COWASJP.COM – Sembilan tusukan di jasad Mujiyani (43). Hasil forensik Polda Jateng: "Tusukan mematikan, di bawah leher, pisau ambles, menembus paru," kata Kasat Reskrim Polres Purworejo, AKP Agus Budi Yuwono ke pers, Jumat (12/11/21).
***
Mujiyani ditemukan tewas berkalang darah. Di rumah kontrakannya di Kampung Aglik Selatan, Kelurahan Semawung Daleman, Kecamatan Kutoarjo, Purworejo, Jawa Tengah, Jumat (12/11/21). Perkiraan waktu kematian, dini hari tersebut.
Dari hasil forensik, tampak bahwa si pembunuh marah luar biasa. Sembilan tusukan tidak dirinci, karena dinilai sadis.
Penemu mayat puteri sulung Mujiyani, Eka Nova (25). Mujiyani, janda empat anak, kontrak rumah sendirian di situ sejak September 2021. Empat anaknyi mukim di rumah nenek mereka. Eka kebetulan menjenguk, Jumat pagi.
Polisi menerima laporan, segera meluncur ke TKP. Olah TKP. Memeriksa para saksi. Disimpulkan, terduga pelaku: Teguh Munandar (31), mantan pacar Mujiyani.
Teguh ditangkap Jumat malam itu juga. Di Cilacap. Sekitar 145 kilometer dari TKP. Justru di saat Teguh sudah di atas bus yang baru berangkat dari terminal. Ia hendak kabur lagi. Ia diringkus polisi bersenjata, tanpa melawan.
Dalam interogasi polisi, Teguh mengakui sebagai pembunuh. Barang bukti, pisau dapur, baju belepotan darah, disita polisi.
Pada gelar perkara bersama wartawan di Mapolres Purworejo, Jateng, Sabtu (13/11/21) ia mengatakan:
"Saya bawa pisau dari rumah, ya untuk membunuh. Sudah direncanakan. Saya datang jam 11 (tiba di TKP pada Kamis, 11 November 2021, pukul 23.00)."
Setelah Teguh masuk rumah, Teguh-Mujiyani cekcok. Sebab, Mujiyani menelepon seseorang, dengan gaya bicara mesra. Kepada (yang diperkirakan Teguh) lelaki.
Teguh: "Saya cemburu. Karena, saya sudah tahu, dia mau nikah lagi. Rupanya orang yang ditelepon itu kayaknya calon dia. Saya cemburu."
Teguh Munandar (31 tahun, masker putih), pelaku pembunuhan Mujiyani (43) yang ditemukan bersimbah darah di kontrakannya di Purworejo (FOTO: Rinto Heksantoro/detikcom)
Ditanya cara membunuh, ia jawab rinci: "Saya dorong, dia teriak. Saya panik, terus saya ambil pisau, saya dorong lagi. Terus saya tusuk."
Ditanya lagi: Berkali-kali? "Ya. Karena dia teriak."
Konstruksi kasus: Pada akhir 2019, ketika Teguh pegawai koperasi di Pituruh, Purworejo, ia kenal Mujiyani, yang nasabah koperasi tersebut. Mujiyani janda empat anak, Teguh duda dua anak.
Perkenalan berlanjut. Langsung, hidup bersama (layaknya suami-isteri) selama setahun. Kemudian mereka putus. Teguh juga diberhentikan dari koperasi, karena omset sepi, akibat pandemi Corona.
Lalu Teguh ke Jakarta. Berdagang sayur pakai gerobak, keliling.
Setelah beberapa bulan putus, mendadak Teguh ingin balikan. Entah mengapa.
Jangan salah. Mujiyani cantik. Bodinya sintal. Meski pernah beranak empat. Barangkali, kecantikan Mujiyani, mengikuti Teguh, mendorong gerobak sayur. Ke mana-mana. Bermain-main di pelupuk mata. Menggerogoti kalbu yang lara.
Teguh telepon Mujiyani. Mengajak balikan. Ada peribahasanya: "Teklek kecemplung kalen. Timbang golek aluwong balen."
Ternyata Mujiyani menolak. No way... Tidak segampang itu, Mas Brow... Enak aja. Malah, Mujiyani mengaku akan menikah (dengan pria lain).
Teguh memaksa balikan. Mujiyani tetap menolak. Cekcok. Akhirnya terjadilah itu. Bunuh.
Konstruksi kasus pembunuhan itu mirip seperti analisis Kriminolog dari The University of Gloucestershire, Inggris, Prof Dr Jane Monckton Smith. Persis. Analisis Prof Smith ini sangat terkenal di Eropa. Sekarang.
Prof Smith, sebelum jadi guru besar kriminologi, adalah perwira polisi wanita Inggris. Delapan tahun di lapangan, Divisi Pembunuhan.
Prof Smith dalam bukunya: In Control: Dangerous Relationships and How They End in Murder (Maret 2021) merinci, tanda-tanda calon pembunuh, terkait hubungan asmara pria-wanita.
Pembunuh tidak bertindak tiba-tiba. Melainkan ada indikatornya. Ada tanda-tandanya.
Buku itu ditulis berdasar hasil riset, ketika Smith masih polisi. Riset terhadap 372 kasus kekerasan terkait hubungan asmara pria-wanita di London, baik menikah, pacaran, hidup bersama, pelacuran. Dari jumlah kasus itu, 78 persen pembunuhan.
Smith menyimpulkan, ada pola dalam setiap pembunuhan jenis tersebut. Dia sebut sebagai: "Garis waktu pembunuhan. Dalam delapan tahap", sebagai indikator. Ini khusus untuk pembunuh pria terhadap wanita, terkait asmara.
Teguh membunuh Mujiyani, bisa dikaitkan dengan delapan tahapan Prof Smith itu. Simak berikut ini:
1) History of abuse (riwayat pelecehan). Pria pembunuh pasangan wanitanya telah melakukan kekerasan, sebelumnya. Baik terhadap wanita yang jadi pasangannya sekarang, atau wanita sebelumnya.
Di kasus Agus Purworejo, soal riwayat belum terpublikasi. Masih digali polisi.
2) A fast-moving relationship (hubungan yang bergerak cepat). Mayoritas dari 372 kasus kekerasan di Riset Smith itu, hubungan asmara pelaku-korban, bergerak relatif sangat cepat. Dari kenal sampai intim. Selama keintiman, terus bergejolak. Putus-nyambung. Sampai putus beneran.
Di Pembunuhan Purworejo, cocok. Teguh - Mujiyani kenal di kantor koperasi, langsung intim. Langsung check-in. Maksudnya, hidup bersama serumah.
3) Coercive control (kontrol koersif). Selama bersama, si pria akan mengontrol wanitanya. Baik secara emosional, finansial, dan sosial.
Kontrol koersif juga termasuk: Pelaku terhadap korban bersikap menyakiti, menghukum, atau menakut-nakuti korban. Jika korban tidak menuruti garis kontrol.
Di Pembunuhan Purworejo, soal ini belum terpublikasi.
4) Trigger (pemicu). Setelah hubungan menjadi semakin terkendali, semakin ketat, konsekuensinya timbul tidak puas pihak wanita. Berkembang jadi tidak simpatik. Berkembang jadi, niatan putus.
Reaksi pihak wanita itu dianggap oleh si pria, sebagai pertanda bakal putus. Atau setidaknya, wanita berniat menghindari dekapan kontrol pelaku. Yang bagi pria, ini dalam kondisi bahaya. Dan, inilah pemicu ledakan kemarahan.
Di Pembunuhan Purworejo, indikator ini sangat jelas. Bahkan, muncul di perilaku Mujiyani (menelepon) di detik-detik akhir hidup.
5) Escalation (eskalasi). Akibat pemicu itu, pria bersikap beragam. Tapi, umumnya malah meningkatkan kontrol, dengan cara menakuti wanita. Ancaman-ancaman. Baik pria mengancam membunuh wanitanya. Atau pria mengancam bunuh diri.
Di Pembunuhan Purworejo, indikator ini belum terpublikasi.
6) Change of tactics (perubahan taktik). Jika ancaman pria dianggap tidak berhasil, pria akan mempertimbangkan mengubah taktik. Bisa pindah ke lain hati. Atau mencari wanita lain. Atau membalas sakit hati ke wanita penolak.
Di Pembunuhan Purworejo, terbukti. Teguh memilih membalas sakit hatinya terhadap Mujiyani.
7) Planning (perencanaan). Ini dilakukan pelaku, jika ia pilih membalas sakit hati akibat penolakan wanita. Perencanaan menyakiti. Atau langsung perencanaan pembunuhan. Atau perencanaan menyakiti, yang kebablas jadi pembunuhan.
Di Pembunuhan Purworejo, itu terbukti. Teguh dari rumah sudah membawa pisau dapur besar, bergagang fiber warna hijau. Panjang pisau: Dari leher, menancap, menembus paru.
8) Homicide (pembunuhan). Terjadilah sudah.
Prof Smith menyusun teori itu, sebagai warning terhadap wanita. Pelajari-lah indikator itu. Jika masih ingin melihat matahari. Esok pagi.
Dalam perspektif Smith, ia menyumbangkan pemikiran dan pengalaman sebagai polisi, demi keselamatan wanita. Universal, tidak hanya di Inggris. Karena semua pembunuh, punya kronologi seperti itu.
Pertanyaannya: Wahai sista, pasanganmu kini pada tahap nomor berapa? (*)