COWASJP.COM – CERITA doa untuk si biru ini sebenarnya sudah ada sejak 31 tahun lalu. Ceritanya begini: Alkisah, setelah bergabung selama delapan tahun di Jawa Pos, yakni di awal tahun 1986, saya mendengar selentingan dari beberapa teman generasi perintis, bahwa pimpinan akan menghadiahkan sejumlah mobil untuk teman teman yang dinilai berprestasi waktu itu. Tentu saja selentingan itu membuat kami semakin rajin ngantor dan memburu berita berita yang eksklusif.
Di sisi lain, merk dan bentuk mobil yang bakal dihadiahkan ke kami nyaris tak seorangpun tahu. Meski begitu saya hampir setiap saat selalu berdoa, apabila isyu hadiah itu, benar benar jadi kenyataan:Mudah mudahan warnanya biru. Warna favorit saya.
Sementara semakin hari hangatnya bakal hadirnya mobil di tengah tengah redaksi semakin gempita. Lantas bagaimana reaksi Dahlan Iskan, Pemimpin Redaksi Jawa Pos, ketika itu? Ternyata anak kelahiran Magetan ifu diam seribu bahasa. "ndak tahu... ndak tahu," celetuknya sambil mengangkat kedua bahunya, ketika saya memberanikan diri bertanya, soal hiruk pikuknya jatah mobil.
Jawaban Dahlan yang tidak memuaskan itu, tak menyurutkan langkah saya untuk menelusuri sumber yang dipercaya. Siapa lagi kalau bukan Cholili Ilyas, kepala bagian iklan, waktu itu. " Ya..ya tunggu saja Cak. Sebentar lagi pasti datang. Terus apa sampeyan sudah bisa nyetir mobil," jawab Cholili.
"Lha kalau mobil sudah datang, belum bisa nyetir yok apa", tukasnya lagi. Eit...benar juga celetukan Cholili. Ternyata saya memang belum bisa pegang kemudi mobil. "Ya belum bisa, tapi tolong jangan lupa..warna biru", sahut saya, sambil meninggalkan Cholili yang terlihat tersenyum sambil geleng geleng kepala.
Peringatan Cholili agar saya harus bisa pegang kemudi, langsung saya respon. Esok sorenya saya ajak teman akrab saya di Jawa Pos. Dia adalah K.Sudirman. Apalagi kalau bukan untuk ngajari mengemudikan mobil. Masalahnya dia sudah satu tahun lebih sudah punya mobil " ceketer". Nah, sejak saat itu saya mulai belajar mengemudikan mobil di jalan tol Perak yang ketika belum jadi. Instrukturnya siapa lagi, kalau bukan anak Perumnas Tandes. Tapi..dasar "congok" belajar 7 kali, ternyata saya belum piawai parkir mundur.
Sementara hari semakin dekat dengan datangnya si mobil harapan itu. Tak ada jalan lain, saya pun sering bergumam sambil berdoa. "Ya Allah, semoga mobil hadiah ini tidak tergesa-gesa dikirim ke kantor. Karena saya belum bisa mengemudi dengan baik. Semoga sebulan lagi datangnya," doa saya waktu itu.
Koesnan Soekandar bersama anak dan istri tercinta tajin 1986.
Sunguh, doa saya tidak hanya masalah kedatangan mobil agar bisa ditunda, juga pilihan warna saya ke biru juga bisa terlaksana. Yach...doa tinggal doa, tapi Allah Maha Penentu, di hari yang cerah, setelah saya belajar mengemudi untuk yang kedelapan kalinya, tiba tiba saya diberi tahu Cholili kalau mobil hadiah saya sudah diparkir di depan kantor. Lha...Dallah, warna biru. Hem..doa saya dikabulkan Allah SWT. Tapi doa saya agar mobil jangan keburu dikirim oleh dealer, tidak dikabulkan. Wah..payah.. mobil baru, tapi belum mampu 100 persen pegang kemudi.
Terus terang, yang membuat saya agak keder, adalah kehadiran mobil baru ini ternyata Jeep Suzuki Jimny Katana. Gres tahun 1986. Bayangkan, belajarnya pakai "ceketer" dapat jeep baru. Di sisi lain, tentu tak bisa dipungkiri, gembiranya luar biasa. Karena ifu, segera saya ajak M. SIradj (almarhum) untuk mendampingi saya pamer ke istri di rumah. Kami memilih lewat Jalan Undaan dan Siradj pun tak jemu jemunya mengingatkan agar jalannya jangan terlalu ke kiri. Banyak becak!!.
Sesampainya di Jalan Jaksa Agung Suprapto. Tak lupa kami mengisi BBM di sana. Yach ...setelah full, saya pun menstater "si biru" tapi yang mengejurkan, begitu saya masukkan ke gigi satu dan gas sudah oke, ternyata "Si Biru " tak juga mau jalan. Belakangan baru tahu kalau masih saya hand rem. Sementara di belakang kami sudah berderet empat mobil menunggu mengisi BBM. Malangnya, meski tahu masih dihand rem, tapi untuk melepasnya kesulitan. Si Siradj pun sami mawon. Tak pelak lagi klakson mobil di belakang saya, mulai "beteriak". Ini yang menambah panik. Tak urung setelah hampir 7 menit, saya turun minta bantuan pada pengemudi di belakang saya.
"Begini caranya pak...tuasnya ditarik sedikit tinggal dipencet yang paling atas ini. Baru ya pak mobilnya", ujar lelaki itu. Saya mengangguk malu.
"Mudah mudahan sesudah ini si biru tidak lagi membikin malu saya lagi, "doa saya waktu itu.
Memang, setelah " kasus hand rem", si biru bisa selamat tiba di rumah. Meski di sepanjang jalan masih sering meliuk liuk karena pengemudinya masih belum mahir. Sesampainya di rumah, tentu saja istri dan ibu saya ikut bangga menyaksikan hadirnya jeep baru itu. Maka tak ayal lagi mereka menghampiri mobil buatan 1986 itu sambil mengelus elusnya. Nah, setelah puas buka pintu depan, buka pintu belakang si biru, istri dan anak anaknya saya mulai usul jalan jalan ke luar kota. Saya pun menyanggupi, kalau sudah benar benar piawai mengemudi. Yang penting esok harinya saya harus mengambil SIM yang sudah jadi di Jl. Colombo Surabaya.
Benar saja, esoknya anak anak saya ajak ke Colombo dengan rasa bangga.Tapi apa dikata di saat belok, saya masih kurang lihai, sampai sampai anak anak saya yang duduk di belakang, kepalanya sering kebentur. Apalagi sepulang dari Jalan Colombo, rambut ketiga anak saya morat marit. Wajahnya kusam dan pucat. Mereka stress. Semua mengeluh mual mual, karena Si Biru kalau belok sering mendadak. Ditamvah lagi, si biru tak ber AC. "Ini bukan salah mobilnya nak...ini yang gak canggih bapakmu", gumam saya dalam hati. Akibatnya sejak saat ini ketiga anak saya ogah diajak pergi naik jeep, kalau bapaknya belum pintar.
Selang dua minggu, seusai "peristiwa wajah kusam" aaya mengajak ibu saya yang sudah cukup sepuh, jalan jalan ke Tunjungan Plaza ( waktu itu yang ada cuma Tunjungan Plaza 1). Sebelum berangkat saya berdoa agar si biru mudah dikendalikan. Berempat kami berangkat. Sesampainya di jalan Basuki Rahmat Surabaya, si biru jalannya tenang. Bahkan kesannya nyantai. Tapi begitu masuk Tunjungan Plaza. Saya lupa kalau jalannya naik. Tuas presneling tetap masuk di dua. Akibatnya si biru melorot ke bawah. Semua penumpang panik. Terutama ibu saya. Untungnya dua orang Sarpam segera membantu mengganjal roda belakang.
"Ayo pak pindah presneling satu," teriak salah Satpam. Cepat cepat presneling saya pindah. Alhasil jeep Suzuki L 1111 AB ini berhasil naik ke Tunjungan Plaza. Tapi mau tidak mau ini membuat ibu saya agak trauma. Buktinya beliau tidak sepatah kata pun bicara, meski deretan toko menggelar bermacam macam pajangan bagus bagus. Bukan hanya itu, ketika diajak makan pun ibu menolak. Beliau minta pulang saja. Yach... tak sampai satu jam di Tunjungan Plaza, kami pun pulang.
Ach...seperti pulangnya si biru ke markas Jawa Pos, karena seiringnya naiknya saya menjadi Redaktur Senior, maka di tahun 1990 si biru diganti dengan hadiah sedan Ford Laser Gala. Sehingga saya pun mulai tahun itu punya si hitam msnis sebagai gantinya si biru. Hem...Meski begitu, .sampai sekarang saya masih ingat benar: Si biru yang sering membuat hati ini haru biru. (*)