COWASJP.COM – ALHAMDULILLAH anak saya yang kedua (Fika) sudah lulus dari Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kakaknya (Bela) lulus tahun lalu, sekarang kerja di RSCM Jakarta. Bapaknya (saya sendiri) masih pengangguran. Setelah pensiun dari JAWA POS, saya berbisnis, tapi bisnisan saya semua hancur, bangkrut dan gulung tikar. He he...
Demikian ungkapan sahabat kita sesama CowasJP , Saudara H. Khariri Mahmud, ketika memposting foto saat anak keduanya, Fika, diwisuda setelah menyelesaikan pendidikannya pada Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Senin (20/2/2017).
Sebagai sesama “alumni JP”, tak ada kata yang dapat kita ucapkan kecuali ikut merasakan kebanggaan Pak Kaji Khariri. Kita teman-teman lamanya, tentu saja, ikut bangga. Ikut berbahagia atas pencapaian itu. Apalagi ini anak kedua, setelah sebelumnya anaknya yang pertama juga lulus dari fakultas kedokteran dari almamater yang sama.
Postingan Khariri mendapatkan sambutan yang luar biasa. Begitu banyak yang memberikan ucapan selamat. Termasuk dari teman-teman CowasJP . Teman-teman yang, saya kira, faham betul betapa sulitnya membesarkan dan memberikan pendidikan terbaik buat anak-anak, terutama ketika kita masih menjadi “prajurit di kawah candra dimuka JP” tempo dulu. Ketika angan-angan lebih banyak hanyut terbawa ke dalam mimpi.
Membaca postingan Khariri di atas itu, hati saya terasa campur aduk tidak karuan. Kalimat-kalimat awal itu begitu menggembirakan dan membanggakan. Tapi kalimat penutupnya membuat hati saya nelangsa. Meskipun tidak pernah bertemu muka lagi lebih dari 25 tahun, setelah Khariri memutuskan pulang ke Malang, tapi dari teman-teman saya masih sering mendengar cerita tentang dia. Sahabat kita, yang menurut saya, begitu ulet menghadapi dahsyatnya terjangan ombak kehidupan.
Kenangan di Kantor Prapanca Jakarta
Saya kenal Khariri ketika dia masih menduduki biro JP di Riyadh, Arab Saudi, tahun 1990 atau 1991. Saya tidak ingat lagi persisnya. Waktu itu, saya bersama Zarmansyah, Irawan Nugroho, dan Sudrajat adalah staf redaksi JP desk internasional di kantor perwakilan JP, Jl. Prapanca, Jakarta. Kamilah yang selalu menerima laporan Khariri dari Arab Saudi.
Karena itu kamilah yang mafhum betul betapa sulitnya menggali berita yang “bagus”, apalagi bagus menurut selera JP, di negara yang begitu tertutup seperti Arab Saudi. Karenanya alasan pembukaan Biro Arab Saudi rasanya sulit dimengerti bagi sementara kami. Apakah untuk mendapatkan informasi tangan pertama dari TKI/TKW yang terancam hukuman pancung, padahal tidak setiap hari ada yang akan menjalani hukuman pancung? Kalau mau memberitakan gemuruh penyelenggaraan haji, itu kan hanya setahun sekali. Penyelenggaraan umroh juga belum sesemarak sekarang.
Sebagai kuli, walaupun sudah disebut kuli disket di era itu, kita hanya “sami’an wa atha’na” atas keputusan redaksi di Surabaya. Satu-satunya yang membanggakan dan membuat semangat kita tetap terpelihara adalah bahwa JP adalah sebuah media massa yang sudah berpikir global.
Pak Dahlan sebagai pucuk pimpinan tertinggi sudah punya angan-angan yang jauh melampaui zamannya. Di zaman itu, beliau sudah berpikir bagaimana mengikuti trend persuratkabaran di Amerika. Menurut informasi dari obrolan teman-teman yang ngalor-ngidul sambil ngopi-ngopi di teras kantor Prapanca waktu itu, JP sudah curi start melakukan cetak jarak jauh, meskipun menurut aturannya belum dibolehkan.
H. Khariri Mahmud (kiri),Fika dan beserta isteri. (Foto: CoWasJP)
Kenangan-kenangan itu begitu indah terpatri di benak kita sesama CowasJP. Tentunya, bagi kawan-kawan yang pernah merasakan suasana di kantor Prapanca era itu. Di antara begitu banyak kenangan adalah kenangan ketika Khariri kemudian harus pulang, lalu bertugas untuk beberapa waktu di biro Jakarta.
Rasanya tidak begitu lama, Khariri memutuskan balik kandang ke Malang. Entah dia kecewa dengan situasi yang ada, situasi yang dia hadapi setelah bertugas di luar negeri, tentu sahabat kita itu sendiri yang bisa menjelaskannya. Tapi yang kita tahu, tidak berapa tahun kemudian, dia pun sudah mengundurkan diri dari JP.
Pertarungan Hidup di Jakarta
Ketika tahun demi tahun berlalu dan kita tersandera oleh kehidupan kita masing-masing, mungkin sekitar 5 atau 6 tahun yang lalu, saya dapat kabar kalau Khariri tinggal dan membangun warung bakso di Ciputat. Saya tidak tahu persis juga apakah informasi itu valid. Tapi yang jelas, begitulah kabar yang sampai ke telinga saya. Dia memutuskan menjalani bisnis itu karena anaknya diterima kuliah di UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta.
Seperti yang diungkapkan Khariri dalam postingannya tadi pagi, saya juga mendengar bagaimana dia jatuh bangun membangun bisnisnya sendiri di Ciputat. Bukan hanya sekali, tapi beberapa kali saya mendapat kabar soal pertarungan Khariri di Ciputat yang begitu berat.
Kemaren saya membaca tulisan Pak Kusnan Soekandar di CowasJP , soal sulitnya mencarikan jodoh buat Joko Susilo. Banyak informasi baru. Ada yang lucu, ada juga menginspirasi mengingat semangat seorang Joko Susilo. Sahabat kita yang sudah almarhum, yang buat saya adalah sahabat yang cukup dekat. Di hari-hari terakhir sebagai Dubes di Inggeris, sayalah yang dia minta datang ke Singapura, untuk membicarakan pembangunan pabrik pengolahan batu bara rendah kalori menjadi energy listrik, solar dan sebagainya. Saat itu, dia masih berpikir akan dapat berbuat sesuatu untuk kesejahteraan teman-teman Cowas JP, jika rencana itu bisa jadi kenyataan.
Terlepas dari itu semua, sebagai makhluq kita hanya mampu merencanakan, tapi keputusannya tetap di tangan Allah.
Bagi saya, perjalanan hidup Joko Susilo sebagai salah seorang CowasJP begitu membanggakan. Begitu menginspirasi karena kesuksesan demi kesuksesan yang berhasil dia gapai. Sedangkan perjalanan hidup seorang Khariri Mahmud sepatutnya juga membanggakan dan menginspirasi. Betapa pun sulitnya, toh kesulitan itu akan selalu ada ujungnya. Hidup tak ubahnya seperti roda pedati yang terus berputar. Sekali di atas, sekali di bawah.
Karenanya ketika mengomentari postingan Khariri, saya teringat sebuah ayat suci Alqur’an: “fabiayyiala-i rabbikuma tukazziban” (baca: nikmat Tuhanmu yang manakah yang patut engkau dustakan). Saya ingin menekankan, betapa pun sulitnya hidup, kita tidak pernah dapat menghitung betapa besarnya nikmat Tuhan.
Saya berharap dan berdoa, semoga sahabat kita Khariri Mahmud selalu sehat wal afiat dan mulai sekarang hendaknya dapat menikmati kebahagiaan yang barangkali di antara kita tidak dapat menikmatinya. Saya acungkan dua jempol buat sahabatku Haji Khariri Mahmud! (*)