COWASJP.COM – KALAU pemerintah memutus kontrak dgn Freeport (PTFI), Indonesia kalah. Freeport pasti mengambil pasal 340 WTO. Dengan demikian, pemerintah harus mengembalikan investasinya, ditambah denda dan kerugian (termasuk saham-sahamnya yang fall).
Bangkrut APBN untuk bayar itu. Makanya Freeport cuma psywar agar Indonesia menerbitkan pemutusan kontrak dengan alasan tak memenuhi perjanjian tambahan, pelepasan 51% sahamnya, tak bikin smelter, dua syarat yang membutuhkan persetujuan stake holder, dan melanggar UU Minerba. Maka saya yakin, sikap PTFI kini adalah sikap stake holder.
Kalau sahamnya didivestasi hingga 51%, kepemilikannya sudah beralih ke pihak lain. Hanya orang dungu saja yang mau melakukannya. Sudah diambil alih, disuruh lagi bikin smelter yang biayanya tak tanggung-tanggung. Anda mau tidak digituin? Jika tidak, pilih opsi kedua maju ke Panel WTO. Setidaknya lolos dari perampokan.
Mengubah KK menjadi IUPK adalah melanggar kontrak perdata sekaligus pidana. Sebab, KK itu dikunci pula dengan pasal pidana, pengubahnya diancam hukuman 5 tahun penjara, kejahatan berat.
Yang dilewatkan awam, seolah UU Minerba lebih tinggi daripada Aggreement (perjanjian, termasuk KK). Salah berat, aggreement lebih tinggi derajatnya daripada hukum positif (UU). Opini yang berkembang, seolah kebijakan pemerintah dapat mengatasi aggreement KK Freeport vs Indonesia karena kacamatanya bukan hukum. Jika bisa diubah, sudah dilakukan oleh Sudirman Said, Men ESDM sebelum Jonan.
Tak bisa menggunakan hukum kekuasaan (souvereignity law) dalam hal ini hukum publik, yaitu UU Minerba untuk membypass hukum kontrak perdata dengan cara memutus kontrak, sementara pemerintah adalah para pihak langsung.
Foto: istimewa
Beda masalah jika berangkat dari hukum pidana yang ada dalam klausul kontrak. Mestinya jika ingin memutus kontrak, berangkat dari issu kasus pidana "papa minta saham", dlsj.
Tambang Irian Barat itu adalah tambang emas dan uranium terbesar dunia. Dulu Freeport semasa bernama Freeport Sulphur, perannya mondial di era perang bintang Uni Soviet (Blok Timur) versus Blok Barat yang dipimpin Amerika dalam perlombaan senjata nuklir yang butuh uranium di mana Freeport Indonesia menjadi sarang CIA.
Setelah Perang Bintang berlalu 1989, harga zirkonium dan emas jatuh, CIA hengkang, perannya mengecil. Kini, saham Freeport Amerika jatuh, harga komoditas tambang turun, ditambah ketidakpastian Pemerintahan Trump dengan American First, hambatan oleh problem UU Minerba, social cost yang tinggi, smelter lokal yang membuatnya tak bisa mendulang bahan strategis (seperti uranium), kian tak jelas masa depan Freeport. Jauh lebih menguntungkan menangguk hasil berperkara di WTO yang jelas jelas menangnya.
Desain kini dari Menko Maritim, Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) kontrak diputus dengan Freeport untuk diserahkan kepada perusahaan grup China Resources Limited. Tampaknya oke. Namun hitung dulu costing penalti Panel WTO seperti saya kemukakan tadi. Saya kok yakin, LBP tak berani. LBP terlalu licin untuk dijebak.
Kehebatan Archandra Tahar mana? Katanya pelobi Barat yang hebat. Lebih cocok jadi ustadz. Men ESDM Ignatius Jonan yang direkom Vatikan, mana pula lobi Baratnya? Sri Mulyani yang orangnya globalis Freemason Barat, mana pula?
Kalau mau dijual jangan ke Cina, lebih berbahaya. Sudah pasti manajemen dan buruh Freeport yang 132.000 diimpor dari Cina Daratan dan menjadi kaukus politik proxy war Hoaqiau dan OBOR Cina.
Jual ke Al Abradj saja lebih aman sekaligus untuk melebarkan sayap Freemason Asia itu di Indonesia. Mumpung Raja Salman, pentolan Al Abradj, akan anjangsana ke Ibukota bulan ini. Saya dengar cuma Rp 500 triliun. Pasti punyalah Al Abradj kalau cuma Rp 1 biliun.
Tapi kalau ganti rugi tanpa melalui Panel WTO, niscaya Freeport takkan mau. Saya tak yakin pernyataan bahwa mereka menerima ganti rugi. Mereka mestinya maunya lewat putusan hukum. Sebab, hengkangnya PTFI dari Indonesia mendatangkan klaim hukum dari partner dan nasabahmya di luar negeri. Kalau via putusan hukum, Freeport tak menanggung resiko klaim hukum. (*)