COWASJP.COM – Suruhlah orang kita bikin tulisan tentang perusakan lingkungan. Mereka akan menggelar seminar, simposium, dan lokakarya dengan makalah yang jika dihimpun akan jadi buku tebal. Mungkin 100 halaman, 200 halaman. Atau mungkin lebih tebal lagi.
Kita juga punya menteri lingkungan. Masih pula punya bapedal (badan pengendalian dampak lingkungan) di daerah. Ada banyak LSM lingkungan. Ada UU Pokok Pengelolaan Lingkungan. Masih ada Keppres No 32/1990 tentang pengaturan kawasan lindung lengkap dengan ancaman sanksinya. ogiru sokuja
Lalu berkurangkah lingkungan dan kawasan yang rusak dan mengancam jadi bencana alam?
Orang yang rajin mengikuti kampanye pencegahan perusakan lingkungan akan mudah mencatat. Seolah terjadi perlombaan. Aksi-aksi yang mengajak publik agar peka, peduli, dan berempati terhadap kelestarian lingkungan terus meningkat dari waktu ke waktu. Namun, bencana alam yang disebabkan perusakan lingkungan juga meningkat tajam.
Suruhlah orang Amerika memikirkan upaya memanfaatkan kekayaan alamnya. Mereka akan tampil dengan risalah tak lebih 23 halaman. Eksak, praktis. Dan ini dia, masih dilengkapi dengan ilustrasi menarik.
Dalam the History of America, Anda akan mencatat bahwa orang Amerika tak cuma punya bekal mengagumkan untuk melakukan sesuatu yang tak bikin ruwet. Mereka juga terkenal serba praktis.
Jurnalisme koran-koran AS bisa jadi contoh. Jarang ada berita bertele-tele. Ringkas. Jarang bersambung ke halaman lain. Para kolumnis di sana hanya melontarkan idenya pada publik tak lebih dari 1500 karakter 4 halaman kwarto spasi ganda.
Orang Amerika dikenal sebagai bangsa yang terbiasa dengan skala besar, namun dengan desain praktis, tetapi hasil dan manfaat maha besar, semacam Niagara Fall yang amat kesohor itu.
***
Membuat bandingan seperti ini memang tak klop. Tetapi duduk perkaranya bukan soal yang tak klop itu. Namun, ketidakimbangan antara banyaknya gagasan untuk berkomitmen pada sebuah permasalahan darurat yang harus dipecahkan mendesak dengan perilaku dan respons untuk menanggulangi atau memecahkan masalah.
Lalu yang kita jumpai ialah talk only, no action. Banyak bicara, tak banyak tindakan. Tak banyak melakukan sesuatu yang diperlukan untuk memecahkan persoalan.
***
Air mata duka terhadap bencana alam yang tiap tahun menerpa banyak daerah di tanah air belum kering. Ibaratnya masih basah. Tangis, derai air mata, dan kisah-kisah pilu korban banjir bandang dan longsor ini belum tutup buku. Banyak yang tewas. Harta benda ludes. Fasilitas umum luluh lantak.
Ketika itu pemerintah menyatakan terus terang bahwa bencana banjir dan longsor itu karena penjarahan hutan atau penyalahgunaan alias pengalihfungsian lahan. Atau disebabkan penggundulan kawasan hutan dan pegunungan yang mengelilingi kawasan. Semua orang jadi tahu. Mengakui bahwa bencana itu karena ulah mereka juga.
Guru besar kebencanaan Universitas Gajah Mada (UGM), Prof Suratman, merespons serius banjir bandang yang melanda di Kota Batu, Malang Kamis, 4 November 2021.
Menurut Prof Suratman banjir bandang yang menerjang Kota Batu, Malang dan menewaskan 6 (enam) warga itu akibat alih fungsi lahan yang dilakukan manusia. "Banjir di Kota Batu itu karena peringatan ekosistem dirusak manusia," tutur Suratman, pada Kantor Berita Antara.
***
Dan di sinilah perkara itu. Seolah jadi suratan takdir. Pengetahuan dan pengakuan tentang kelalaian atau ulah demi ulah merusak lingkungan dan kawasan itu tak pernah menjadi sumpah dan ikrar untuk tidak mengulang kembali.
Tetap saja bencana banjir dan longsor itu tak membuat banyak kalangan stop berulah lagi. Mereka tetap cuek. Bergeming. Tak mau mendengar dan tak mau belajar.
Kawasan hutan atau pegunungan yang sudah gundul dan longsor lalu meminta begitu banyak korban harta dan jiwa manusia tetap tak membuat jera. Perusakan hutan dan penggundulan pegunungan di banyak daerah tetap saja berlanjut. Seolah tak terjadi ancaman apa pun.
Ndablek, cuek, dan bergeming itulah pangkal banjir bandang di Kota Batu yang meluluhlantakkan tujuan wisata utama di Jawa Timur yang sampai Jumat 5 November 20201 menewaskan 6 (enam) orang.
Lalu ketika peristiwa itu terjadi dengan enteng pihak yang berkuasa atas kawasan lindung Batu itu mengatakan: Tidak akan menyalahkan siapa-siapa. Ini musibah alam yang datang tiba-tiba. Ini akibat Badai La Nina Tidak bisa Diduga.
Tiba-tiba? Tidak diduga? Orang yang bernalar sehat akan melawan pernyataan itu. Atau balik berucap: Hanya kuda tuli yang terperosok pada jurang yang sama. Bodoh atau cermin jiwa dan nurani yang beku. (*)