COWASJP.COM – “INNALILLAHI WA INNA ILLAHI ROJIUN,” begitu suara lelaki yang terdengar nyaring dari balik spiker masjid di sekitar Graha Pena Lombok Post, Mataram, usai salat magrib Rabu 25 Oktober 2017. Ucapan untuk seseorang yang telah meninggalkan dunia itu sering berkumandang melalui pengeras suara di masjid-masjid Kota Seribu Masjid ini.
Itulah tanda pemberitahuan kepada semua warga masyarakat sekitar bahwa ada seorang warga muslim yang meninggal dunia pada hari itu. Namun, tidak semua orang yang meninggal di Bumi Sasak langsung dimakamkan pada malam itu juga. Mereka tetap menunggu kesepakatan pihak keluarga tentang kapan harus dikebumikan.
Lantas? Ya.. kumandang ucapan untuk orang meninggal dunia itu, telah mengingatkan saya pada pesan singkat Aqua Dwipayana. Motivator nasional, yang baru saya akrabi setelah kali pertama jumpa di acara silaturahim dengan Big Bos Jawa Pos Grup Dahlan Iskan, di sebuah hotel berbintang di Surabaya ini, meminta saya agar menulis kesan atau suritauladan almarhumah Ibu Susianawati Harlim Suwardana (80 tahun) itu agak panjang.
BACA JUGA: 4 Jam di Surabaya, Fokus Melayat Susianawati Harlim Suardana
Aqua menyampaikan pesan tersebut empat hari lalu. Via WhatsApp (WA). Ia seakan tersentuh dengan penyampaian belasungkawa saya atas meninggalnya ibu kandung rekan karibnya, Ventje Suardana, yang juga Direktur Utama Duta Anggada Jakarta Realty dan pemilik Hotel Courtyard Marriott Seminyak Bali dan Hotel Mercure Cikini Jakarta ini.
BACA JUGA: Selamat Jalan Ibu Susianawati Harlim Suardana
“RIP mama, ibunya Pak Vintje yang saya pernah ke rumahnya bersama Bung Aqua. Orangnya baik sekali dan saya seperti keluarga sendiri atas penyambutannya walaupun baru kenal. Semoga Tuhan mencatat amal kebaikannya.” Tulis saya di japri WA Aqua.
Tak lama kemudian, Aqua membalasnya:“Aww, siap Cak Amu. Alhamdulilh n amin ya robbal alamin. Jika berkenan mohon tulis komentar Cak Amu yang panjang ttg beliau. Salam hormat buat keluarga. Makasih banyak Cak Amu.’’
Permintaan Aqua ini belum sempat saya balas. Belakangan, saya memang jarang buka WA pribadi maupun grup. Maklum, setelah saya bergabung dengan koran Jawa Pos Grup di Mataram, Lombok Post, waktu saya untuk membuka atau menbaca postingan di media sosial seakan kurang. Kalaupun sempat, itupun menjelang tidur dan sudah mengantuk. Paginya sudah padat dengan rutinitas harian.
Kabar-kabur media sosial hanya saya lihat untuk mengikuti perkembangan dan kabar terkini. Terutama memantau sanak keluarga dan handai tolan. Kabar yang paling saya tunggu adalah berita duka dan gembira. Lalu postingan dakwah dan info kesehatan yang akurat. Bukan hoax he hee!
Dahlan Iskan (kanan) dan Rudy Suardana.
Lantas? Ya.. kabar meninggalnya Ibu Susianawati yang jenazahnya baru dikebumikan 30 Oktober itu, bisa menjadi suritauladan saya pribadi. Beliau termasuk sosok seorang ibu yang baik. Tidak melihat ini anak siapa, itu anak siapa. Gaul dan familiar!
Hal itu juga dirasakan Aqua, yang setahun setengah merasakan kasih sayangnya. Bahkan Aqua menyebutnya sebagai “Ibu Angkat” karena sifat keibuaan istri Rudy Suardana, pemilik Samekarindo Indah, Main Dealer Suzuki Kaltim dan Kaltara ini, terasa seperti ibu kandungnya sendiri yang sudah mendahuluinya. “Beliau sudah seperti ibu kandung saya sendiri Cak Amu,” pujinya di depan Ibu Susiana.
Saya sendiri merasakan hal yang sama. Walau baru saya kenal 10 Maret 2017 lalu, nenek tujuh cucu dari empat anaknya ini, ramah sekali, lemah lembut dan bersahaja. Senyum dan sapanya menyejukkan hati.
Bertemu dengannya, serasa seperti berhadapan dengan ibu sendiri, yang merindukan anaknya pulang kampung. Adem! “Ibu Susiana. Ini teman saya namanya Abdul Muis, panggilannya Cak Amu. Beliau muridnya Pak Dahlan Iskan, Ibu masih ingaaat..” begitu Aqua memperkenalkan saya, yang langsung dipersilahkan duduk oleh nenek yang tampak masih cantik dan ceria ini.
Tak lama kemudian, saya juga diperkenalkan suaminya. “Cak Amu, ini Pak Rudy. Beliaulah yang membantu Pak Dahlan ketika awal membangun Kaltim Pos. Memberikan dana untuk pembelian kertas. Beliau menganggap Pak Dahlan seperti “anaknya”,” jelas Aqua yang disambut senyum Pak Rudy hingga matanya berkaca-kaca mengingat Pak Dahlan.
Dari kiri: Ventje Suardana (baju putih), Rudy Suardana, Dahlan Iskan (batik abu-abu).
Pak Rudy, memang sudah tidak bisa berbicara apa-apa. Bisanya hanya mesem. Kemudian meneteskan air mata. Dia hanya bisa mendengarkan cerita Aqua dari kursi roda elektriknya. “Beliau sudah lama kena stroke. Tapi beliau mandiri, tidak menyusahkan istrinya,” aku Ibu Susiana.
Dengan isyarat, Pak Rudy kemudian mengajak kami makan siang bersama. Dia makan di kursi rodanya. Kami makan di ruang makan yang tak jauh dari meja tamu. Dua pembantu setianya melayani kami dengan menyiapkan makanan siang di meja yang tertata rapi dan bersih.
Sedangkan Ibu Susiana tampak sibuk, keluar masuk ke kamarnya. Rupanya dia mengambil kue tart dan kue-kue dalam toples disusun rapi di meja tamu.
Seusai makan siang, Pak Rudy menemani kami lagi meja tamu. Kami ngobrol santai dan penuh kekeluargaan. Ibu Susiana banyak bercerita tentang Pak Dahlan. Ia bilang Dahlan sosok pria yang gigih. Senang bekerja dan sopan kepada orang tua. “Dia sudah kami anggap anak sendiri,” akunya sembari terkekeh.
Bahkan, Ibu Susiana juga ingat betul dengan dua teman kami yang baru dikenalkan Aqua. Yaitu Slamet Oerip Prihadi dan Eko Budiono. “Salam saya untuk Pak Eko dan Pak Slamet ya. Pak Muis jangan kapok di rumah ibu. Kalau gak ada Pak Aqua silahkan main kemari,” pintanya sembari menyodorkan dua kueh dalam toples ketika kami berpamitan pulang.
Sejak itu, saya tidak sempat berkunjung lagi, di rumahnya kawasan Darmo Satelit Surabaya. Karena itu, saya terkejut begitu membaca tulisan Aqua tentang kepergiannya. Semoga Tuhan menerima amal baik Ibu Susianawati. (*)