COWASJP.COM –
TIGA tahun menjadi kembang bayang (terdampar di tempat tidur), menjadikan tubuh Siti Rohmawati, 17 tahun, warga Dusun/Desa Sidokaton Kec. Kudu Jombang ini makin ringkih. Orang Jawa mengatakan: lunglit, hanya tersisa balung (tulang) dan kulit. Remaja protolan SMKN Kudu Jombang itu didiagnosis dokter bedah syaraf RSUD Jombang mengidap kanker otak, sejak 2014. Berat tubuhnya terus melorot. Gigi depannya, atas-bawah terdampak. Mrotoli. Hanya tersisa gigi geraham.
’’Maaak, mak, adem,’’ teriak Siti memecah keheningan Kamis (9/3) sore itu di rumahnya, sekira sejam menjelang Maghrib. Sontak, Cicik Sunarti, 51 tahun, ibunda Siti, secara refleks mendekati ranjang Siti yang berada di ruang tamu, untuk membetulkan posisi selimut lurik, putih-biru agar menutupi seluruh badan Siti yang terlihat menggigil. Di bawah tempat tidur lipat, tergeletak wadah mangkok plastik untuk menampung cairan muntahan Siti.
’’Kalau pas mengeluh pusing berat, dan hamper tiap hari kumat, kadang efeknya Siti sampai muntah,’’ papar Cicik.
Cicik menuturkan, putra bungsu dari tiga bersaudara itu mulanya kerap mengeluh pusing di satu sisi kepala, bergantian. Hampir tiap hari. Mirip gejala migrain. Setelah berobat ke Puskesmas dan RSUD Jombang, Siti diindikasikan menderita gejala vertigo. Uji lab dan CT Scan kembali dilakukan oleh dokter bedah syarat RSUD Jombang sebagai pembanding data (second opinion). Hasilnya? Keluhan yang diderita Siti cenderung mengarah ke kanker otak.
Bahasa medisnya: Neoplasm of uncertain or unknown behavior of brain, unspecified. Pada Januari-Februari 2016, dilakukan penyedotan cairan yang membeku di otak. Salah satu efek pascaoperasi adalah: kemampuan penglihatan dan gerak menurun. Jika berjalan, Siti harus dipapah. Meski hanya satu atau dua langkah. Berdiri sendiri terasa makin berat.
Biaya pengobatan ditanggung asuransi Kartu Indonesia Sehat (KIS). ’’Puskesmas dan RSUD menyarankan pengobatan tingkat lanjut ke RSUD dr Soetomo Surabaya untuk kemoterapi. Itu yang keluarga kami tidak mampu,’’ kata Paemo, 53 tahun, ayahanda Siti.
Terkendala ketidakmampuan pembiayaan, menjadikan proses penyembuhan Siti seolah mandeg. Sesekali, Siti diantar orang tuanya kontrol ke RSUD Jombang dengan menggunakan ambulans MSD (Mobil Siaga Desa). Siti terakhir kontrol sekitar November 2016.
Di rumah semi permanen yang sangat sederhana dengan empat kamar itu, Siti tinggal bersama orang tua dan kakeknya, Tahal, 76 tahun. Di teras rumah, terparkir becak motor dan di ruang belakang. ’’Sebelum Siti sakit, sempat mbecak di Sidoarjo. Namun, sejak 2014, sudah tak ada waktu lagi bekerja di luar kota. Paling-paling ya jadi buruh tani,’’ imbuh Paemo.
Di samping rumah berdimensi sekira 8mx12m itu, kandang kambing seukuran 3mx7m, berdiri. Kambing milik kerabatnya itu dikelola model bagi hasil, paron. ’’Hasilnya lumayan untuk menambah sumber pendapatan keluarga kami.’’
Halaman depan rumahnya yang rendah menjadikan air tergenang setiap hujan deras. Gedheg guling, anyaman bambu sekira 2mx3m, digelar di tanah untuk difungsikan sebagai alas penghubung menuju teras rumah.
Setelah hampir sejam berbincang di ruang tamu dengan suguhan teh hangat, kami berpamitan. Aku meminta Siti agar mau difoto bersama. Posisi Siti tidur menyamping. Ibunya merajuk. ’’Emoh,’’ jawab Siti. Kami rayu sambil mendoakan agar sakit kanker otak yang dideritanya segera sembuh. Siti merespons. Kami ceritakan pengalaman kami mendampingi Sujianto, 16 tahun, survivor kelenjar getah bening yang merupakan tetangga desanya, Desa Katemas Kecamatan Kudu.
Setelah dua bulan kami damping bersama relawan peduli Jombang, Sujianto kini kondisinya telah membaik. Semangat hidupnya bangkit setelah makin banyak orang menyambangi di rumahnya yang sangat sederhana. Lembaga filantropi seperti Lembaga Amil Zakat NU (LAZISNU) dan Muhammadiyah Jombang (LAZISMU) pun turut tergerak untuk menggalang dana untuk Sujianto. Belum lagi berbagai komunitas dan lembaga sosial lain di Jombang. Termasuk Jawa Pos Radar Jombang.
Puncaknya, seorang donatur yang tinggal di Jl KH Wahid Hasyim Jombang, bersedia mengobatkan Sujianto hingga sembuh. Kini, Sujianto telah dua kali menjalani kemoterapi dan ditangani ahli kanker Prof. Amy di RS Internasional Siloam Surabaya.
Siti tampaknya hanyut dalam cerita yang kami tuturkan. Siti membalikkan tubuhnya. Telentang. Senyumnya mengembang. Tampak gigi depan atas dan bawahnya yang ompong. Bahkan, Siti pun sontak meminta kami bersalaman. Kusambut tangannya. Kugenggam. Kusampaikan padanya agar optimis bisa sembuh dan melanjutkan sekolah. Siti tersenyum. Kami mengakhiri pertemuan itu dan berpamitan.
Jumat siang, rekan kami pendamping Program Keluarga Harapan (PKH), Ibu Mashfiyah akan membantu membukakan rekening bank untuk Paeman, ayah Siti. Hal ini agar memudahkan donatur untuk mengirimkan donasinya. ’’Nanti kami kabari setelah nomer rekening BRI Pak Paeman sudah jadi,’’ lontar Mashfiyah.
Menjadi penghubung antar lembaga melalui media sosial terhadap pasien kanker di Jombang merupakan suatu amanah bagi kami. Sebab, penderita kanker menunjukkan trend meningkat drastis.
Sementara penanganan oleh pemerintah terasa lambat dan birokratis. Kasus Siti ini merupakan kali ketiga. Yang pertama adalah survivor kanker kelenjar getah bening asal Desa Katemas Kudu, Sujianto. Yang kedua, seorang survivor kanker serviks di Kabuh. Namun, belum sempat menggalang kampanye galang dana, survivor tersebut telah berpulang. Dan, Siti ini merupakan kali ketiga.
Sebelumnya, pada 2016, bersama relawan Peduli Jombang menggalang kepedulian untuk bocah kelas 4 SD asal Desa Banjaragung Kec Bareng Jombang, Galang. Orang tuanya yang telah berpisah akibat masalah ekonomi, punya tanggungan biaya operasi sebesar Rp 40 juta di RS swasta di Jombang. Dalam sehari, setelah kami buatkan tabungan BNI, rekening atas nama ibunya terisi Rp 40 juta.
Bersama netizen Jombang dan KKAJ (Komunitas Keroncong Anak Jombang), pada Ramadhan 2016 melakukan aksi bersama Ngamen Amal di Taman Kebonrojo, untuk korban kekerasan seksual, siswi kelas 6 SDN di Kecamatan Wonosalam. Dalam dua jam terkumpul Rp 4,25 juta. (*)