COWASJP.COM – SEKONYONG-KONYONG Prof. Yusril Ihza Mahendra menyentak begitu menulis Living Law untuk mengkounter pernyataan Kapolri Tito Karnavian bahwa fatwa MUI bukan hukum positif, dan yang menjadi pedoman adalah hukum positif. Sudah benar pernyataan itu dalam basis teorema positivisme yuridis.
Masalahnya karena dinyatakan dalam kasus yang sedang berlangsung, muncul paradok baru yang lama terpendam. Yaitu, positivisme yuridis memiliki keterbatasan ketika realitas hukum berbeda antara positivisme berhadapan dengan hukum yurisprudensi sosiologis yang dikenal sebagai living law.
Adalah fakta sebanyak 183 juta masyarakat Indonesia hidup dalam living law hukum Islam. Tampaknya, fikih mazhab negara pun akan berhadapan dengan living law di masa depan (periksa Fikih Mazhab Negara yang ditulis seorang pengurus PBNU kini). Terutama posisi Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi hukum positif melalui Inpres No 2 Tahun 1974.
Masalah living law ini, praktis booming dalam perdebatan Pasal 156 a KUHP yang dituduhkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Ahok di mana Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI menjadi bukti materil gangguan Tibum dalam perkara delik formil tersebut. Keniscayaannya, JPU dipaksa menggunakan argu living law.
Saya kutipkan Rasyid Rizani tentang pikiran Ehrlich mengenai living law dan sejarah hukumnya.
Legal Positivisme mengajarkan bahwa hukum positiflah yang merupakan hukum yang berlaku; dan hukum positif di sini adalah norma-norma yudisial yang telah dibangun oleh otoritas negara. Hukum negara ditaati secara absolut yang disimpulkan ke dalam suatu statement gezetz ist gezetz atau the law is the law.
Pertama. Berbeda dengan legal positivisme yang cara pandangnya bersifat abstrak dan formal legalistis, paradigma yuridis sosiologis atau yuridis empiris, seperti mazhab sejarah yang dipelopori Von Savigny telah mulai menarik perhatian banyak orang dari suatu analisis hukum yang bersifat abstrak dan ideologis kepada suatu analisis hukum yang difokuskan pada lingkungan sosial yang membentuknya.
Kedua. Jadi, berdasarkan pandangan Savigny tersebut, hukum itu timbul bukan karena perintah penguasa atau kekuasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber hukum.
Teori hukum lain yang lahir dari proses dialektika antara tesis positivisme hukum dan antitesis aliran sejarah, yaitu Sociological Jurisprudence yang berpendapat bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Teori ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang hidup.
Tokoh aliran ini terkenal di antaranya adalah Eugen Ehrlich (1862-1922) seorang ahli hukum dan sosiolog dari Austria, berpendapat bahwa persoalan-persoalan tentang hukum, pada saat ini, tidak lagi merupakan persoalan tentang legalitas formal, tentang penafsiran pasal-pasal peraturan perundang-undangan secara semestinya, melainkan bergerak ke arah penggunaan hukum sebagai sarana untuk turut membentuk tata kehidupan yang baru tersebut atau sesuai dengan kondisi saat itu.
Dengan kata lain, hukum positif baru akan berlaku secara efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Ketiga. Menurut Eugen Ehrlich hukum akan efektif apabila sesuai dengan hukum yang hidup dalam suatu masyarakat (living law).
Ketika exsisting MUI dipertanyakan, adalah sama dengan menyoal living law. Sesungguhnya menyoal hukum -hukum dasar (agama, adat, tradisi, dan kebiasaan) yang menurut Prof. Muhammad Yamin, Prof. Soepomo, dan Prof. Djoko Sutono yang membentuk norma hukum Pancasila. Hukum positif adalah alat untuk mengekspresikan hukum-hukum dasar tadi.
Tetapi Snouck Hugronje dan Van Vollenhopen menyatakan ada contrario di situ, di mana hukum agama harus lebih dulu diresepsi oleh hukum Adat. Baru belakangan dilawan dengan acontrario oleh sejumlah pakar di Mahkamah Konstitusi. Kini acontrario menguat, pikiran Erhlich yang juga pengacara, beroleh momentum. (*)