COWASJP.COM – Ada kesibukan baru di sebuah bangunan serba guna tak jauh dari rumah saya di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Mendadak banyak driver Go Food mengkal di situ. Menjelang jam makan siang apalagi.
Rupanya bangunan milik RT itu disewakan pengurusnya kepada sebuah restoran yang khusus melayani konsumen dengan aplikasi pesan antar. Bangunan itu cukup panjang. Dibagi menjadi 5 petak. Yang 4 petak disewakan. Yang 1 petak digunakan pengurus RT itu.
Itulah konsep restoran model baru yang bermunculan di Jakarta sejak adanya aplikasi pesan antar makanan. Model bisnis restoran itu dikenal dengan sebutan ghost kitchen alias dapur hantu.
Disebut ghost kitchen karena hanya melayani penjualan secara online. Konsumen membeli melalui aplikasi seperti Go Food, Grabb Food, Shopee Food, atau Traveloka. Tidak ada ruang untuk makan di tempat. Satu-satunya ruangannya adalah dapur itu.
Ghost kitchen merupakan peluang usaha yang menarik. Modalnya tidak perlu sebesar restoran beneran karena hanya butuh ruangan untuk memasak. Interior yang menjadi nilai tambah sebuah restoran konvensional tidak ditemukan di ghos kitchen.
Langkah untuk memulai bisnis ghost kitchen dimulai dengan membuka restoran fisik atau offline. Restoran itu kemudian Anda daftarkan sebagai merchant penyedia aplikasi pesan antar makanan. Gampang kan?
Kalau mau lebih cepat lagi, langkah ini mungkin bisa dilakukan. Buka saja restoran sendiri dengan cara membeli lisensi restoran lain yang membuka kemitraan melalui sistem waralaba atau franchise. Setelah itu, barulah restoran tersebut Anda daftarkan ke operator aplikasi.
Dengan cara itu, Anda sudah punya restoran. Tetapi hanya melayani pesan antar saja. Tidak ada layanan makan di tempat.
Setelah itu restoran didaftarkan sebagai merchant di aplikasi pesan antar makanan apa saja. Tidak harus eksklusif. Semua penyedia aplikasi pesan antar makanan sebaiknya digunakan untuk memberi pilihan lebih banyak kepada konsumen.
Sudah lama saya mengamati kemunculan ghost kitchen di Jakarta. Konsep ini dipelopori PHD yang menjadi mitra Pizza Hut. PHD hadir di berbagai tempat untuk melayani pelanggan Pizza Hut di sekitarnya. Belakangan banyak restoran lain yang meniru PHD.
Saya pun ingin mencoba konsep ghost kitchen ini. Konsepnya tetap bisnis. Tetapi semangatnya filantropi. Gabungan konsep bisnis dan semangat filantropi ini boleh disebut dengan istilah filantropreneur.
Polanya seperti ini: Dicari dulu satu rumah makan milik donatur atau muzaki Lazismu yang sudah establish dan bersedia menjual lisensi waralaba. Restoran itu kemudian dikawinkan dengan lima hingga sepuluh ghost kitchen yang mempekerjakan tenaga kerja dari asnaf penerima zakat, infak dan sedekah.
Tentu saja pengusaha dan karyawan ghost kitchen itu harus melalui program pendidikan dan pelatihan lebih dulu. Supaya keterampilannya memenuhi standar industri.
Kalau perlu mereka harus mengikuti program Darul Arqam. Lewat program ini diberikan pengenalan nilai-nilai kemuhammadiyahan dan semangat al-Maun yang mewarnai Lazismu.
Dari mana modalnya? Tentu saja dari para muzaki Lazismu. Biarlah anak-anak milenial di Divisi Fundraising Digital Lazismu Pusat yang memikirkannya: Sumber dananya dan cara menggalangnya. Yang tua-tua cukup menjadi penasihat saja. Termasuk saya.(*)
Penulis: JOKO INTARTO, Wartawan Senior di Jakarta.