COWASJP.COM – Namanya Alvian Iqbal Zahasfan. Anak muda ganteng ini adalah kandidat doktor di Dar El Hadith El Hassania, Universitas Al-Qarawiyin, Rabat Maroko.
Malam itu di Rabat, dia ikut menyambut kedatangan Dr KH Asep Saifuddin Chalim MA, Pengasuh Ponpes Amanatul Ummah. Dengan khusuk ia mendengarkan tausyiah Kiai Asep kepada para santri alumni Amanatul Ummah. Kebetulan Alvian adalah teman dekat Muhammad Ilyas, putra Kiai Asep yang sedang menempuh studi S2 di Maroko.
BACA JUGA: Membangun Pondok Megah, Menyebar Ratusan Beasiswa
Usai acara tersebut, Alvian termangu-mangu. Dia mengatakan, dirinya merasa beruntung malam itu ikut menyambut Kiai Asep. “ Nasihat-nasihat Kiai Asep di malam musim dingin itu sungguh menghangatkan jasad-jasad kami. Nasihatnya bukan sekedar retorika dan teori namun kristalisasi dari laku sehari-hari yang senantiasa beliau istiqomahi,” kata Alvian.
Foto-foto: Djoko Pitono/CoWasJP
Menurut Alvian, bagi Kiai Asep, teori sukses sangat sederhana, yang tak sesederhana praktiknya. Sukses dapat diraih dengan akhlakul karimah. Kiai Asep membahasakan akhlakul karimah dengan “Piawai berkomunikasi”. Sedangkan kepiawaian berkomunikasi ada dua (ditinjau dari objeknya): Pertama, piawai berkomunikasi dengan Allah. Kedua, piawai berkomunikasi dengan manusia. “Beliau tegaskan siapa yang piawai berkomunikasi dengan Allah dan manusia pasti hidupnya sukses dan berkah, sebab hidup itu pola berkomunikasi,” kata Alvian.
Kepiawaian berkomunikasi dengan Allah, kata Alvian pula, ditandai dengan Salat Malam dan Salat Duha. Tentu salat lima waktu dijalankan dengan istiqomah dan tepat waktu, syukur-syukur disempurnakan dengan Salat Rawatib. “Menurut Kyai Asep inilah buah ilmu. Artinya ilmu itu ibarat pohon, sedangkan buahnya adalah amal ibadah. Oleh karenanya siapa yang pintar dan punya ilmu banyak sedangkan ibadahnya bolong-bolong dan tidak istiqamah itu sama saja dengan pohon yang tak berbuah, ini persis dengan adagium populer di pesantren;Al-ilmu bila amalin kassyajari bila tsamarin,” kata Alvian pula.
Alvian pun mencatat bahwa bagi Kiai Asep, Salat Malam itu memiliki beberapa manfaat, di antaranya menjadi ‘jimat’ orang mukmin (shalatul lail azimatul mukmin). Orang yang senantiasa salat malam akan menjadi mukmin yang “kuat dan sakti.”
Kedua, shalat terafdhal setelah shalat lima waktu (Afdhalus Shalati ba’dal maktubah shalatul lail).
Ketiga, diterimanya istighfar kita. Jika istighfar kita diterima Allah berarti doa-doa kita mustajab.
Keempat, menjaga kita terjerumus dari kemaksiatan. Jalan kehidupan di dunia ini sempit,di sana-siniranjau dan duri kehidupan.
Kelima, pengusir penyakit (Mathradah lidda’ anil jasad). Dalam hadis sahih riwayat At-Tirmidzi dari Sahabat Bilal disebutkan Alaikum bi qiyamil laili fainnahu da’bus shalihin qablakum, wa qurbatun ilallah ta’ala, wa manhatun ‘anil itsmi, wa takfirun lis sayyiat wa mathradathun lid da’ anil jasad “Hendaklah kalian mendirikan shalat malam karena sejatinya itu merupakan kebiasaan orang-orang shalih sebelummu, media pedekate kepada Allah Ta’ala, pencegah perbuatan dosa, pelebur keburukan-keburukan dan pengusir penyakit dari badan”. Kiai Asep menjelaskan bahwa menurut pakar-pakar medis, tubuh kita setiap malam meneteskan cairan, dan cairan itu bisa diusir dan disembuhkan dengan shalat malam, salah satunya melalui gerakan sujud. Subhanallah.
Keenam, maqamam mahmuda ‘Tempat yang terpuji’. Ini sudah jelas dan sudah diterangkan dalam Al-Isra’ 79; Waminal laili fatahajjad bihi nafilatal laka asa an yab’asaka rabbuka maqaman mahmuda,“Dan pada sebagian malam tahajudlah kamu sebagai ibadah sunnah untukmu, mudah-mudahan Rabbmu membangkitkanmu pada tempat yang terpuji”. Ada ulama yang menafsiri tempat yang terpuji ini dengan syafa’at. Jadi siapa yang ingin nanti dibangkitkan di tempat yang terhormat dan mendapatkan syafaat maka hendaklah tahajud.
Ketujuh, hidup yang barokah. Orang yang istiqamah shalat tahajud hidupnya dipenuhi dengan keberkahan. Apa itu barokah? Kiai Asep membahasakannya dengan ‘Sedikit-lebih’. Dicontohkannya beberapa Syekh Al-Azhar yang pernah ngajar di Pesantren Amanatul Ummah gajinya di Mesir perbulan ada yang Rp 1,6 juta dan ada juga yang Rp 3 juta. Padahal mereka mempunyai anak, tetapi kehidupan mereka terhormat, bajunya gagah, anak-anaknya sekolah semua.
Sebaliknya, di Indonesia ada bos-bos Korea yang perminggu gajinya menyakitkan Bangsa Indonesia, gajinya puluhan juta, tetapi habis di akhir pekan, week-end melayap berhura-hura, hari Senin kembali kerja, demikian seterusnya, mereka tidak punya apa-apa meskipun gajinya menyakitkan Bangsa Indonesia. Hidupnya tidak barokah.
Kedelapan, selamat dari amal shalehnya. Karena setiap amal baik yang kita lakukan ada saja orang yang tidak menyukainya. Rasulullah bersabda istainu ala qadai hawaijikum bil kitman fa inna kulla dzi ni’matin mahsud “Minta tolonglah dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaanmu dengan merahasiakannya karena setiap orang yang memiliki nikmat ada yang iri” (HR. Al-Baihaqi dan At-Thabarani).
Selain salat malam, salat Duha juga merupakan salah satu bentuk komunikasi yang baik dengan Allah. Kiai Asep menyarankan kita untuk sementara empat rakaat saja setiap waktu Duha, jika sudah istiqamah bisa ditingkatkan.
Manfaat salat Duha banyak. Di antaranya kemantapan dalam menyongsong dinamika persoalan-persoalan kehidupan dunia. Kiai Asep selalu mantab dan yakin dapat menghadapi sepelik apa pun urusan dunia setelah mendirikan shalat Duha, karena beliau sudah menyerahkan urusannya kepada Allah Sang Pengatur Rejeki para hamba-hambanya. Hal ini senada dengan Hadis Qudsi; Rasulullah bersabda bahwa Allah berfirman Yabna adam la ta’jiz an arbai rakaatin min awwalin nahari akfika akhirahu “Wahai anak cucu Adam jangan kau lemah mendirikan shalat empat rakaat pada awal hari, niscaya Aku akan mencukupi akhir hari”. (HR. At-Tirmidzi)
Kunci kedua sukses adalah piawai berkomunikasi dengan manusia. Kepiawaian di sini mewujud dalam sopan santun dan rendah hati bukan rendah diri. Di samping itu Kiai Asep juga berpesan: “Jangan malas! Jangan bilang: ‘Saya tidak bisa’! Jangan takut! Jangan pengecut! Jangan bakhil! Jangan ragu untuk bertakwa kepada Allah! Wa man yattaqillaha yaj’al lahu makhroja wa yarzuqhu min haisu la yahtasib, wa man yatawakkal alallah fahuwa hasbuh(At-Talaq 2-3)”.
Walhasil, Alvian pun mencatat pesan khusus Kiai Asep kepada para santrinya yang menuntut ilmu di Maroko dengan fokus taammuq fil ilm dan akhlaqul karimah seperti konsep yang telah dijelaskan di atas. Jika sudah keduanya itu dijalankan maka tidak usah khawatir akan masa depan. Bolehlah kalian sesekali memikirkan masa depan, namun dengan fokus kepada dua hal tadi maka masa depan akan ikut, kata Kiai Asep.
Alvian pun mengatakan sangat terkesan dengan tausyiah Kiai Asep di Rabat, Maroko, malam itu.
Kebiasaan Bersyair-Syair
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, begitu kata sebuah pepatah. Orang mengenal KH Abdul Chalim adalah seorang ulama terkemuka yang senang dan ahli dalam menyanyikan kidung-kidung Sunda.
Beliau memang biasa bersyair-syair sejak muda. Darah seni Kiai Abdul Chalim tersebut ternyata menurun kepada putranya, Kiai Asep. Dan dalam menegakkan kebiasaan salat malam, Kiai Asep menggunakan syair-syair yang dinyanyikan oleh para santrinya.
Mungkin ada yang mempertanyakan hal ini. Tetapi KH A. Mustofa Bisri, kiai terkemuka dari Rembang, dengan tegas menyatakan bahwa bersyair-syair merupakan salah satu tradisi Pesantren. Atau katakanlah secara khusus, tradisi para kiai dan ulama. Meskipun umumnya bersyair-syair hanyalah ‘selingan’, inilah tradisi warisan para pendahulu mereka.
Menurut Kiai Mustofa Bisri, Rasulullah SAW sendiri meskipun bukan penyair, tidak pernah diajari bersyair, dan memang menurut Allah tidak layak bersyair, (Q,36:69), dalam kehidupannya sangat akrab dengan syair-bersyair, karena pada masa itu syair memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Arab. Para penentang Nabi SAW menggunakan syair untuk menyerangnya dan menyerang kaum mukminin.
Para penyair mukminin seperti Hisaan Ibn Tsaabit, Abdullah Ibn Rawahah dan sebagianya, diizinkan Rasulullah SAW untuk melawannya dengan bersyair pula. Rasulullah mendengarkan orang bersyair dan memuji syair yang baik, bahkan pernah Rasulullah SAW secara spontan menghadiahkan burdah, sejenis pakaian hangat yang dipakainya kepada Ka’ab ibn Zuhair begitu penyair kenamaan ini selesai membacakan syair-syair Baanat Su’aad-nya yang terkenal isu.
Eksistensi syair-bersyair di Pesantren tak hanya itu. KH Mustofa Bisri bahkan menyebutkan, hampir semua ulama besar bisa atau pernah, atau paling tidak mengerti, syair. Banyak kitab-kitab “pelajaran agama” dan bahasa Arab yang –kemudian banyak dipakai di Pesantren dan terkenal dengan Kitab Kuning – sengaja ditulis dengan sistem syair, seperti Az-Zubad, al-Faraid al Bahiyyah, al-Khulaasshah (yang lebih dikenal dengan Al-fiyah Ibnu Malik), dan sebagainya.
Namun apa yang dikembangkan oleh KH Asep Saifuddin Chalim berbeda dengan abahnya dalam penggunaan bahasanya. KH Abdul Chalim dulu sering berkidung dengan syair-syair berbahasa Jawa dan Sunda. Namun KH Asep menggunakan bahasa Indonesia dalam syair-syair selingan yang disampaikan dalam dakwah maupun saat mengajar para santrinya.
Ini karena para santri Pondok Pesantren Amanatul Ummah berasal dari berbagai daerah di Tanah Air, yang umumnya berbahasa Indonesia. Syair-syair karya Kiai Asep pada dasarnya sama dengan syair-syair tradisional, yakni sarat dengan ungkapan terkait impian masa depan, pitutur, dan nasihat-nasihat keagamaan.
Kiai Asep menuturkan, dirinya memang sangat terpengaruh oleh kebiasaan abahnya dalam syair-bersyair. Seringkali dalam suasana santai, Kiai Abdul Chalim bersenandung, melagukan kidung-kidung karyanya yang memang banyak diciptakan.
Kiai Asep sendiri juga mempunyai kebiasaan seperti itu. Selain menyanyikan syair-syair karyanya saat mengajar santri di waktu Subuh, Kiai Asep juga sering bersenandung di atas mobil atau saat beristirahat di pondok Siwalan Kerto, Surabaya, atau di Kembang Belor, Pacet, Mojokerto.
Di antara syair lagu yang telah dihafal pada umumnya santri Amanatul Ummah adalah “Pemuda Harapan”:
Perangi pemuda harapan
Kemalasan yang lekat di badan
Karena akan menghancurkan
Semuanya yang kita harapkan
Kegagalan karena kemalasan
Kebodohan sebab kemalasan
Kemiskinan dari kemalasan
Penyesalan penyebabnya kemalasan
Jadikan pemuda harapan
Sholat malam sebagai kendaraan
Dengannya kamu mendapatkan
Apa saja yang dicita-citakan
Waspada pemuda harapan
Jauhilah bahaya zaman
Taqwalah pada Sang Rohman
Selama ruh masih dalam badan
Berbekallah ilmu serta iman
Perdalam Agama dan Quran
Berjuanglah pemuda harapan
Sebelum datang kematian
Hindari pemuda harapan
Mengantuk dalam pengajian
Mengantuk dalam pembelajaran
Karena sangat merugikan
Ilmunya tak akan dicerna
Kala ngantuk melanda kita
Hari-hari menambah usia
Ilmu kita tetap tiada
Bukankah kerugian
Malam-malam berlaluan
Tanpa kita mendapatkan
Arti yang kita temukan
Karena tak melakukan
Sholat dengan kekhusyukkan
Malamnya terus berjalan
Umur kita dikurangkan
Biarkanlah dia yang menyakitimu
Janganlah kau balas kekejian itu
Karena segera diakan terbalaskan
Dan dia sendiri itu pelaku pembalasan
Begitulah Kiai Asep, kiai fenomenal ini. Di negeri yang jauh di ujung barat dunia, Maroko, Sang Kiai tetap mengingatkan para santrinya di Maroko untuk mengingat tradisi pesantren di negerinya yang lama digelutinya.
Jumlah mahasiswa Indonesia sendiri di Maroko diperkirakan akan terus meningkat di masa mendatang. Saat ini ada sekitar 200 mahasiswa Indonesia yang menjalani studi di Maroko, sebagian di antaranya adalah santri-santri lulusan Ponpes Amanatul Ummah. (*)
Djoko Pitono, adalah jurnalis senior dan editor buku.