COWASJP.COM – ockquote>
SELASA malam 4 Juli 2017, kami diajak sahabat purnawirawan Polri Bambang Setiawan (pangkat terakhir AKBP) silaturahim ke rumah dinas Dirlantas Polda Jatim, Kombespol Drs Ibnu Isticha. Pak Ibnu adalah mantan manajer tim Bhayangkara FC (Liga 1 Indonesia).
Hubungan kedua beliau masih sangat baik. Pak Bambang Setiawan, Angkatan 1974 Prajaghupta, adalah senior dari Pak Ibnu. Pak Ibnu masih usia 52 tahun, sedangkan Pak Bambang sudah 67 tahun.
Pak Bambang adalah tetangga kami, sangat akrab bahkan seperti saudara. Sebenarnya kami berkunjung tidak untuk membicarakan perkembangan sepakbola Indonesia masa kini, tapi halal bi halal, dan saling maaf memaafkan.
Pembicaraan berlangsung gayeng diseling minum kopi hitam yang nikmat di rumah dinas yang berada di halaman belakang Mapolda Jatim itu. Tapi mungkin karena kami bertiga hobinya sama, pembicaraan beralih begitu saja ke masalah sepakbola.
Dan, inilah sepenggal penuturan Pak Ibnu Isticha yang menarik dan perlu disimak:
“Ternyata, sepakbola Indonesia masih dimainkan oleh para bandar judi. Pengorbanan besar sepakbola Indonesia seperti sia-sia. Menpora telah membekukan PSSI kepemimpinan Ir La Nyalla Mahmud Mattalitti. FIFA juga telah menyekors (menghentikan) seluruh aktivitas sepakbola di bawah PSSI. Dua tahun sepakbola Indonesia mati suri.
Ini semua dilakukan dengan satu alasan, membersihkan sepakbola Indonesia dari match fixing. Memberantas wasit remote control dan pemain remote control. Bahkan ada ofisial klub yang diduga terlibat dalam permainan yang “membusukkan” kehidupan sepakbola Indonesia.
Pak La Nyalla telah lengser. Sekarang telah terpilih pengurus baru PSSI di bawah komando Pak Letjen Edy Rahmayadi. Beliau tentu mengemban tugas yang amat berat. Memberantas mafia sepakbola. Membangun sistem pembinaan sepakbola Indonesia yang fair dan lebih berkualitas.
Harapan 100 juta lebih pecinta sepakbola Indonesia juga sama. Indonesia harus segera memilik sepakbola yang fair, sehat, dan berprestasi. Sekarang! Tidak bisa ditunda-tunda lagi. Sepakbola Indonesia sudah ketinggalan. Di kawasan Asia Tenggara saja kita tidak pernah juara lagi (sejak 1991).
Tapi apa yang terjadi? Sekarang para bandar judi yang katanya asal Malaysia masih bermain dan mengobok-obok kompetisi sepakbola Indonesia. Kalau hal ini tidak segera ditindak tegas, sampai kapan pun prestasi sepakbola kita akan jelek terus.
Sejak Torabika Soccer Championship selesai, saya sudah tidak lagi menjadi manajer Bhayangkara FC. Tapi saya telah melihat gerakan bandar judi yang masih dominan di sini. Para bandar judi itu menjalin kerja sama dengan berbagai pihak. Saya tidak tahu apa istilah yang pas. Kerja sama atau kongkalikong. Yang pasti, mereka selalu mengajak kerja sama dengan pemain, dengan ofisial, dan dengan wasit.
Kerja sama itu dilakukan dengan imbalan yang menggiurkan. Satu kartu kuning bisa mendapat imbalan Rp 100 juta. Satu kartu merah bisa Rp 200 juta atau lebih. Tergantung nilai pertandingannya. Mau menjadi tim yang kalah nilainya bisa Rp 400 juta sampai Rp 500 juta. Imbalan uang bisa berlipat untuk pertandingan menentukan di akhir-akhir kompetisi.
Kerja sama dengan pemain bisa dilakukan dengan pemain belakang, pemain depan, mungkin juga pemain bintang, atau kiper. Imbalannya ratusan juta rupiah. Orang yang biasa nonton sepakbola akan tahu, pemain A ini kok tiba-tiba bermain tidak seperti biasanya. Patut dicurigai.
Kontak bisa dilakukan via telepon. Mungkin bukan dengan bandar judinya langsung. Tapi dengan kaki tangan mereka di tanah air. Transaksi tidak pernah dilakukan lewat transfer. Pasti dengan uang cash. Pembayaran uang cash dilakukan dengan rapi dan tersembunyi. Buktinya, belum pernah ada kasus OTT uang suap sepakbola.
Foto: Slamet Oerif Prihadi/Desaign CoWasJP
PSSI memang tidak bisa bekerja sendirian dalam memberantas mafia bola yang dikendalikan para bandar judi. Seperti di negara-negara lain, juga di Amerika Serikat, PSSI harus bekerja sama dengan Polri. Sebab, Polri lah yang memiliki kewenangan menangkap, menyidik, dan menahan tersangka pelaku suap sepakbola. Kemudian kasusnya diserahkan kepada kejaksaan, selanjutnya dimejahijaukan.
Walaupun saya sekarang tidak masuk dalam manajemen klub, tapi kami mengimbau agar Menpora bersama PSSI menggalang kerjasama yang baik dengan Polri. Mungkin diperlukan SK Presiden untuk membangun Satgas Pemberantasan Suap Sepakbola. Tanpa Satgas Pemberantasan Suap yang diperkuat Polri, bandar judi akan makin merajelela di Indonesia. Tidak hanya di level Liga 1 Indonesia. Liga 2 Indonesia pun diaduk-aduk.
Beberapa tahun lalu pernah kejadian, kaki tangan bandar ditahan di Surabaya. Tapi kemudian dilepas lagi dan tak jelas bagaimana pengusutan kasus lebih lanjut. Kalau Satgas Pemberantasan Suap Sepakbola telah dibentuk, maka penindakan akan dilakukan secara tuntas. Siapa saja yang terlibat diusut dan ditangkap. Hukum berat bandar judi dan kaki tangannya yang tertangkap.
Hal lain yang saya lihat, masih ada pemilik modal yang punya saham di beberapa klub. Padahal hal ini dilarang oleh PSSI untuk menghindari pertandingan main mata alias match fixing. Saya tidak menyebut nama pemilik modal dan nama klubnya, tapi silakan PSSI sendiri yang mengusutnya dan membenahinya.
Semoga sepakbola Indonesia segera berkembang di koridor fair play dan makin bermutu. Mafia bola mungkin tidak bisa diberantas 100 persen. Tapi gerakannya harus dipersempit sesempit-sempitnya. Kita harus membangun generasi muda sepakbola yang tidak terkontaminasi virus ganas yang bernama suap. Tim nasional Indonesia sudah terlalu lama tanpa gelar.” (*)