COWASJP.COM – ALHAMDULILLAH, tanpa terasa kita sudah memasuki hari ke-15 bulan Ramadan. Semoga seluruh rangkaian ibadah yang kita jalani sepanjang bulan suci ini membawa berkah kebaikan dalam kehidupan: dunia dan akhirat. Dan mudah-mudahan Allah berkenan menyampaikan usia kita sampai akhir Ramadan, demi menyempurnakan proses ketakwaan dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya.
Terkait dengan mekanisme kejiwaan, Al Qur’an mengenalkan dua istilah kepada kita: tafakur dan tadzakur dalam menjalin interaksi dengan segala realitas. ‘Tafakur’ adalah berfikir ilmiah menggunakan logika, rasionalitas, analisa, dan pendekatan empiris. Lazimnya digunakan untuk memahami jagat raya dengan segala isinya. Sedangkan ‘tadzakur’ adalah mekanisme interaksi seorang hamba dengan Tuhannya, yang kemudian kita kenal sebagai ‘dzikir’.
‘Tafakur’ berbasis pada pendekatan objektif: analitis dan empiris. Sedangkan ‘tadzakur’ berbasis kepada pendekatan subjektif: perasaan dan penghayatan. Sesungguhnyalah tidak ada sebuah interaksi yang benar-benar steril hanya objektif ataupun subjektif. Semuanya memiliki kadar objektivitas dan subjektivitas tertentu.
Sains yang dianggap sebagai kutub paling objektif dalam memahami jagat raya pun, sesungguhnya mengandung subjektivitas meskipun dalam skala yang rendah. Yakni saat menentukan asumsi. Asumsi adalah pendekatan yang dilakukan dengan berdasar pada ‘pilihan subjektif’ peneliti. Meskipun diusahakan seobjektif mungkin.
Sebaliknya, agama dianggap sebagai kutub paling subjektif dalam menjalaninya, khususnya yang terkait dengan Sang Pencipta. Tetapi, ternyata juga memiliki kadar objektivitas saat diterapkan untuk hubungan antar manusia, dan manusia dengan alam.
Interaksi peribadatan kita dengan Allah bukanlah dengan cara memikirkan. Meskipun, untuk mengenalnya kita harus memulai dengan tafakur. Kita diajari berfikir tentang besarnya jagat raya yang tiada berhingga – makrokosmos – agar kita mengenal Sang Pencipta yang Maha Besar, Maha Berkuasa, Maha Berkehendak, dan Maha Memelihara.
Kita diajari berfikir tentang mikrokosmos yang sedemikian kecilnya, agar kita mengenal Allah Sang Penguasa Kegaiban, Yang Maha Lembut, Maha Halus, lagi Maha Teliti. Kita diajari berfikir tentang kemanusiaan, agar kita mengenal Dia Yang Maha Adil, Maha Pemurah, Maha Penolong, dan Maha Menyayangi. Dan lain sebagainya. Sebuah proses berfikir ilmiah yang mengantarkan kita kepada penghayatan akan keberadaan Sang Pencipta Segala.
Ini berbeda dengan kalangan atheis ataupun sekuler yang melakukan tafakurnya demi ilmu pengetahuan itu sendiri. Atau, tujuan-tujuan yang bersifat duniawi. Di dalam Islam tafakur merupakan bagian dari proses ibadah untuk bertadzakur kepada Allah: Dzikrullah. Mengingat Allah. Menyambungkan perasaan kita kepada Sang Penguasa Jagat Semesta.
Itulah sebuah proses spiritualitas yang holistik. Sebuah ungkapan rasa syukur atas segala karunia-Nya. Dampaknya, ilmu menjadi berkah untuk manusia dan kemanusiaan karena tidak dikotori oleh kepentingan sempit dan keserakahan. Sebuah ibadah yang diabdikan untuk-Nya – hablum minallah – dan sekaligus untuk kemanusiaan – hablum minannas.
Maka, PERTANYAAN yang harus Anda jawab dengan ringkas kali ini adalah:
1. Di dalam Qs. 3: 190-191 Allah berfirman, bahwa seorang muslim harus melakukan tadzakur sekaligus tafakur agar menjadi manusia utama yang disebut sebagai ulul albab. Di ayat mana lagikah Allah berfirman tentang ulul albab itu?
2. Mengapa interaksi kita dengan Allah mesti dilakukan melalui tadzakur, dan bukan tafakur?
Selanjutnya, PEMENANG edisi ke-14, berdasar pada jawaban yang masuk di facebook dan Agus Mustofa eLibrary adalah: Niem Sukmawarni Niswa
1. Di surat dan ayat berapakah Allah berfirman, bahwa segumpal daging yang disebut ‘qalbu’ itu berada di dalam dada?
Jawaban: “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (QS.Al-Hajj: 46)
2. Menurut Anda manakah yang lebih penting: pikiran ataukah perasaan?
Jawaban: Keduanya sangatlah penting. Karna orang yang menggabungkan perasaan dengan pikirannya secara seimbang; berpikir dengan ilmu pengetahuan dan merasakan dengan emosi yang rasional; maka dia akan menemukan Allah sebagai Tuhan. Inilah yg disebut dengan ulil albab. Sebagaimana Allah berfirman dlm QS. Ali Imran (3): 190-191.
Selamat, Anda memeroleh hadiah buku Serial Diskusi Tasawuf Modern berjudul: "MENYELAM KE SAMUDERA JIWA & RUH". Silakan hubungi 0878 5433 5454 untuk alamat pengiriman hadiahnya. Salam.
ADA CUPLIKAN VIIDEO & HADIAH BUKU SETIAP HARI
Klik Di SINI: http://agusmustofa.com/