COWASJP.COM – ockquote>
Ya, ini cerita sampah. Tapi bukan dalam artian cerita yang “tak berguna.” Cerita sampah dari Kota Suci Makkah dan juga Madinah. Benar-benar cerita soal sampah, hasil produksi manusia. Sebagai pegiat Bank Sampah, salah satu hal yang menjadi keprihatinan saya adalah perihal sampah di dua tempat suci Madinah Al Munawaroh dan Makkah Al Mukaromah itu. Utamanya, sampah produksi para jamaah umroh.
Oleh: Erwan Widyarto
ALHAMDULILLAH selama 8-16 Januari 2017 saya menjadi bagian dari jamaah umroh The Power of Silaturahim. Bersama 35 orang dari sejumlah kota di Indonesia berangkat umroh dengan royalti penjualan buku best seller karya Aqua Dwipayana The Power of Silaturahim. Dalam rombongan ini ada tukang parkir, asisten rumah tangga, takmir masjid, marbot masjid dan sebagainya. Kendati cerita soal anggota rombongan ini menarik untuk diungkap, saya akan bercerita seputar sampah saja. Insya Allah pada tulisan lain saya tuliskan cerita tersebut.
NIAT: Penulis (berdiri nomor 4 dari kiri) bersama rombongan umrah The Power of Silaturahim menjelang miqat di Bir Ali. (FOTO Koleksi ERWAN W/CowasJP)
Siang itu dua anak berkulit hitam itu tampak sigap menyobek-nyobek gulungan panjang plastik di bawah tiang Payung Masjid Nabawi. Orang-orang yang mau ke masjid, mengerubutinya. Mereka mengantre. Satu persatu mendapatkan sobekan plastik dari anak yang dengan sukarela membantu para jamaah. Sobekan plastik itu digunakan untuk tempat sandal atau alas kaki para jamaah ketika memasuki masjid. Hal yang sama terlihat di Masjidil Haram, Makkah Almukaromah.
Saya sempatkan melongok dan mengamati sebentar aktivitas tersebut. Saya geleng-geleng kepala. “Wadhuh, ini produksi sampah plastik yang dilakukan dengan riang gembira,” batin saya. Tapi, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Sepertinya itu kebijakan layanan resmi yang diberikan oleh Kerajaan untuk tamu-tamu Allah ke Tanah Suci.
“Produksi” sampah itu segera nyata terlihat saat para jamaah selesai beraktivitas di dalam masjid. Begitu keluar dari pintu, langsung mengambil sandal dari plastik yang diperoleh tadi dan melemparkan plastiknya ke tong sampah biru yang disediakan di dekat tiang Payung. Para jamaah yang kebanyakan datang ke Tanah Suci dalam rangkaian ibadah umrah-pun melenggang pulang ke hotel.
Kemudian, saat datang waktu salat, mereka datang lagi ke masjid. Mereka mengantre plastik lagi. Saat pulang membuang plastik bekas tempat sandal itu lagi. Begitu seterusnya. Sehari minimal lima kali. Bisa lebih bila jamaah rajin untuk melakukan ibadah tambahan.
Benar bahwa setiap orang adalah produsen sampah. Hitungan BPS, setiap orang Indonesia memproduksi sampah 0,66 kg/hari. Namun, setiap orang sebenarnya bisa berupaya untuk mengurangi sampah yang diproduksinya. Juga bisa untuk mendaur ulang sampah yang diproduksinya.
Guna meminimalkan produksi sampah, maka yang lebih baik dan utama dilakukan adalah mengurangi produksi sampah. Dikenal dengan langkah reduce. Dalam ibadah umroh pun hal itu bisa dilakukan. Salah satunya dengan mengurangi penggunaan plastik untuk tempat sandal atau alas kaki setiap mau masuk ke masjid. Baik di Madinah maupun di Makkah.
Saya mengelus dada setiap mau masuk masjid melihat orang antre berebut plastik dari petugas di depan pintu. Saya tidak sempat menghitung berapa sampah diproduksi oleh jamaah itu setiap hari. Sebenarnya mudah saja. Berapa jumlah jamaah, lalu kalikan berapa kali mereka ke masjid. Jika setiap salat wajib ke masjid, berarti setidaknya lima kali mereka memproduksi sampah plastik untuk tempat sandal mereka.
Jika sehari ada 100 ribu jamaah, dan mereka lima kali ke masjid dan menggunakan plastik tempat sandal lalu membuangnya ke tong sampah saat keluar masjid, maka ada 500 ribu sampah kantong plastik tercipta. Itu sehari. Jika di Madinah empat hari, maka ada dua juta sampah kantong plastik. Dan seterusnya.
Sampah plastik, semua tahu, adalah sampah yang paling sulit diurai. Butuh ratusan ribu tahun untuk membuat sampah plastik terurai dan menyatu dengan tanah. “Lho, plastik yang untuk tempat sandal itu plastic yang ramah lingkungan, hasil daur ulang,” mungkin ada yang berkilah seperti itu.
Ok, kendati itu plastik daur ulang atau plastik yang mudah terurai, untuk memproduksi plastik tersebut tetap butuh beaya yang besar. Butuh materi polymer atau apa pun yang banyak. Sehingga tetap saja aspek produksi tetap besar. Butuh beaya mahal. Sedangkan penggunaannya hanya sebentar. Karena, saya amati sekilas, tak banyak yang menggunakan plastik itu berulang. Hampir semuanya sekali pakai. Begitu keluar dari masjid, sandal diambil, plastik dilempar ke tong sampah yang telah disediakan.
Lalu, apa yang sebenarnya bisa kita lakukan untuk mengurangi produksi sampah seperti itu? Alhamdulillah, saya bisa berusaha untuk mengurangi produksi sampah plastik itu selama ibadah umroh bersama rombongan The Power of Silaturahim ini.
KURANGI SAMPAH PLASTIK: Saya membawa kantong tempat sandal yang terbuat dari kain. (FOTO Erwan W/CowasJP)
Caranya? Saya membawa kantong tempat sandal yang terbuat dari kain. Sehingga saya tidak antre meminta plastik setiap kali mau masuk ke Nabawi maupun Masjidil Haram. Kantong tempat sandal dari kain itu saya gunakan sejak awal hingga selesai umrah. Sehingga saya tidak ikut menambah produksi sampah plastik. Beruntung, istri saya biasa menerima pesanan membuat tas semacam ini seperti bisa dilihat di www.juragantaskertas.blogspot.com.
Seandainya jamaah umroh melakukan hal yang sama, insyaAllah penggunaan plastik untuk tempat sandal akan berkurang. Kita pun bisa ikut untuk menjaga lingkungan di saat menjalankan ibadah umroh.
Barangkali kurang efektif jika saya usulkan setiap jamaah berinisiatif sendiri-sendiri membawa kantong kain untuk tempat sandal. Pasti akan ada yang bilang repot, kurang kerjaan dan sebagainya. Oleh karena itu, agar gerakan menggunakan kantong kain untuk tempat sandal lebih efektif, melalui tulisan ini saya mengusulkan agar para penyelenggara umroh (biro travel umroh) yang menyediakan kantong kain ini. Di kantong bisa diberi logo travel.
Jadi, salah satu layanan yang diberikan kepada jamaah umroh adalah kantong kain untuk tempat sandal. Masing-masing jamaah akan menerima kiriman kantong kain tempat sandal ini bersamaan dengan perlengkapan umroh lainnya seperti kain ihram /mukena, baju seragam batik, buku panduan dan sebagainya. Dengan begitu, masing-masing jamaah punya kantong kain yang bisa digunakan selama umroh. Saat di Masjid Nabawi maupun di Masjidil Haram tidak perlu antre meminta plastik di depan pintu masjid.
Sebenarnya produksi sampah dari jamaah tidak hanya kantong plastik tempat sandal itu. Produksi sampah terbesar adalah sampah organik yakni sisa makanan katering di hotel atau makanan boks yang dibagikan di dalam bus. Bahkan saat makan ini, tidak hanya sampah organik yang diproduksi, tapi juga sampah non-organik seperti tisu, kardus tempat makan, botol plastik bekas tempat minum, sendok plastik dan sebagainya.
Dan sampah-sampah ini –organik dan non-organik—dibuang tercampur. Satu hal yang bertentangan dengan prinsip pengolahan sampah: pemilahan. Saya membayangkan, betapa tempat sampah akan sangat cepat penuh dengan sikap warganya yang seperti ini. Beruntung, Kerajaan Saudi yang kaya raya mampu menangani persoalan sampah ini. Sampah-sampah campur itu setiap pagi langsung diangkut dengan truk sampah. Truk sampah tersebut, yang saya lihat setiap selesai salat Subuh di Masjidil Haram, sudah dilengkapi dengan pengolah sampah.
Sampah yang ada langsung dihancurkan dan dipadatkan. Sepertinya, sampah-sampah dari warga ini diangkut truk menuju tempat pengolahan sampah. Teknologi sudah sangat memungkinkan untuk mengolah sampah ini menjadi energi listrik.
Jauh berbeda dengan negara kita. Soal sampah harus mendapat perhatian warga masyarakat. Metode pengolahan sampah dengan pemilahan harus terus digalakkan. Membuang sampah campur, membuat sampah berbau, kuman dan bakteri bertumbuh dan TPA cepat penuh. Maka, mari olah sampah kita dengan memilahnya. Mau dengan konsep Bank Sampah, sedekah sampah, koperasi sampah dan sebagainya, saya siap membantu. Sila kontak WA saya 0818 262 111 atau email [email protected]. ***