COWASJP.COM – BASUKI TJAHAJA PURNAMA alias Ahok akan dikenang dalam sejarah bangsa ini sebagai orang dengan banyak predikat. Banyak yang menyebut orang jelek, tapi tak sedikit yang menyebutnya sebagai orang baik. Banyak yang menyebutnya sebagai pecundang, tapi ada yang mendewakan sebagai pemenang. Kontradiksi tentang Ahok ini bukan hanya dalam tataran wacana, tapi sudah dalam tataran praksis di lapangan antara dua kelompok yang saling berhadapan.
Ahok telah menyita perhatian rakyat Indonesia, mulai strata terendah sampai yang tertinggi. Obrolan warung kopi selalu hangat dengan topik diskusi dan debat kusir soal Ahok. Begitu juga kalangan akademisi selalu mendapat bahan kajian ilmiah mengenai Ahok.
Semua direpotkan oleh Ahok, termasuk presiden yang oleh Eep Saefulloh Fatah disebut telah menyediakan istana negara sebagai posko pemenangan Ahok. Masyarakat dari berbagai belahan negeri ini berbondong-bondong ke Jakarta . Ada yang melalui darat, laut maupun udara, bahkan ada yang mencarter pesawat khusus agar bisa datang ke Jakarta mendemo penista agama. Niatnya bulat tak tertahan. Saat dihalangi tak boleh naik bus, ribuan orang secara demonstrative berjalan kaki ratusan kilometer menuju ibu kota.
Kekuatan politik pun terbelah dua, antar pendukung dan penentang.Belum pernah terjadi sebelumnya, ada tokoh yang kiprahnya begitu banyak menyita perhatian khalayak. Banyak orang mengorbankan waktu dan biaya untuk Ahok. Belum ada audit parti tentang berapa uang yang dihabiskan dalam even politik Pilkada DKI dan kasus penistaan agama yang melibatkan Ahok sebagai aktor utama.
Akankah energi bangsa ini akan tersedot semuanya untuk masalah Ahok ? Tentu tidak. Masih banyak agenda yang harus diselesaikan. Saatnya kita bekerja lagi menyelesaikan tugas yang sempat terbengkalai.
Dua momen penting yang melibatkan Ahok sudah berakhir, Pilkada DKI dan vonis hakim menjebloskan Ahok ke dalam penjara selama dua tahun. Ahok yang diyakini akan membawa Jakarta menjadi provinsi yang hebat itu harus terhenti di tengah jalan, kehilangan kesempatan menjadi gubernur lagi ditambah bonus hukuman penjara. Masalah ini telah menyedot perhatian masyarakat, akan mubazir kalau tidak ada hikmah yang bisa dipetik darinya.
Hukuman dua tahun kepada Ahok akan memberi dampak luas dalam masalah penegakan hukum. Keberanian hakim memberi hukuman lebih berat dibanding tuntutan jaksa, membuka ruang bagi publik untuk mulai menumbuhkan harapan kepada para hakim dalam memutuskan perkara. Anggapan bahwa hakim berada dalam tekanan penguasa berhasil dipatahkan.
Meskipun sejak awal presiden Jokowi sudah menjelaskan bahwa dia tidak ikut campur dalam kasus Ahok, tapi kedekatan politis keduanya sulit untuk menghapus anggapan tersebut. Vonis terhadap Ahok ini membenarkan komitmen presiden yang tidak akan melakukan intervensi dalam kasus ini. Prinsip semua sama di hadapan hukum harus ditegakkan. Dengan demikian, kasus-kasus yang menyertai kasus Ahok akan terus diproses secara hukum.
Tentu banyak persepsi yang muncul soal vonis hakim tersebut. Para pendukung Ahok akan mengatakan hakim berada dalam tekanan sehingga putusannya tidak independen, memenuhi ‘’pesanan’’ kelompok tertentu. Sebaliknya, para penentag Ahok justru menganggap hukuman itu terlalu ringan, bila merujuk pada kasus sejenis sebelumnya. Wajar bila ada yang tidak puas dengan keputusan hakim tersebut, tapi ada harapan besar di balik putusan tersebut.
Selama ini dikesankan ‘’pesanan’’ dan tekanan terhadap hakim itu dilakukan oleh pemerintah untuk membebaskan Ahok dari hukuman. Tuduhan itu semakin mengemuka ketika jaksa menuntut mantan gubernur DKI itu dengan hukuman percobaan. Putusan hakim akhirnya membuka mata banyak pihak, bahwa keadilan masih ada.
Masih ada hakim yang mampu membuat putusan dengan pertimbangan yang baik di tengah tekanan yang sangat berat. Putusan itu membebaskan hakim dari tuduhan telah menerima pesanan dan tekanan. Meskipun harus diakui, putusan tersebut tidak bisa memuaskan sepihak. Ruang hukum masih tersedia bagi terhukum untuk melakukan banding dan kasasi, sehingga tidak perlu lagi melakukan aksi lanjutan.
Terpenting dari kasus ini adalah keputusan hakim bisa dijadikan pedoman untuk kasus yang lain. Harapan masyarakat adalah, hakim yang lain juga bisa melakukan hal yang sama agar rasa keadilan masyarakat bisa terpenuhi.
Pertentangan yang menyertai kasus ini harus segera dihentikan, karena energy dan waktu sudah terlalu banyak terkuras, bahkan sudah sampai pada taraf yang membahayakan. Gegara kasus satu orang saja sendi-sendi kebangsaan nyaris runtuh dengan munculnya sikap permusuhan dari kelompok yang berbeda. Seolah-olah semua perhatian tertuju pada kasus ini. Meskipun kasusnya ada di Jakarta, tapi telah menyita perhatian sebagian besar masyarakat di seluruh negeri.
Masyarakat akan terus memantau kasus ini, karena proses hukum dan politis akan terus berjalan, tapi jangan sampai melupakan masalah lain. Kasus pemberantasan korupsi harus tetap jadi prioritas, karena saat ini ada upaya sistemik untuk melemahkan KPK secara politis. DPR sudah menyiapkan dua agenda untuk melawan KPK melalui revisi UU Antikorupsi dan hak angket kepada KPK.
Para wakil rakyat sudah lama merasa gerah dengan langkah KPK yang banyak menyasar para anggota legislatif yang terlibat korupsi. Masyarakat harus bersatu mendukung KPK dari serangan para politisi yang menggunakan senjata konstitusional legislasi. Masalah ini sebenarnya jauh lebih besar dibanding kasus Ahok. Civil society harus bersatu memberi dukungan kepada KPK. (*)