COWASJP.COM – HARI ketiga Tour Para Janda Pahlawan JP (Jawa Pos), Kamis 5 Oktober 2017, dimulai dengan pagi yang santai. Bebas, tidak ada acara kunjungan ke kantor PLN atau instansi lainnya. Sarapan cukup di Hotel Lampion, Solo.
Jika ada Ibu-Ibu yang ingin belanja ya silakan. Tapi naik becak saja, tak perlu naik bus VIP Kodam IV Diponegoro. Hal ini dimaksudkan agar sang pengemudi bus, Kopda Eko Hartono, dan asistennya Pratu Aga Aditya bisa istirahat karena dalam dua hari pertama harus bekerja dari pagi sampai malam.
Kamis 5 Oktober Usai makan pagi Ibu-Ibu pada belanja. Ada yang kembali ke Toko Batik Ria tempat mereka belanja kemarin, ada pula yang ke Pasar Klewer. Dalam rombongan juga ikut isteri penulis sejak berangkat dari Bandara Juanda, Selasa 3 Oktober 2017. Isteri penulis diminta Mas Aqua Dwipayana, pemrakarsa tour, untuk menemani dan melayani tujuh Janda Pahlawan JP tersebut. Agar suasananya lebih kekeluargaan.
Foto bersama di depan RM Dapur Solo. Pak Leonardo, manajer PLN Purwosari (nomor 9 dari kiri). Paling kiri Pratu Aga Aditya, paling kanan Kopda Eko Hartono.
Alhamdulillah isteri saya, Suryatmi, cepat akrab dan kompak.
Maka, ketika Ibu-Ibu belanja, isteri penulis juga ikut. Macam-macam yang dibeli. Ada yang beli busana batik lagi. "Yang di Pasar Klewer jauh lebihi murah," kata Nyonya Kholili Indro.
Ada pula yang beli mobil-mobilan ukuran besar untuk cucu. "Di Surabaya ada sih, tapi saya beli di Solo saja agar besok sampai rumah cucu saya sudah bisa mainan dengan mobil ini," kata Nyonya Mesran.
Pendek kata, barang bawaan para Janda Pahlawan JP itu makin banyak. Semuanya terpaksa beli tas baru yang besar.
Gaya ibu-ibu Janda JP di atas Landrover.
Sampai pukul 11.00, Ibu-Ibu belum balik ke hotel. Penulis yang ketiban sampur jadi koordinator mengingatkan lewat pesan di grup WA Para Janda JP, agar jangan lupa pukul 11.30 harus siap-siap perjalanan Solo-Jogjakarta.
"Siap meluncur ke hotel," jawab Nyonya Mesran lewat grup WA.
Pukul 12.00 Kamis 5 Oktober, semua anggota rombongan tour telah berkumpul lagi di Hotel Lampion. Mbak Aris Suryati, Cowaser Solo juga sudah gabung untuk menemani.
Pukul 12.20 bus VIP Kodam IV Diponegoro bergerak meninggalkan hotel. Rombongan mampir dulu di RM Pondok Solo, masakan khas Jawa, karena dijamu makab siang oleh Manajer PLN Purwosari, Solo, Bapak Leonardo. Beliau kenalan baik Mas Aqua Dwipayana juga. Semuanya lahap karena semua jenis lauk dan sayurnya lezat dan pas dengan selera mereka.
"Saya senang sekali bisa menjamu Ibu-Ibu Janda JP. Tidak sekarang saja, lain hari kalau ibu-ibu ada tour lagi ke Solo kabari saya. Kita bisa makan bersama lagi," kata Pak Leonardo.
Pendek kata, Para Janda Pahlawan JP terlihat ceria bahagia. "Nembih sepindah punika kulo ngraosaken semangat kekeluargaan kados sakpunika (Baru sekarang saya merasakan semangat kekeluargaan seperti sekarang," kata Nyonya Masduki. Almarhum Masduki dulu sopir ekspedisi JP.
WISATA LAVA MERAPI
Mas Aqua Dwipayana, pemrakarsa sekaligus penyandang dana Tour Pertama Para Pahlawan JP ini suka menyembunyikan agenda tour. "Agar surprise," katanya singkat sembari senyum.
Sebelum masuk Jogjakarta, bus VIP Kodam Diponegoro berbelok ke utara. "Ke mana ini kita, Mas," tanya saya.
"Kita ajak ibu-ibu offroad di lokasi aliran lava Gunung Merapi (yang meletus 2010)," jawabnya.
"Asyiik!" sahut Nyonya Bambang Petruk dkk. Dugaan saya salah. Saya mengira mereka takut, tapi ternyata
malah semangat bergairah.
Bus VIP diparkir di halaman Pos Wisata. Dua Landrover terbuka yang disewa datang. Satu bisa muat 5 orang, satunya lagi 7 orang. Hanya Nyonya Elman yang tidak ikut karena dua tahun lalu pernah offroad di sini bersama mantan kawan-kawan SMP-nya.
Medan offroad area lintasan serbuan awan panas dan lava Merapi memang mengasyikkan. Sopir merangkap guide menjelaskan seraya menuding ke arah kanan, dulu di situ lembah dan ada sungainya. Setelah letusan Merapi tertimbun habis. Yang sini (yang dilewati Landrover) dulu kampung pedukuhan. Sekarang lenyap sudah," urai sang guide.
Di Dusun Petung - kalau ditarik garis lurus 7 KM dari puncak Merapi - ada rumah yang masih berdiri dan sekarang jadi objek wisata. Rumah itu ditata ulang. Kursi2 dan meja diletakkan di tempat semula. Semua penghuninya selamat karena sudah mengungsi sebelum meletus. Karena yang menata ulang pemiliknya sendiri maka semuanya persis seperti sebelum diterjang gelombang dahsyat awan panas yang mengusung pasir dan bebatuan amat panas.
Kursi dan meja jati masih utuh tapi gosong dan bolong tengah karena jalinan rotannya musnah terbakar. Gelas-gelas masih ada dan sebagian pecah, tapi telah berubah bentuk melengkung-lengkung karena kena panas.
Gamelan dan gong masih ada, tapi gongnya sudah penyok. Beberapa sepeda motor masih ada, tapi gosong dan bannya telah lenyap.
Sebagian temboknya terlihat bekas-bekas hantaman bebatuan dari puncak.
Perjalanan dilanjut ke arah puncak sampai Desa Kaliadem yang hanya berjarak 4 KM dari puncak.
Ibu-ibu Janda itu malah berdiri di jeep. Tubuhnya mereka terguncang-guncang karena empasan jalan yang bergelombang dan berbatu-batu. Mereka terlihat riang bebas. Berteriak-teriak dan terbahak-bahak.
Rongsokan sepeda motor yang tergilas awan panas Merapi.
Hanya Ny Rais yang tetap duduk di jok depan samping sopir karena tubuhnya lemah di usia 67 tahun. Tapi sorot matanya berbinar-binar.
Sampai di Desa Kaliadem terlihat jajaran warna putih di kejauhan. "Di situlah dulu kediaman Mbah Maridjan. Beliau gugur di situ," terang guide merangkap sopir Landrover. "Mari kita foto bareng di Bunker Kaliadem," lanjutnya. Letaknya tak jauh dari tempat parkir. Di situ juga ada sederet warung sederhana.
Sapi perah warga yang tinggal rangka tulang setelah tergilas lava dan awan panas.
Waktu menunjukkan pukul 17.15. Kabut dari puncak mulai turun. Rombongan pun balik menuju Pos Wisata.
"Nanti kita menyusur sungai yang tercipta oleh alur lava. Dua Landrover perlahan turun berkelok kelok. Masuk sungai dangkal berbatu-batu. Landrover terus melaju. Deburan dan cipratan air yang dilindas Landrover terburai indah. Keindahan dan keceriaan ibu-ibu sulit digambarkan. (*)