dini dari Jawa Pos Group.
Begitulah Ko Hin. Sejak ‘pensiun dini’ dari JP, terjun ke politik secara ‘instan’ ikut daftar bakal calon bupati (Bacabup) –Pilkada Sidoarjo tahun 2000-- dan gagal, dinamikanya sebagai mantan Pemred JP –pasca Dahlan Iskan (Dis) dan Margiono (Mg)— kurang beruntung. Hin –sebutan inisial Sholihin Hidayat di JP-- sempat jadi ‘anak buah’ dengan posisi layaknya redaktur di harian “Suara Indonesia” (SI) yang Pemred-nya Dhimam Abror (Ror) itu. Ror yang juga pernah jadi ‘anak buah' Hin di JP, ketika itu memang mencoba membangkitkan “SI” (bukan Grup JP) dengan suntikan dana sepertinya ‘opportunity cost’ dari investor lokal.
BACA JUGA: Sebagai Wartawan, Saya Hanya Takut Allah Ta’ala…
Ror semasa sebelum jadi Pemred JP dan pernah ‘ngepos’ di Sydney , bukan hanya mantan ‘anak buah’ Hin. Malah, Hin sempat klaim pada saya, selama dirinya jadi Pemred JP (1995-2000), Ror sengaja ia kader untuk melanjutkan tongkat estafet Pemred. Alasannya, Ror lahir dan dibesarkan dari keluarga tokoh Ormas Muhammadiyah di Jawa Timur. Artinya, untuk mengimbangi supaya imij politis JP tidak terlampau over didominasi NU.
BACA JUGA: Jejak Jurnalis Santri
“Abror pisau jurnalismenya tajam, paham roh Jawa Pos. Dia memang Muhammadiyah, tapi roso-ne’ NU,” kata Ko Hin, suatu kala.
Rupanya, kaderisasi ala mantan aktifis di IAIN Sunan Ampel Surabaya akhir 70-an itu juga desain setting HRD (Human Resources Development) level redaksi yang dikehendaki Big Boss JP, Dahlan Iskan (Dis). Selain demi politik stabilitas media – karena NU dan Muhammadiyah, Ormas paling disegani rezim Orba--, sekaligus untuk membangun fanatisme pasar di Pulau Jawa . Khususnya, Jatim sebagai basis NU.
BACA JUGA: Cerita Pendek tentang Si Anak Bangil
Terbukti, JP sukses ‘menenggelamkan’ imperium koran legendaris Jatim, “Surabaya Post”. Bahkan, JP mampu berjaya menghadang ekspansi Kompas, khususnya di Jatim. Termasuk, kroninya, “Harian Surya”. Sayangnya belakangan, basis pembaca fanatisme JP buyar pasca visi jurnalisme JP dirombak generasi terkini. Keniscayaan.
BACA JUGA: Teringat Ucapannya: ''Sampean kan Tokoh Informal''
‘Kemarin’, tiras “Surya” bertahun-tahun sulit menembus dinding pasar yang diukuasai JP, walaupun sempat ‘merekrut’ Dhimam Abror sebagai Pemred “Surya” dengan harapan dapat klu strategi. ‘Hari ini’, Koran “Surya” semakin mudah ‘menggerogoti’ pembaca loyal JP. Kompas pun terus ber- ‘lenggang kangkung’ merambah pasar Jawa Timur, apalagi Jawa Tengah.
“Surya strateginya tepat, nyerang pasar pinggir, harga diturunkan, perwajahan dan gaya jurnalismenya disesuaikan pasar pinggiran. Setelah pasar pinggiran dikuasai, nyerang tenga gampang, tinggal menyesuaikan ‘taste’’ perwajahan dan jurnalismenya. Toh, pembaca pinggiran tambah pinter,” begitu komentar Hin, soal perkembangan “Surya”, pasca Pemred dijabat Ror.
Tidak hanya Ror, yang diklaim kader Hin. Begitu pun Arif Afrandi –berinisial Rif— yang alumni Fisip UGM dan berlatar belakang keluarga Nahdliyin. Rif yang dianggap berbakat paling cemerlang di Biro JP Yogya, tahun 1995, oleh Hin diminta ke Surabaya –untuk kali kedua setelah 1993-- membantu pegang desk halaman pertama.
Benar, Rif yang kemudian melahirkan karya buku monumental “Demokrasi Atas Bawah” (1996), dan seolah ‘mengislahkan’ –mempertemukan dalam diskusi di Sunda Kelapa Jakarta-- dua kutub besar Ormas NU dan Muhammadiyah, Gus Dur dan Amien Rais yang selama Orba ‘terpenjara’ politik “de vide et impera” ala rezim Soeharto –berujung reformasi 1998—, akhirnya mampu jadi Pemred JP masuk kategori bertahan lama melebihi Ror. Kepemimpinan Rif di redaksi JP memang estafet dari Ror.
Hin saat dibawah kendali Ror sebagai Pemred “Suara Indonesia”, dia tidak sendiri. Di koran yang umurnya tidak panjang itu, ada lagi redaktur senior JP yang ikut gabung. Yaitu, Dharma Dewangga dan Didik Puji Yuwono. Jurnalis senior Moh Anis, yang mantan Memorandum, Surabaya Pos dan mantan Redpel Tabloid Detik juga ikut berkreasi di situ.
“Awakmu melok kumpul kene pisan ta, Jok,” kata Anis, ketika saya berkunjuk ke kantor ‘SI’ yang bangunannya ‘heritage’ itu. (“Kamu ikut kumpul di sini juga, Jok”).
Malam itu, Hin sempat curhat pesimistis “SI” yang pemodalnya termasuk Haruna –pengusaha properti Jatim-- bisa ‘survive’ dan bertahan lama. Saat itu, saya yang kebetulan sudah ‘pisah’ dari perusahaan Singgih Sutoyo –mantan wartawan JP biro Probolinggo/Jember– sengaja datang menemui Hin di kantor “SI” kawasan Jalan Brantas, Surabaya.
Sebenarnya, saya ingin curhat pasca tiga tahun bantu Singgih membangun ‘imperium UKM’ media ‘esek-esek’ dari satu majalah Top menjadi 13-media cetak, dan menguasai pasar ‘jurnalisme sampah” di Jakarta . Saya mundur, lantaran Singgih tidak berubah haluan ke media konvensional. Sebaliknya, Hin malah curhat nasib “SI”.
Selama jadi redaktur di “SI”, Hin tidak mengelak, anggapan para ‘jawara’ jurnalis kumpul dan berkerja dalam satu media akan membuat media menjadi ‘keep on track’ dan sukses, tidak sertamerta benar. Justru rentan kandas lantaran dinamika sarat tarik menarik ego ‘jawara’. Apalagi, kapasitas investasi sebatas ‘interest during construction’. Buntutnya, arah media tidak focus, manajemen berpotensial konflik, dan sarat ragam kepentingan. Begitu Hin menyiratkan saat turun ‘level’ cuma penanggungjawab halaman di “SI”.
***
Hin meraih ‘keberuntungan’ jadi host talk show “Ko Hin Opo Maneh” memang tidak terlepas dari dukungan teman-teman yang menjabat di JTV. Diantaranya, Imawan Mashuri, Direktur Produksi Ali Murtadlo ( mantan Redpel JP), Pemred JTV Imam (mantan redaktur JP), dan Mahesa. Nama disebut terakhir, anak almarhum Eric Samola –pemegang saham 20% Jawa Pos yang belakanggan tinggal 16,4%— diyakini penerus masa depan Group JP. Mahesa di JTV saat itu baru mendalami bagian teknik. Satu lagi, Rini pimpinan marketing JTV.
Dukungan Imawan dan figur-figur JTV itulah, program talk show “Ko Hin Opo Maneh” mampu bertahan sampai dua tahun dan populer. Sebagai host, Kaji Sholihin –begitu saya biasa menyebutnya—yang namanya di kalangan wartawan khususnya di Jawa Timur sudah meredup, seperti bangkit lagi. Nama Sholihin Hidayat pun –termasuk di mata pemirsa JTV-- lebih populer dengan sebutan nama host, “Ko Hin”.
Khususnya terhadap Imawan Mashuri, Ko Hin pernah mengaku tak menyangka kalau mantan wartawan JP yang pernah ditugaskan Dis ke Manado --membangun Koran Menado Post dan sukses--, dan sempat berselisih paham dengannya, ternyata bisa baik, mendukung penuh ia jadi host di JTV. Sudah rahasia umum di JP tahun 90-an, gara-gara beda visi kebijakan mobil fasilitas kantor JP, Hin dan Imawan tidak akur. Berkat “Ko Hin Opo Maneh”, kedua figur bersejarah di Jawa Pos ini kembali ‘rukun’.
Malahan, Imawan yang pernah jadi Ketua Parfi Jatim – sebelum ‘diamankan’ Dis ke Manado-- dengan penuh semangat dan lapang hati “ok ok aja’ saat saya selaku produser “Ko Hin Opo Maneh”, meminta dia jadi narasumber KOM edisi perdana. Topiknya rada seksi memang, “Trio Kumis dan Kumis Pakde”. Imawan mewakili jurnalis ber-“kumis” bertemu Pakde Karwo –sekarang Gubernur Jatim-- sang birokrat “kumis tebal”, dan Andi Malarangeng –juru bicara Presiden SBY-- yang ilmuwan dan politikus juga ber-“kumis”.
Imawan -–di JP berinisial “wan”— sempat sekian tahun tidak saling tegur sapa dengan Hin. Saat di panggung ‘on air’ talk show “KOM” JTV, dia enteng dan bersahaja memanggil Kaji Sholihin dengan sebutan “Ko Hin”. Saya yang kebetulan punya kedekatan historis dengan keduanya, sempat membantin ‘cekikikan’. Saya jadi teringat adegan ludruk duet Cak Kartolo dan Basman yang rukun setelah bersteru rebutan ‘cinta’ sebuah mobil idaman.
Maklum, Ko Hin –saat Pemred JP-- pernah curhat soal ‘perseteruan’ pandangan dengan Imawan terkait mobil itu. Kebetulan saya juga paham Imawan lantaran berteman sejak sama-sama kuliah di AWS. Imawan lebih dulu jadi wartawan di Radar Kota, malah suka nraktir saya makan nasi angkringan di kawasan Jalan Dr Soetomo, Surabaya. Lebih membuat saya senang, dan barangkali juga Ko Hin, sejak tayangan itu, Imawan bisa ‘enjoy’ menyapa Kaji Sholihin dengan panggilan “Ko Hin”.
“Gak nyogko, arek iku atine’ apik, Jok,” celetuk Ko Hin, suatu kala. (“Tidak menyangka kalau hati dia (Imawan) baik, Jok”)
Sebutan nama “Ko Hin” sejak itu seperti mewabah. Siapa pun –khususnya di Jawa Timur-- yang kenal mantan Pemred JP Sholihin Hidayat, baik di kalangan wartawan senior maupun yang muda tidak lagi memanggil dengan nama Sholihin, atau Mas Sholihin seperti kebiasaan mantan redaktur senior ‘desk’ olar raga Slamet Oerip (Sop). Apalagi yang suka menyebut Cak Sholihin, Abah Sholihin, atau Bib –sebutan singkat Habib-- lah.
Begitu pula Dis yang saya tahu sejak masih jadi Pemred JP suka memanggil cukup dengan inisial “Hin”. Juga wartawan senior tergolong ‘sesepuh’ PWI Jatim yang suka ‘congklok’ panggil “Hin Sholihin…!”. Mereka antara lain, Hadiaman –eks jurnalis senior Sinar Harapan yang se angkatan mantan bos Memorandum, almarhum Mas Agil H. Ali— dan Prof Dr Sam Abede Pareno –mantan jurnalis senior Sinar Harapan yang pernah jadi redaktur hiburan JP— termasuk senior JP Koesnan Soekandar.
Gubernur Soekarwo dan Wagub-nya Syaifullah Yusuf (Gus Ipul) ketika ditemui Ko Hin pun tak lagi memanggil nama “Pak Hin”. Malah, Gus Ipul ketika awal reformasi jadi pimpinan perusahaan Koran “Duta Masyarakat” (Jawa Pos Group) yang Pemred-nya Gus Dur -- jauh sebelum jadi presiden-- , dia suka panggil “Cak Hin”. Gus Ipul yang kala itu sering ke Graha Pena, memang sesekali suka ngobrol dengan Ko Hin sambil duduk ‘klosotan’ tengah malam di Lantai 2. Gus Ipul segan dengan Ko Hin lantaran Pemred JP.
Ada lagi yang suka ‘congklok’ panggil “Hin Sholihin…”, yaitu Toto Sonata. Redaktur ‘Sapujagat’ ini juga mantan redaktur “Nyata” (Jawa Pos Group). Toto Sonata kebetulan bersama Ko Hin di LensaIndonesia.com (Licom), berpangkat ‘kehormatan’ Dewan Pakar Redaksi, karena keduanya berkontribusi besar. Singkatnya, akhir 2010, Totok –begitu Ko Hin biasa memanggilnya-- dan anak sulungnya, Sukma Sonata serta Muhajir –mantan wartawan SI-- meminta saya bertemu investor Licom. Totok berharap media online yang beberapa bulan sebelumnya dirintis anaknya dan Muhajir bersama Arif Rahman, Pemred Sapujagat ini bisa dikelola profesional. Tamplatenya masih sederhana, kontennya pun seadanya. Kemudian, investor setuju business plan setebal 60 halaman yang saya ajukan.
Berkat support Ko Hin, Licom pun jadi perusahaan pers berbadan hukum dan tumbuh jadi portal nasional berkantor di Surabaya dan Jakarta. Beruntung, hingga memasuki tahun ketujuh dan sarat dinamika bisnis media, Licom sempat didatangi dan dapat ucapan selamat Presiden Joko Widodo, saat masih Gubernur DKI. Tiga tahun, 2012-2015, Licom juga memberikan penghargaan kepada tokoh-tokoh terhormat di negeri ini.
Diantanya, Buya Syafiie Ma’arif , Joko Widodo, Karni Ilyas, Mien Uno, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (saat Wagub), Abraham Samad (saat Ketua KPK), Titiek Soeharto (representasi keluarga Soeharto), dan Jenderal (purn TNI AD) Moeldoko –saat masih Panglima TNI, dan Harry Tanoe Soedibyo (politikus tionghoa fenomenal). Ko Hin memang jadi teman diskusi paling loyal untuk perkembangan Licom.
***
Virus menyebut nama “Ko Hin”, rupanya, ada satu kawan pers yang seperti menolak. Dialah teman Ko Hin sesama aktifis ’78, Jalil Latuconsina owner Tabloid “Sapujagat”. Kaji Jalil –begitu saya biasa memanggilnya-- yang saya kenal sejak rambutnya masih hitam legam dan bertampang ala ‘cover boy’ khas ‘Ambon manise’, entah kenapa seolah tidak terpengaruh virus sebutan “Ko Hin”. Ia saat bertemu Ko Hin, tetap konsisten dengan kebiasaannya memanggil dengan ‘congklokan’, “Hin Sholihin…!”
Begitulah Jalil yang lewat tabloidnya juga paling rajin ‘mengritisi’ Dis. Konsistensinya, cukup mencenungkan memang. Padahal, Jenderal TNI (Purn) Wiranto –sekarang Menteri Polhukam-- dan Mantan Gubernur DKI Sutiyoso sebelum jadi Ketua BIN, termasuk Menpora Imam Nahrawi ---ketika masih pimpinan DPW PKB Jatim—kala itu juga ‘familiar’ menyebut nama “Ko Hin”. Para elite politik ini memang termasuk narasumber spesial di antara para menteri dan petinggi partai era pemerintahan SBY yang tampil di “Ko Hin Opo Maneh”.
Kalau saja JTV yang dipimpin Imawan tidak mendukung, atau Soekarwo –ketika itu Sekdaprov Jatim dan komisaris Bank Jatim -- tidak merestui Bank Jatim jadi sponsor program talk show “KOM”, barangkali tidak akan pernah ada sebutan “Ko Hin”. Pastinya, sejak nama Ko Hin populer, Hin seperti mendapat ‘cahaya’ baru pasca ‘redup’. Faktanya, ia tidak lagi jadi Pemred majalah lokal Sidoarjo “Ikhtibar”, yang setiap terbit –sebulan sekali— harus mengetuk ruangan demi ruangan ketua fraksi DPRD di Sidoarjo.
Majalah lokal “Ikhtibar” itu didirikan Ko Hin pasca tidak lagi berkarya jurnalistik bersama Ror di “Suara Indonesia”-nya Edy Rumpoko, mantan Walikota Batu. Koran SI itu memang warisan almarhum ayah Edy Rumpoko, yang mantan Walikota Malang era awal Orba.
Suatu siang, sekitar 2007, Hin pernah mengajak saya bersama temannya --sesama alumni IAIN-- yang akrab dipanggil Cak Gofar, membawa setumpuk “Ikhtibar” ke ruang salah satu ketua fraksi di DPRD Sidoarjo. Batin saya protes, bahkan sempat mengritik Hin rada keras, karena bagaimana pun dia mantan pimpinan wartawan media nasional. Tentu, trahnya –diantara pilar demokrasi; pers, eksekutif, legislatif dan yudikatif-- melebihi gubernur. Ironis, kalau harus berharap dukungan ‘iklan’ dari seorang legislatif setingkat DPRD kabupaten, demi majalah bisa terbit.
Kalau saja Hin tidak mendahului berpulang ke Rahmatullah, saya penasaran untuk bertanya kembali alasannya. Seingat saya, Hin mengaku memang tidak bisa meninggalkan naluri jurnalistik-nya, cuma tak ingin hanyut aroma ghibah dan fitnah. Karena itu, dipilihnya bikin majalah bernuansa Islami, meski lokal.
“Yang penting, bagaimana barokah, Jok,” begitu seingat saya, penggalan kalimat Ko Hin.
Logika saya tetap protes kenapa tidak memanfaatkan asset empirisnya yang masih menyimpan potensi manfaat jauh lebih besar. Karena itu, saya memprovokasi Hin agar mau jadi host talk show di JTV. Kebetulan ketika itu ada Karni Ilyas –mantan wartawan senior Tempo—jadi host program “Jakarta Lowyers Club” sebelum jadi “ILC” di TVOne.
Awalnya, Hin ragu lantaran yang berkuasa di JTV, Imawan Mashuri. Kalau pun Imawan mau, keraguan yang tidak mudah dijawab, soal siapa yang mau jadi sponsor. Biaya sekali produksi memang tidak kecil. Saya berupaya meyakinkan, program talks show “Ko Hin Opo Maneh” bisa jadi ‘trigger’ bagi JTV, karena dapat memperluas dan meningkatkan segmentasi JTV sebagai teve lokal. Apalagi, JTV belum ada program talk show berorientasi narasumber nasional, sementara Hin –saat masih Pemred JP— punya asset potensial jaringan tokoh-tokoh politik nasional..
Hin sepertinya paham kalau saya ‘provokasi’. Fakta, sebelumnya --sekitar 2007--, ia tidak mengelak ketika saya ‘hasut’ untuk mau ikut jadi bintang sinetron bertajuk “Gali Lubang Tutup Lubang” (GLTL) sebanyak 13 episode. Sinetron ini bersetting cerita tragedi lumpur Lapindo. Sinetron yang saya produseri –diinisasi Damar Huda mantan wartawan Nyata yang bekerja di JTV—ini tayang di JTV, dan produksi PARSI (Persatuan Artis Sinetron Indonesia) Jatim.
Organisasi ini sejak tiga tahun sebelum itu –2004--, berdiri berkat support Arif Afandi saat Pemred JP. Rif mendukung penuh saat saya dan teman sineas Jakarta, Syailendara dan almarhum Ahmad Fauzi –sebelum jadi Ketua Dewan Kesenian Jatim— disupport Ketua Parsi pusat Anwar Fuadi mendirikan Parsi di Jatim ini. Saat itu, Rif menjelang maju Wawali Surabaya --Pilkada Surabaya 2005--, dan akan menyerahkan tongkat estafet Pemred JP kepada Azrul Ananda, putera sulung Dis –dari dua bersaudara—yang sejak remaja studi di Amerika.
Saya akui, batin rasanya bertentangan ketika memprovokasi mantan Pemred koran nasional JP yang kariernya ‘meredup’ jadi Pemred majalah bulanan Sidoarjo-, untuk main sinetron lokal. Logika saya menjadi “pe’-de’” setelah mereferensi pengalaman mantan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra dan Saifullah Yusuf (Gus Ipul) –mantan Meneg Pembangunan Daerah Tertinggal era Presiden SBY-- terjun jadi bintang film bertajuk “Laksamana Cheng Ho” atau “Admiral Zheng He” diproduksi 2007. Tentu, esensinya sama demi mendongkrak popularitas politik empati.
DARI KIRI: Solihin Hidayat (Almarhum). Boedi Soesetyo, Djoko Susilo (almarhum), dan Auri Jaya di salah satu cafe di London. (Foto: Fuad Ariyanto/CoWasJP.com)
Hin sangat paham itu. Karenanya, ia menerima tawaran main sinetron berkarakter budaya lokal tadi. Bahkan, ia lakukan dengan cukup bersemangat ketika di setiap penghujung episode, sutradara meminta harus membawakan adegan “parik’an” ala tokoh ludruk Kartolo, namun bermuatan pesan moral. Hin nampaknya menyimpan bakat terpendam, akting. Pantas, sebelum jadi Pemred JP dan ketika mengelola halaman hiburan --akhir tahun 80-an--, ia sangat akrab dengan Ketua Parfi Jatim Eva Rosdiana Dewi.
Sinetron GLTL-nya memang tidak sehebat sinetron ber-visi drama ala filosofi India-nya klan Raam Pujambi. Misalnya, “Si Boy Anak Jalanan” dan “Manusia Harimau” (RCTI). Atau, barangkali, GLTL hanya sinetron lokal dan pemirsa JTV dominan strata sosial level C maupun D, yang tidak pernah tahu figur Sholihin Hidayat mantan Pemred JP. Sehingga, ‘effect’-nya tidak begitu terasa.
Kalau saja wajah Hin semasa jadi Pemred JP dikenal publik layaknya Dis dan nama Nany Wijaya di JP--, bisa jadi saat dia main sinetron ala ‘ludrukan’ bersetting “Lumpur lapindo”, memantik sensasi. Entah, apa ini kelemahan JP yang nyaris tidak pernah memberi ruang lebih terhadap figur Pemred-nya untuk dikenal publik. Sudah jadi rahasia umum, cuma Dis- lah yang foto dan tulisannya selalu muncul di halaman pertama JP.
Belakangan, malah Azrul Ananda, yang di kalangan insan pers dijuluki jurnalis ‘karbitan’ juga kerap tampil –foto dan tulisannya-- di halaman cukup ‘terhormat’ bagi insan pers, sekaligus menjadi jendela sebuah visi surat kabar.
Walau begitu, pengalaman Hin main di sinetron “GLTL”, setidaknya menjadi bekal cukup untuk berakting di depan kamera video. Benar, Hin begitu lancar memerankan figur ayah dari tokoh peran utama sinetron “GLTL”, sehingga ia tambah bersemangat untuk mewujudkan produksi “Ko Hin Opo Maneh”. Apalagi, mendekati momen Pilgub (Pemilihan Gubernur) Jatim tahun 2008. Peluang mendulang iklan dari partai politik pendukung calon gubernur maupun iklan para kandidat, tentu ada di depan mata. Begitu saya meyakinkan Hin.
Saat hari mendekati pendaftaran bakal calon gubernur (Bacagub) Jatim, entahlan, saya kembali bersemangat memprovokasi Hin. Provokasi kali ini, bagaimana dia mau daftar bakal calon gubernur. ‘no capital’, pastinya. Target, tentu bukan untuk menang, karena hal itu naïf. Mengingat, Hin cuma mantan Pemred JP dan Pemred majalah “Ikhtibar’, juga tidak punya ikatan struktural dengan parpol mana pun.Problem lagi, kultur politik Pilkada termasuk Pileg sudah jadi rahasia umum, soal ‘money politic’ seperti bersenyawa dalam sistem demokrasi di tanah air. Lucu, masih saja ada yang tega ‘sok suci’ menyikapi persoalan akut berkedok demokrasi NKRI ini.
Hin memang trauma pernah ‘habis-habisan’ maju Bakal Calon Bupati (Bacabub) Sidoarjo dan gagal. Selama saya memprovokasi, ia seperti gera dan ‘geram kesumat’ terhadap tren politik ‘dagang kambing’ dan ‘kambing hitam’ yang menafikan ‘halal’ dan ‘haram’, demi syahwat politik.
“Momen ini jangan disia-siakan, Ji. Cuma sekarang, Antum punya kesempatan nebus ‘dosa’ sejarah. Mosok derajat Pemred koran nasional JP, Antum turunkan setingkat bakal calon Bupati Sidoarjo,” begitu, saya masih ingat betul kalimat provokatif saat ngobrol di kantornya, “Ikhtibar” di Sidoarjo.
Di kantor yang dipinjami salah satu pejabat di Sidoarjo itu, saya bicara ‘asal aja’ dan tidak berpikir apakah Hin tersinggung. Saya cuma beralasan, kalau ia mau maju Bacagub, pasti akan jadi trending topic di media. Saya meyakinkan dia, kalau Jawa Pos –meski Pemrednya bukan Rif lagi karena sudah jadi Wawali Surabaya-- memungkinkan memblow-up. Malah, saya dorong dia untuk mendatangi kantor redaksi JP di Graha Pena.
Gilirannya, tentu, akan memudahkan saya untuk ‘menjual’ proposal “Ko Hin Opo Maneh” di JTV maupun terhadap sponsor.
Apakah Hin sama seperti saya ‘berpikiran mbelingi’ demi ambisi produksi “Ko Hin opo Maneh”, entahlah. Rupanya, Ko Hin sudah berdiskusi dengan banyak pihak soal gagasan bonek maju Bacagub. Faktanya, Hin menyatakan ‘oke’, bahkan bersemangat. Kemudian, disepakati yang jadi koordinator tim sukses, saya bersama Giri Sancoko yang mantan staff anak perusahaan Jawa Pos Group, saat belum jadi anggota DPRD Jatim. Anggota tim, seluruh kru majalah Ikhtibar.
Sejak awal, tim sepakat memilih DPW PKB Jatim yang berkantor di Jalan Ketintang, Surabaya sebagai tempat pendaftaran yang disasar. Pertimbangan krusial, karena pengurus DPW PKB tidak asing terhadap Hin yang berteman se-angkatan di IAIN , KH Ali Maschan Moesa yang mantan aktifis PMII –sebelum jadi anggota DPR RI 2009-20014--. Termasuk, KH Agoes Ali Mashuri, yang akrab dipanggil Gus Ali Tulangan.
Tepat hari pertama DPW PKB Jatim membuka jadwal pendaftaran, tim mewujudkan kesepakatan memberangkatkan Hin dari Masjid Al-Akbar, Surabaya. Dengan iring-iringan tiga mobil mini bus, begitu sampai di gang Jalan Ketintang, Hin turun mobil, langsung ‘dikarak’ menuju kantor DPW PKB. Grup hadrah yang disiapkan Giri, mengiringi layaknya arak-arakan pengantin ‘Betawi’. Rombongan Hin paling heboh, dan cukup sensasi. Wartawan yang sudah dikontak sejak awal pun antusias meliput Hin.
Bersyukur. Esoknya, semua media di Jawa Timur menurunkan berita Hin sang mantan Pemred JP maju Bacagub Jatim. Sejak itu, nama Solihin Hidayat –belum dikenal sebagai Ko Hin—jadi gunjingan baik di kalangan wartawan maupun pejabat dan politisi khususnya di Jawa Timur. Multi tafsir pun mulai mengembangkan beragam asumsi.
Lebih ‘seksi’ lagi ketika Hin tampil di hari ‘adu program’ dengan para Bacagub PKB lainnya di hotel berbintang Jalan Raya Darmo. Esoknya, foto Hin muncul di halaman pertama banyak media, termasuk Jawa Pos. Rupanya, yang rada ‘terganggu’ adalah Sekdaprov Soekarwo, karena ia disiapkan matang oleh Gubernur Imam Utomo, untuk target harus menang lewat parpol pengusungnya, Partai Demokrat.
Hin yang semula hari-harinya lebih ‘bergairah’ dari rumah ke kantor “Ikhtibar” di Sidoarjo ketimbang ke Surabaya, sejak itu seolah berubah seratus delapan puluh derajat. Hind selalu mengajak saya keliling lobi-lobi, terus ‘ngantor’ di kafe Pena Resto Lt 2 Graha Pena, sempat nyaris tiap hari. Kali ini, di Graha Pena agak bernyali lantaran wajah Hin sejak muncul di halaman pertama JP, mulai dikenal orang.
Setiap saya temani jalan –pakai mobil kijangnya— ia selalu jadi perhatian. Kadang Hin, bahkan saya pun ikut-ikutan salah tingkah. Beda dengan sebelum fotonya dan berita maju Bacagub menghiasi koran di halaman pertama, memang. Nyaris tidak ada yang peduli, bahkan sempat diusir Satpam Graha Pena.
Nah, di atas kertas memang naif DPW PKB memilih Hin jadi Cagub-nya, tim “Ko Hin Opo Maneh” putar haluan fokus ‘all out’ menyisir calon sponsor. Itung-itung mumpung masih menunggu jadual pengumuman final dari PKB. Artinya, ‘bargaining position” Hin terkait proposal “Ko Hin Opo Maneh”, tentu masih kuat. Semua tim optimistis produksi bisa secepatnya dieksekusi, dan segera tayang di JTV.
Benar. “Effect” Hin maju Bacagub gencar muncul di media, berdampak besar. Proposal “KOM” yang disebar ke perusahaan swasta, BUMN maupun BUMD, cepat dapat respon. Ketika dihadapkan pilihan ada calon sponsor sangat berkualitas seperti perusahaan sarung Vladimor, PT Semen Indonesia, dan Bank Jatim, tim sepakat memilih Bank Jatim.
Kemudian, Hin dan saya diterima Dirut Bank Jatim –saat masih dijabat Moelyanto—dan beberapa staff direksi lain di kantornya. Rony –Redpel “Ikhtibar”—yang tanggungjawab soal administrasi dan bendahara ikut mendampingi dan menyiapkan kontrak. Selaku produser, saya mempresentasikan konsep “Ko Hin Opo Maneh” secara detail. Siang itu, kami seolah diperlakukan layaknya tamu terhormat. Seperti tidak masuk akal. Rupanya, para direksi segan dengan Ko Hin yang Bakal Calon Gubernur Jatim.
Entah, apa lantaran ini, direksi Bank Jatim setuju jadi sponsor. Pertimbangnya, konsep benefit talk show KOM selaras dengan target Bank Jatim. Kontrak pun disetujui per tiga bulan. Karena produksi dan tayang seminggu sekali, praktis kontrak diperpanjang per 13 episode.
Keniscayaan.
Host Ko Hin dalam talk show “Ko Hin Opo Maneh” ‘berlenggang’ di JTV. Host “Ko Hin” semakin populer dengan dukungan tiga asisten berparas cantik , smart, dan pinter nyanyi. Ketiga artis Bank Jatim ini selalu mendendangkan lagu di setiap akhr segmen . Tayangan berdurasi satu jam terbagi enam segmen. Ko Hin beryukur, KOM berdampak positip terhadap tren marketing Bank Jatim. Sekaligus, jadi fasilitas entertain dan sosialisasi relasi Bank Jatim di level menteri era itu.
Saking asyiknya berproses kreatif jadi host “Ko Hin Opo Maneh”, Ko Hin seperti tak peduli lagi ketika namanya tidak diumumkan sebagai bakal calon gubenur yang lolos diusung PKB. Di luar syuting rekaman di studio JTV maupun di lobi-lobi hotel berbintang, Ko Hin dan saya sibuk melobi-lobi narasumber baik di Jakarta maupun di Surabaya.
Tidak terasa, tayangan mengalir hingga kontrak dengan Bank Jatim berjalan dua tahun. Bahkan, Soekarwo yang diuntungkan tayangan “Ko Hin Opo Maneh” hingga ter-branded “Pak De” pun sudah menjadi Gubernur Jatim seperti yang diinginkan mantan bos-nya, Imam Utomo.
“Antum gak lagi trah bakal calon bupati Sidoarjo, Ji. Kalau Arif Wakil Wali Kota Surabaya, Antum justru calon Gubernur Jatim. Awam gak mau tahu soal bakal. Derajat Pemred JP gak Bacabub lagi,” begitu canda saya kepada Ko Hin, suatu siang di lobi direksi Bank Jatim. Maklum, Dis pun saat itu masih Dirut BUMD, Panca Wira Usaha (PWU) Jatim.
“Iiisook ae awakmu, Jok,” sahut Ko Hin, kali ini, ekspresinya berbinar-binar. Kalimat itu selalu terngiang. Selamat jalan, Ko Hin. (*)