COWASJP.COM – SUATU malam bulan lalu, di satu bagian apartemen di kawasan Nasr City, Kairo, Mesir, lamat-lamat terdengar sebuah syi’ir yang biasa terdengar di langgar-langgar desa dan pondok-pondok pesantren di Jawa. Syi’ir berbahasa Jawa ngoko itu antara lain seperti berikut:
Eling-eling menungso ojo lali
Kabeh wong urip bakal mati
Yen wis mati dikubur diurugi
Ono ing kubur ijen diapit bumi
Ono kubur iku okeh penggoda
Ulo kelabang kalajengking podo moro
Ono setan mendo-mendo wong tuwo
Marahi mayit supaya ciloko
……
Iki ceritane dino kiamat
Kabeh wong urip bakal sambat
Bumi gonjang ganjing tondo ora kuwat
Saking akehe dosane poro umat….
Apa tidak salah dengar? Bukankah itu Syi’ir Dino Kiamat yang biasa dinyanyikan para santri di pondok dan langgar-langgar? Ada satu penelitian yang menyebutkan, syi’ir atau puji-pujian kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW makin menghilang dari langgar di desa-desa di suatu daerah di Jawa Timur.
Tetapi ini di Kairo malah terdengar alunan syi’ir.
Kiai Asep Saifuddin memberi motivasi para santri Amanatul Ummah di Kairo. (Foto: Djoko Pitono/CoWasJP)
Tidak ada yang salah dengar. Syi’ir itu memang disenandungkan oleh Nuril Alfi Romadhoni, mahasiswa Universitas Al Azhar, Kairo, yang juga alumni Ponpes Unggulan Amanatul Ummah. Ia diminta menyanyikan syi’ir itu oleh Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA., pengasuh pondok, yang baru tiba di Kairo, setelah penerbangan dari Jakarta via Abu Dhabi. Selain mengantarkan salah satu putrinya yang mulai masuk kuliah di Al Azhar, Kiai Asep juga ingin memberikan motivasi kepada para santri yang kini belajar di Kairo.
“Dulu waktu di pondok, Pak Kiai sudah biasa meminta para santrinya untuk menyanyikan syi’ir seperti itu. Kemudian menunjuk satu-persatu. Lha, sekarang beliau meminta saya menyanyikannya. Iya, beliau rupanya ingin memastikan apa saya masih bisa menyanyikannya,” kata Nuril Alfi.
Kedatangan Kiai Asep di Kairo, yang didampingi Ibu Nyai Fadilah, disambut oleh puluhan santri alumni Ponpes Amanatul Ummah. Di depan para santri, Kiai Asep pun mewanti-wanti mereka untuk selalu belajar keras untuk meraih prestasi setinggi-tingginya.
Masjid Al Azhar sedang dalam masa renovasi. (Foto: Djoko Pitono/CoWasJP)
“Ingat, jangan sampai meninggalkan salat, termasuk salat malam. Jangan malas bershalawat. Kalau sampai terjadi, kalian akan gagal. Ingat, akan gagal! Jangan sampai mengecewakan orangtua. Tanah Air kalian juga sangat mengharapkan keberhasilan kalian semua. Kaum muslimin harus punya power. Hanya dengan power, kalian bisa memperbaiki negeri kalian, memakmurkan rakyat yang masih melarat,” kata Kiai Asep.
Pekan berikutnya di Rabat, Maroko, Kiai Asep juga bertemu sejumlah santri alumni Ponpes Amanatul Ummah, yang menempuh studi di beberapa universitas di Negeri Magribi tersebut. Salah seorang putra Kiai Asep, Muhammad Ilyas, sedang menempuh studi S-2 di Universitas Cadi Ayyad di Kota Marrakesh. Anak muda yang energik itu juga membuka sebuah restoran ala Indonesia di Rabat, ibukota Maroko.
Kiai yang Gigih dan Ulet
Bagi banyak orang yang mengenalnya, Kiai Asep Saifuddin Chalim adalah kiai yang memang fenomenal. Kiai yang kini berusia 61 tahun ini terkenal gigih dan ulet.
Kalau melihat Ponpes Amanatul Ummah yang berlokasi di Surabaya dan Pacet, Mojokerto, banyak orang pasti heran. Terutama yang berlokasi di Desa Kembangbelor dan Desa Bendungan Jati, Pacet, Mojokerto.
Bagaimana Kiai Asep membangun pondok megah, sekolah unggulan, dan universitas kurang dari 10 tahun? Darimana uangnya? Belum lagi sekolah gratis Hikmatul Amanah di Desa Bendungan Jati bagi 1.000 anak dari sekitar desa itu? Belum lagi ratusan beasiswa yang diberikan setiap tahunnya kepada kader-kader NU. Kiai Asep juga menghidupkan kembali Persatuan Guru Nahdladul Ulama (Pergunu) sebagai Badan Otonom (Banom) NU yang puluhan tahun mati suri dan memberikan beasiswa pula kepada para guru anggotanya.
Kia Asep dan Ibu Nyai Fadilah berpose di Piramid Giza. (Foto: Djoko Pitono/CoWasJP)
Syahdan, dalam sebuah kisah, abah Kiai Asep adalah KH Abdul Chalim, salah satu dari delapan Kiai Pendiri Jamiyah Nahdlatul Ulama (NU). Kiai Chalim mempunyai peran sangat penting dalam sejarah berdirinya NU. Beliaulah yang menyurati kiai-kiai terkemuka se Jawa dan Madura dalam pembentukan Komite Hijaz, yang kemudian mendirikan Jamiyah NU. Kiai Chalim pula yang membuat surat Komite Hijaz yang dibawa KH Wahab Hasbullah dan Syekh Ahmad Ghonain Al Misri selaku wakil Komite Hijaz untuk Raja Abdul Aziz bin Abdurahman Al Suud akhirnya diterima baik.
Raja Abdul Aziz menyetujui permohonan Komite Hijaz agar kaum muslimin yang beribadah di Tanah Suci Mekkah (dan Madinah) bebas menjalankan ibadahnya dalam empat madzhab yakni Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali. Pemerintah Kerajaan Saudi juga tetap menghormati tradisi keagamaan yang berlaku di sana seperti berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW.
Setelah kemerdekaan RI, Kiai Chalim yang berjiwa nasionalis aktif berpolitik dan ikut memperjuangkan NU tapi hidupnya sangat sederhana. Begitu sederhananya, selain sibuknya, beliau tidak dapat mendirikan pondok. Suatu hari, saat dijenguk oleh KH Abdul Wahab, beliau diingatkan bahwa beliau adalah satu-satunya pendiri NU yang tidak punya pondok. Nah, pada saat itulah Kiai Chalim mengatakan kepada KH Wahab: “Nanti (salah satu) anak saya akan mempunyai pondok yang besar.”
Subhanallah. Itulah karomah Kiai Abdul Chalim. Kiai Asep Saifuddin, putra bungsu Kiai Chalim, sekarang mengasuh Ponpes Amanatul Ummah. Sebuah pondok dengan lebih dari 7.000 santri, termasuk universitas yang memiliki puluhan mahasiswa asing. Jumlah guru dan dosennya sekitar 800 orang.
Tetapi jelas, berkah yang diterima Kiai Asep tidak jatuh begitu saja dari langit. Prosesnya cukup lama bila dihitung dari “zaman lara lapa” alias sulitnya kehidupan Kiai Asep mulai kecil.
Meskipun putra ulama terkemuka, namun sejak lama si kecil Asep telah terbiasa mandiri. Setelah lulus SD di Majalengka, Jawa Barat, dia dipondokkan ayahnya di Ponpes Al Khozini,Buduran, Sidoarjo. Paginya dia bersekolah di SMP Negeri 1 Sidoarjo.
Kiai Asep (ke empat dari kiri) diterima Takmir Masjid Al Azhar. (Foto: Djoko Pitono/CoWasJP)
Ada banyak kisah teman-temannya semasa di pondok, antara lain cerita bagaimana Asep adalah “santri paling melarat” di pondok. Sering Asep makannya “nunut” alias nimbrung teman-temannya yang sedang makan.
Lulus SMP, Asep tidak melanjutkan ke SMA dan hanya belajar di pondok. Setelah lulus dari pondok, dengan surat keterangan dari kiainya, Asep melanjutkan studi di Jurusan Bahasa Arab, Fakultas Adab, IAIN Surabaya (sekarang Universitas Islam Sunan Ampel Surabaya). Belum lulus sarjana muda, dia mendaftar kuliah Program D3 Bahasa Inggris di IKIP Surabaya (sekarang Unesa) dengan ijazah persamaan SMA.
Selesai D3, Asep pun jadi guru negeri di SMA Negeri 2 Lamongan, yang dijalaninya 7 tahun dari rumah kontrakannya di Siwalankerto, Surabaya. Di sela-sela waktu kerjanya, dia lanjutkan studinya di program sarjana pendidikan Bahasa Inggris di IKIP Malang. Di waktu lainnya kemudian, Kiai Asep juga menyelesaikan studi S2 di Unisma Malang dan S3 di Unmer Malang.
Jalan yang berliku-liku dijalaninya, termasuk menjadi kepala sekolah SMP swasta, membesarkannya tapi kemudian disingkirkan. Dia pernah menjadi anggota pengurus PC NU Surabaya, sebelum jadi ketuanya. Pernah pula jadi ketua MUI Surabaya, juga menjadi anggota DPRD Surabaya dari PKB. Dia mundur dari jabatan ini setelah 4 bulan karena suara hatinya lebih cocok pada dunia pendidikan. Statusnya kemudian malah naik menjadi dosen UINSA setelah melimpah ke perguruan tinggi tersebut.
Nasib baik mulai menyapanya setelah mendirikan biro perjalanan haji dan umroh (KBIH) Amanatul Ummah. Dia mencari sendiri calon-calon jemaah haji untuk dibimbing. “Saya pernah membimbing haji satu kloter. Saya cari sendiri ketika itu, paro kedua 1990-an,” kata Kiai Asep. “Dengan uang hasil kerja itu, saya mulai bisa membangun Pondok Amanatul Ummah,” tambahnya.(*)