COWASJP.COM – PILKADA DKI JAKARTA dengan tiga kontestan sudah berakhir. Dan karena tidak satu pun kontestan yang berhasil meraih suara di atas 50%, maka pemungutan suara putaran kedua harus diselenggarakan dua bulan ke depan. Satu kontestan – pasangan calon (paslon) Agus Harimurti Yudhoyono-Silviana Murni dengan nomor urut satu – tersingkir. Sedangkan paslon Basuki Tjahaya Purnama-Djarot Saiful Hidayat alias Ahok-Djarot dan paslon Anis Baswedan-Sandiaga Uno, yang masing-masing memiliki nomor urut dua dan tiga, akan bertarung kembali dalam pemungutan suara putaran kedua April nanti.
Sebagai sebuah pesta demokrasi, tak ada yang ganjil dengan semua proses yang sudah dan akan berlangsung. Begitulah aturan main dalam percaturan politik era demokrasi yang sedang kita agung-agungkan dan kita junjung tinggi. Tapi satu-satunya yang ganjil dan menurut hemat kita sangat “worthed” untuk diperbincangkan adalah: isu agama yang disorot para pendukung Ahok. Persoalan yang masih berkaitan dengan putusan Surat Almaidah 51 dalam kitab suci Alqur’an, yang menetapkan agar umat Islam tidak memilih pemimpin kafir alias non-muslim.
BACA JUGA: Terserah Anda Siapa yang Akan Anda Pilih
Menurut mereka, adalah tidak fair menggunakan ayat itu dengan tujuan mengalahkan Ahok yang non-muslim. Adalah tidak fair menggunakan ayat itu untuk membuat capaian suara Ahok-Djarot melorot. Adalah tidak fair menggunakan isu agama untuk menjatuhkan lawan dalam ajang pesta demokrasi di dunia modern seperti sekarang. Karena itu tidak sedikit di antara pendukung Ahok-Djarot – termasuk para Ahokers dari kalangan muslim sendiri – yang mencerca penggunaan ayat itu. Lalu, ketika pemungutan suara selesai, ketika capaian suara paslon nomor urut dua itu masih cukup signifikan, karena masih tertinggi di antara paslon lain, penggunaan ayat itu oleh para aktifis muslim semakin dicibirkan.
Dengan demikian, gerakan umat Islam yang menuntut agar Ahok ditangkap dan dipenjarakan sejak Aksi Bela Islam (ABI) satu, 4 November 2016 lalu, dipandang tak membuahkan hasil. Dengan demikian, semakin dibenci, nama Ahok justru tetap melambung. Semakin dicerca, capaian suara Ahok-Djarot tetap tidak tertandingi. Semakin diganyang dengan menggunakan Surat Almaidah 51, toh tidak sedikit pemilih muslim yang tetap menjatuhkan pilihannya kepada Ahok-Djarot.
Demikianlah kenyataan yang ada di lapangan. Kita tidak usah bicara tentang isu permainan curang yang merebak di sana-sini. Biarkanlah hal itu jadi urusan pihak yang berkompeten menanganinya. Kita tidak usah bicara tentang sikap penegak hukum yang tidak juga menangkap dan menahan Ahok, walaupun sudah berstatus tersangka dan betapa pun besarnya desakan dari kalangan ulama maupun umat Islam.
Sebagai bagian dari mereka yang mendukung tegaknya demokrasi, baiklah kita ikuti saja proses yang akan berlangsung. Tunggu saja apa hasilnya dalam pemungutan suara putaran kedua April nanti, yang akan mempertemukan Ahok-Djarot dan Anis-Sandi. Satu-satunya harapan kita adalah – dan ini mungkin hanyalah merupakan bagian dari doa-doa kita – agar pesta demokrasi ini berjalan sesuai aturan, dijauhkan dari permainan curang, dijauhkan dari tindakan-tindakan culas berupa bujuk-rayu maupun intimidasi, dijauhkan dari mereka yang cuap-cuap soal demokrasi tapi dalam tindakannya justru menodai demokrasi, dan seterusnya….dan seterusnya.
***
Bangkitnya Nasionalisme Tionghoa
Dengan berakhirnya penyelenggaraan Pilkada serentak 15 Februari 2017 lalu, terutama Pilkada DKI Jakarta yang banyak disorot, kita sudah bisa melihat kekuatan masing-masing paslon yang menjadi kontestan. Persoalannya, apakah kita hanya akan melihat persentase perolehan masing-masing paslon? Kenapa kita tidak melihat juga dengan jeli perolehan suara masing-masing paslon di tiap-tiap TPS, dilihat dari etnisitas pemilih, agama pemilih dan semacamnya? Dengan demikian, kita dapat merinci siapa saja yang mendukung masing-masing paslon sehubungan dengan Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA) kelompok masyarakat pemilih.
Dengan begitu kita dapat mengambil kesimpulan: Pertama, apakah seluruh pemilih muslim itu menjatuhkan pilihannya terhadap paslon yang muslim juga, sesuai seruan ulama dan terkait ketentuan Surat Almaidah 51 atau tidak? Kedua, bagaimana sikap para pemilih non-muslim? Apakah cukup banyak di antara mereka yang menjatuhkan pilihannya terhadap paslon muslim atau sebaliknya justru memilih Ahok-Djarot, karena mereka masih terikat nepotisme karena seiman dan sesama etnis dengan Ahok misalnya?
Dalam hal ini, adalah menarik membaca sebuah tulisan yang konon berasal dari putera bungsu mantan Presiden Soeharto, yaitu Hutomo Manda Putera alias Tomy Soeharto. Silahkan klik di link berikut: http://www.zonasatu.com/2017/02/17/tommy-soeharto-hasil-pilkada-kemaren-bukti-nasionalisme-tionghoa-bangkit/
Untuk ringkasnya, silahkan baca tulisan yang dimaksud seperti di dalam box berikut ini:
Tommy Soeharto (Foto: majalah FORUM keadilan)
Hampir bulatnya suara etnis Tionghoa yang mendukung Ahok pada Pilkada DKI 2017 menunjukkan bahwa etnis Tionghoa memilih berdasarkan kesamaan etnis, mereka tetap solid mendukung politisi beretnis Tionghoa.
Pendulangan suara di daerah Pluit, Kelapa Gading, Jelambar, dan daerah pemukiman tionghoa lainnya, dimana Ahok memperoleh kemenangan suara hampir bulat yaitu di atas 95 persen adalah bukti bahwa etnis Tionghoa sebagai kelompok menunjukkan kekuatan mereka.
Secara nyata mereka tetap memilih Ahok yang sedang dirundung banyak persoalan.
Pribumi selama ini dianggap sebagai kelompok masyarakat yang suka mengungkit ngungkit SARA, namun kenyataannya tudingan itu tidak terbukti, di daerah-daerah pemukiman pribumi asli, Ahok tetap mendulang suara yang signifikan. Saya merasa prihatin dengan kondisi negara kita saat ini.
Etnis Tionghoa yang selama ini selalu berteriak-teriak tentang Bhinneka Tunggal Ika kenyataannya justru telah terbukti memilih seorang pemimpin bukan atas dasar kebhinnekaan. Ini adalah sebuah bentuk penghianatan dan penipuan terhadap bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia atau pribumi harus membuka mata bahwa nasionalisme Tionghoa di Indonesia telah bangkit menjadi sebuah kekuatan, dan Patriotisme Tionghoa bisa menular ke banyak orang Tionghoa lainnya yang selama ini sudah memiliki rasa nasionalisme Indonesia.
Nasionalisme Tionghoa ini bisa mengancam demokrasi dan mengancam nasib pribumi kedepannya.
Pribumi harus sadar dan bersatu tanpa membeda-bedakan suku dan agama.
Ditulis oleh: Tommy Soeharto
Tentu saja harus diakui bahwa tulisan dalam link di atas belum tentu valid ditulis oleh Tommy Soeharto, meskipun sudah viral di media sosial. Begitu juga harus diakui bahwa kebenaran informasi yang tertuang di dalamnya belum terverifikasi. Artinya, bisa jadi benar bisa jadi juga tidak. Tapi bila kita mau berpikir, dengan mendapatkan informasi seperti ini, setidaknya kita bisa mengasah nalar kita masing-masing.
Cobalah anda ajukan pertanyaan kepada diri anda sendiri. Pertama, kemana kira-kira larinya mayoritas suara pemilih Tionghoa dalam Pilkada DKI Jakarta yang baru lalu? Cocokkan dengan perolehan suara Ahok-Djarot di kantong-kantong suara pemilih dari etnis Tionghoa maupun TPS-TPS yang mayoritas pemilihnya non-muslim.
Kedua, apakah tidak mungkin mayoritas suara pemilih non-muslim – tidak hanya dari kalangan Kristen/Katholik, tapi juga Hindu, Budha dan lain-lain – juga lari ke paslon Ahok-Djarot? Apalagi setelah begitu digembar-gemborkannya persoalan Surat Almaidah 51, yang membuat Ahok jadi tersangka penista agama.
Ketiga, apakah mereka yang selama ini menentang penggunaan isu agama dalam politik justru dalam prakteknya mereka menjadikan agama sebagai patokan untuk memilih paslon pemimpin DKI Jakarta untuk lima tahun ke depan? Harus kita katakana bahwa ini juga tidak fair. Tapi yang pasti dan sudah terbukti di banyak tempat, adalah mustahil dan kecil kemungkinannya pemilih yang non-muslim akan memilih Agus-Silvy atau Anis-Sandi, ketimbang Ahok-Djarot.
Keempat, apakah tidak mungkin isu SARA bukannya mampu membuat suara lawan-lawan Ahok meroket, sebaliknya justru dimanfaatkan untuk melawannya, dengan artian suara mayoritas non-pribumi dan non-muslim justru lari ke Ahok-Djarot dari pada ke Agus-Silvy atau Anis-Sandi?
Kelima, apakah nalar anda bisa membenarkan bahwa isu SARA itu telah membuat para pemilih non-muslim bersatu, sehingga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada paslon yang non-muslim dan non-pribumi?
***
Ibarat Makan Buah Simalakama
Isu SARA buat umat Islam sudah ibarat memakan buah simalakama, di makan bapak mati, tidak dimakan ibu mati. Bagi kalangan non-muslim dan non-pribumi, tidak bisa dimungkiri isu ini telah menjadi pemersatu. Sementara kalangan muslim yang mayoritas masih terpecah-belah karena satu dan lain hal, sehingga tidak sedikit pula yang masih mengabaikan seruan para ulama untuk memilih pemimpin muslim, sesuai yang diperintahkan Allah Swt. dalam Surat Almaidah 51.
Meski demikian, bagi para aktifis muslim tentunya jangan berkecil hati. Ini bukanlah akhir dari segala-galanya. Perjalanan dakwah kita masih panjang dan berliku. Di setiap kelok dan liku itu agama kita sudah memberikan arahan. Di situ ada cobaan dan rintangan. Di situ tersebar begitu banyak onak dan duri. Tapi bila anda tetap berpegang di jalan-Nya, buah yang akan dapat anda petik masih cukup banyak.
Janji Allah dalam kitab suci Alqur’an: “man ya’mal mitsqala zarratin khairan yarah, wa man ya’mal mitsqala zarratin syarran yarah” (Siapa pun yang berbuat kebaikan walau sebesar biji zarah, dia akan melihat imbalannya. Dan siapa yang berbuat kejahatan kejahatan walau sebesar biji zarah, dia akan melihat hukuman balasannya).
Jangan menganggap ini adalah akhir dari segalanya, tapi anggaplah bahwa perjuangan kita baru dimulai. Selamat menyongsong pilkada putaran kedua!