COWASJP.COM – PELAKSANAAN Pilkada DKI Jakarta putaran kedua tinggal menghitung hari. Di antara kita mungkin sudah ada yang main tebak-tebakan, pasangan calon (paslon) manakah yang akan keluar sebagai pemenang 19 April nanti? Ahok-Jarot atau Anies-Sandi?
Terlepas dari segala manuver yang dilakukan oleh masing-masing kubu untuk meraih suara terbanyak, kans Paslon nomor urut tiga, yaitu Anies-Sandi, tampaknya lebih besar. Dengan demikian, Anies-Sandilah yang akan tampil sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur berikutnya seusai Pilkada nanti.
Lho, koq bisa? Apa alasannya sehingga bisa muncul perkiraan seperti itu? Sebagian dari anda mungkin akan mempertanyakan kesimpulan saya di atas.
Tapi mohon maaf, saya hanya menguji sikap kritis anda. Mungkin ada baiknya anda bersikap kritis. Bahkan terhadap hasil survery oleh sejumlah lembaga survey belakangan ini, mestinya anda kritis.
Jangan mau ditusuk hidungnya seperti sapi dan manut saja terhadap sejumlah hasil survery yang bisa jadi tidak sesuai dengan harapan anda. Bahkan tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Bila anda kritis, itu berarti anda peduli.
Terus terang, sebelum ada hasil final yang secara resmi menyatakan salah satu Paslon merebut kemenangan, tidak eloklah kita berandai-andai mubazirkan waktu dan tenaga. Apalagi sebagai muslim, tidak elok kita mendahului ketentuan Allah Swt. Dari pada harus menebak-nebak perolehan suara masing-masing Paslon sebelum waktunya, saya sendiri lebih tertarik untuk mendiskusikan beberapa hal yang jauh lebih penting.
Di antaranya, apa sih pentingnya Pilkada DKI Jakarta ini bagi kita umat Islam, yang tidak hanya warga DKI Jakarta tapi juga mereka yang berada di seluruh kepulauan Nusantara? Selanjutnya, apa dampaknya bagi kehidupan kita sebagai umat Islam di masa depan bila Anies-Sandi yang menang, atau sebaliknya justru Ahok-Jarot yang menang.
***
BAGI saya, kemenangan Anies-Sandi dalam Pilkada 19 April nanti tentunya memiliki arti yang sangat penting. Sebab dengan kemenangan Paslon nomor urut tiga ini, umat Islam boleh berharap bahwa program pembangunan ibukota Jakarta, paling tidak untuk masa lima tahun ke depan, tidak bertentangan dengan aspriasi mereka. Selain itu, merujuk kepada ketentuan Alqur’an Surah Almaidah 51, mereka telah berhasil memilih seorang pemimpin muslim sesuai ajaran agama yang ditetapkan langsung di dalam kitab suci Alqur’an.
Harus diakui bahwa soal ini pun masih amat sangat “debatable”. Bisa saja ada yang akan mempertanyakan, benarkah bila Anies-Sandi menang mereka akan menjalankan kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan aspirasi umat Islam? Dilihat dari background pendidikan, Anies misalnya memiliki kualitas yang bagus. Mantan Ketua Umum Senat Mahasiswa UGM ini telah menyelesaikan pendidikannya dengan baik bahkan sampai tingkat doktoral di Amerika Serikat.
Di samping itu, sebagai cucu dari Abdurrahmah (AR) Baswedan, tokoh penting partai Islam Masyumi, dia juga memiliki nilai tambah yang lain. Artinya ada yang dapat dinilai orang dari sosok AR Baswedan yang berintegritas. Sayangnya, di samping nilai plus di atas dia juga memiliki nilai minus sebagai seorang tokoh pemimpin muslim yang sangat diharapkan mampu memimpin bangsa ini ke depan.
Bagi sebagian kalangan muslim di negeri ini, terutama “katakanlah” mereka yang fundamentalis, yang di dalamnya termasuk para tokoh GNPF MUI yang berhasil menggerakkan demo bela Islam berulang-ulang sejak November tahun lalu, dia sudah tercerabut dari akar integritas seorang AR Baswedan, sang kakek. Yakni, ketika dia ditetapkan sebagai Rektor Universitas Paramadina tahun 2007.
Bagi kalangan muslim yang memiliki sikap yang tegas dalam keberislaman, Anies memperlihatkan integritas pribadi yang terbelah ketika memutuskan menjadi rektor perguruan tinggi yang didirikan (almarhum) Dr. Nurkholis Madjid yang sekuler. Pertanyaannya, apakah Anies juga sekuler sebagaimana Nurkholis Madjid? Atau, apakah dia hanya sekadar sebagai seorang avonturir yang mengejar kesempatan, mengejar jabatan? Semua ini boleh jadi merupakan satu kekurangan yang mestinya tidak boleh ada bagi kalangan yang “rigid” dalam menjalankan ajaran Islam.
***
PERSOALANNYA, Pilkada DKI Jakarta itu sekarang berkembang ke arah yang lebih kompleks. Pertarungan Ahok-Jarot versus Anies-Sandi dalam Pilkada ini tidak hanya dipandang dari sisi politik an-sich, tapi juga dari sisi kepentingan agama. Artinya, ini pertarungan politik antara muslim dan non-muslim. Kalau sudah begitu, pilihannya tentu saja Anies-Sandi yang jelas-jelas muslim. Betapa pun keburukan yang melekat pada Paslon ini.
Apalagi bila mengacu kepada ketakutan-ketakutan yang dirasakan sebagian kalangan muslim belakangan ini. Berkaitan dengan agresifitas Tionghoa bila Ahok-Jarot memimpin Jakarta. Begitu juga kaitan dengan kecenderungan sikap dan tindakan para konglomerat Tionghoa yang jelas-jelas mem-back up Ahok-Jarot habis-habisan. Isu penggusuran golongan ekonomi lemah yang notabene adalah muslim. Isu yang berkaitan dengan sejarah Singapura, di mana dulu umat Islam berperan besar tapi sekarang sudah tersingkir. Jangan sampai Jakarta bernasib seperti Singapura. Isu yang mengatakan bahwa para konglomerat itu juga disebut-sebut ingin menguasai Jakarta pada tahap awal dengan menggunakan tangan Ahok dan selanjutnya akan berusaha menguasai NKRI secara keseluruhan pada tahap berikutnya.
Ketakutan-ketakutan ini tidak bisa ditutup-tutupi, karena sudah jadi rahasia umum yang nyata-nyata ada dan sulit dibantah.
Di samping itu, terlepas dari segala kekurangannya, kasus penistaan agama oleh Ahok tak bisa dipungkiri memberikan dampak yang siginfikan bagi Paslon Anies-Sandi. Gerakan massa yang berulang-ulang untuk menuntut agar Ahok dipenjarakan, sementara pemerintah maupun aparatnya cenderung abai memenuhi tuntutan itu, bisa jadi membuat sebagian sebagian calon pemilih yang dulu condong kepada Ahok-Jarot sekarang berubah pikiran untuk memilih Anies-Sandi.
Semua ini, bagi Paslon nomor urut tiga, terutama Anies, menjadikannya “the right man in the right place and in the right moment” bila berhasil keluar sebagai pemenang dalam Pilkada yang akan berlangsung beberapa hari lagi. Dengan demikian, pamor Anies akan melambung luar biasa. Selanjutnya, dia tidak hanya akan dipandang sebagai tokoh yang mampu tapi juga layak jadi pucuk pimpinan tertinggi republik ini bila dia ikut bertarung dalam Pemilu melawan Jokowi tahun 2019 nanti.
Mestinya inilah skenario yang harus disiapkan bila umat Islam ingin menjadi “tuan” di negerinya sendiri. Sebagai menteri yang pernah dipecat Jokowi dan dibandingkan dengan Prabowo Subianto, Anies mungkin lebih tepat untuk dihadapkan dengan Jokowi dalam pemilu 2019 nanti. Karena itu, Prabowo dan sejumlah pimpinan partai Islam lainnya hendaknya bisa legowo menjadi “king maker” saja.
Bergerak di belakang layar sebagaimana Megawati mendukung Jokowi dan all-out menjadikan Anies sebagai salah seorang calon presiden. Mugkin hanya Anies yang sanggup mengalahkan Jokowi bila dipersiapkan dengan baik.
Sementara Prabowo sendiri, sebagai “king maker” nanti mungkin akan memiliki kekuasaan sebagaimana kekuasaan Megawati saat ini. Dia tidak usah ikut bertarung, tapi dia mempersiapkan petarung handal yang dapat dia andalkan sekaligus dia kendalikan. Belajar dari karir politik Wiranto, misalnya, tokoh yang pernah kalah tidak ada sejarahnya bisa menang bila dipertarungkan kembali. (*)