COWASJP.COM – EVENT berlabel `Jambore Willys’, seakan menjadi magnet bagi para maniak jip. Di mana pun acara itu digelar, para penggemar kendaraan buatan Amerika Serikat itu, berbondong hadir. Merka hadir dari penjuru Nusantara.
Kendaraan peninggalan eks Perang Dunia itu, datang berkonvoi. Jarak ratusan bahkan ribuan kilometer, bukan penghalang. Berbagai event yang telah digelar di Jawa, juga dihadiri peserta dari luar Jawa. Dari Padang, Lampung, Palembang, Makassar, Poso, Bali, hingga Kupang NTT, hadir dengan bendera komunitasnya masing-masing. Begitu pula dengan komunitas dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogjakarta, Semarang, Solo, Bandung, dan Jakarta. Semua tumpleg bleg di acara itu.
Konvoi Kompoel Willys Nusantara 2017 yang akan di adakan Bukit Bunda. (Foto: Ibnu/CoWasJP)
Yang terbaru, event bertajuk `Kompoel Willys Nusantara 2017’. Acara yang digagas komunitas Blitar Willys Club itu, digelar di Bukit Bunda, sebuah lahan bukit kapur, di Kelurahan Kademangan, Biitar, 29 – 30 April lalu. Di lahan seluas 25 hektare itu, panitia telah menyulap area tersebut seperti, `habitat’ jip. Berbatu, tanjakan curam, serta berbagai handycap yang hanya bisa ditaklukkan kendaraan berpenggerak 4 x 4.
Dari sisi materi, acaranya terkesan tak terlalu istimewa. Ada panggung hiburan, api unggun, bazar, hingga blusukan mengelilingi area pegunungan kapur itu. Acaranya sukses. Pesertanya ratusan unit, datang dari berbagai pelosok Nusantara.
Yang lebih heboh, pada penyelenggaraan Jambore Willys, di Lanud Suleman, Bandung, awal November 2015 lalu. Pesertanya lebih membludak. Lebih dari 350 unit Willys dari berbagai tahun pembutan, memenuhi lahan lapangan udara militer di Bandung itu. Mereka hadir dari berbagai penjuru Nusantara.
Terus terang, ini perjalanan terjauh yang pernah saya tempuh dengan ber-Willys. Saya bersama rombongan Surabaya dan Sidoarjo, berkonvoi dengan empat mobil, dengan bendera komunitas Jeep AK’S (Anak Kolong Surabaya). Satu peserta, adalah rekan kami yang datang dari Poso, Sulawesi Tengah. Dia bergabung dengan rombongan kami, dengan Willys yang dikendarai dari Poso.
Start dari Surabaya, pukul 20.00. Pertimbangannya, perjalanan malam, lalu lintas lebih ancar, dan tak panas. Lagian, jip yang saya naiki open cup. Tak ada terpal sebagai atap penyanggah panas dan hujan. Tubuh hanya berbalut jaket tebal, topi lebar, dan jas hujan jika diperlukan.
Perjalanan ke Bandung, kami tempuh lebih dari 24 jam. Tiba di lokasi, pukul 04.00 pagi, keeseokan harinya. Waktu sepanjang itu, kami lalui melewati jalur selatan. Rutenya memang lebih panjang dan menantang dibanding lewat jalur utara.
Lem Besi Plus Filter Roko
Mogok. Seakan menjadi `menu wajib’ dalam perjalanan panjang itu. Mobil saya, Willys tipe CJ 6 lansiran tahun 1958, tiba-tiba mogok menjelang masuk kota Mojokerto, dua jam sejak start. Saluran pendingin air, bocor. Penyebabnya; water pump termakan korosi. Air dari saluran radiator ke mesin, tersembur keluar. Nyaris tak bisa melanjutkan perjalanan dengan kerusakan itu.
Bagi maniak seperti kami: Tantangan bukan rintangan. Harus bisa teratasi! Anggota rombongan lainnya juga berhenti. Tak banyak ada suku cadang memadai yang kami bawa. Toko suku cadang yang buka di malam hari, juga tidak ada. Maka, bengkel dadakan di tengah jalan, dilakukan. Water pump, harus dibuka. Dan, bagian yang terkena korosi itu, harus ditambal. Sepuluh batang rokok filter, harus `dikorbankan’.
Filter rokok yang berbahan gabus, menjadi bahan tambalan bagian yang terkena korosi. Lem besi dengan olesan tebal, mampu mengatasi problem itu. Agar lem cepat kering, mesin harus dinyalakan. Panas mesin inilah, sebagai media pengering yang sangat efektif, di saat tiada sinar matahari. Dua jam, bengkel dadakan jalanan itu membuahkan hasil sempurna, Tak ada lagi kebocoran. Dan, wuuss... perjalanan pun berlanjut.
Menjelang masuk Kota Nganjuk, `menu wajib’ itu harus kami lahap lagi. Kali ini, kawat baja penghubung ke pedal kopling, putus. Menepi lagi di bawah sinar lampu jalan. Seutas kawat sebuah spanduk yang membentang di jalanan itu, terpaksa jadi sasaran.
Dengan lilitan kawat spanduk itulah, problem kopling teratasi. Kali ini, bengkel dadakan di malam buta, hanya butuh 30 menit.
Waktu menunjukkan pukul 11.30, ketika rombongan konvoi kami masuk Yogjakarta. Inilah waktu-waktu `menyiksa’ harus saya nikmati. Panas mulai menyengat. Mobil tanpa atap. Topi lebar, tak mampu menghalau panas.
Solusinya; lap Kanebo berbahan semi karet, saya basahi. Lalu, saya tutupkan di atas kepala. Agar tidak `terbang’, topi lebar tadi saya tutupkan di atas Kanebo yang ada di kepala. Lumayan adem. Begitu terasa kering, saya basahi lagi. Begitu seterusnya, sampai terik itu tak terasa menjelang sore.
Mungkin, ini bagian dari sebuah sensasi ber-jip ria. Terlebih, begitu memasuki kota Cilacap, kami bertemu dengan rombongan besar gabungan komunitas Solo American Jeep dan komunitas Willys Madiun, yang juga menuju ke acara yang sama. Konvoi panjang, lebih dari 25 unit kendaraan. Layaknya segerombolan pasukan, kami menyerbu `Bandung Lautan Api’
General Purpose = JIP
Tak akan pernah habis membahas jip. Jenis kendaraan yang satu ini, dirancang sebagai kendaraan tangguh, dan mampu berjalan di segala medan. Jalanan mulus, terjal, berlumpur, berbatu, semua dilahap. Selain konstruksi kaki-kaki yang kuat, kendaraan ini dibekali dengan penggerak roda depan dan belakang. Ditambah, fasilitas gigi penggerak high dan low pada transfercase, sebagai perantara antara perseneling ke sistem penggerak roda depan dan belakang.
Dengan rancangan konstruksi seperti itu, memungkinkan jip mampu berjalan di berbagai kondisi medan. Bahkan pada jenis tertentu, jip juga mampu `melibas genangan air hingga ketinggian tertentu, tanpa ngadat. “No road, no problem”. Begitu istilah yang disematkan para penghobinya, karena ketangguhannya.
Adalah Amerika Serikat, yang mengawali produksi jenis kendaraan jenis ini.Kala itu, saat perang dunia pertama, Pentagon memerintahkan kepada produsen otomotif di sana, untuk membuat satu jenis kendaraan tangguh di segala medan, serba guna, juga sederhana. Produksinya harus massal. Waktu pengerjaan, sesingkat-singkatnya. Pentagon membutuhkan kendaraan tempur tangguh untuk mendukung invasi pasukannya.
Tiga pabrikan otomotif; Bantam Motor Corp, Ford, dan Willys Motor Corp, menerima `perintah’ itu. Ketiganya berpacu memuat kendaraan pesanan massal tersebut. Mereka pun menamai kendaraan itu dengan sebutan GP (General Purpose). Dari sinilah, istilah jip kemudian muncul. Yang mempopulerkan, tentara AS. Lidah mereka lebih mudah menyebut `Jeep’, dari pada GP (baca: Jipi).
Meski sama-sama sempat memproduksi massal, rupanya produk Willys Motor Corp, dinilai lebih tangguh dibanding dua produk lainnya, setelah melalui serangkaian uji coba di medan tempur. Dari situlah, kontrak Willys dengan Pentagon, terus diperpanjang. Sementara Bantam dan Ford, hanya selesai sampai perang dunia pertama, usai.
Maka generasi Willys pun, terus diproduksi dengan berbagai penyempurnaan dari tahun ke tahun. Dimulai dari generasi pertama, Willys MB produksi 1944 (untuk kebutuhan perang), Lalu, muncul generasi berikutnya, CJ (Civilan Jeep). Mulai CJ2, CJ2A, CJ3, CJ3B, CJ5, CJ6, CJ7, CJ8, Cherokee, Wrangler, dan Rubicon. Khusus tiga seri terakhir itu, sudah diproduksi oleh General Motor Corp.
Dari berbagai generasi itu, ciri khas jip berupa grill depan dengan tujuh lubang pendingin udara radiator, tetap dipertahankan. Dari berbagai rangkaian generasi CJ, ada satu jip yang diproduksi Willys untuk kebutuhan era perang di Korea.
Namanya: Utility, dengan seri A1 dan A2. Kendaraan yang diproduksi tahun 1969 hingga 1972itu, dirancang khusus untuk medan perang di Korea. Dengan tetap mempertahankan penggerak roda depan dan belakang, mesin Utility dibuat dengan tekhnologi waterproof. Dia mampu melibas genangan meski seluruh kap mesin tertutup air. ***