COWASJP.COM – TARIF tes Covid-19 polymerase chain reaction (PCR) kini terjun bebas. Kalau dulu tarif resminya adalah Rp 900 ribu atau lebih, sekarang ditetapkan Rp 300 ribu. Bahkan ada yang jauh di bawah itu. Sehingga layak disebut tarif itu terjun bebas.
Sebenarnya tarif Tes PCR yang sebelumnya berlaku Rp 450.000 sampai Rp 550.000, mulai Rabu (27/10/2021) ditetapkan menjadi Rp 275.000 untuk wilayah Jawa-Bali. Sementara, untuk wilayah luar Jawa-Bali, pemerintah mematok tarif maksimal sebesar Rp 300.000.
Apakah hal ini sesuai dengan permintaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu, agar tarif yang dianggap terlalu tinggi itu segera diturunkan? Untuk meringankan beban masyarakat. Yang baru saja termehek-mehek secara ekonomi akibat pemberlakuan PSBB maupun PPKM yang berlarut-larut. Sehingga yang pegawai tidak bisa bekerja untuk mencari nafkah. Yang pedagang dan pengusaha tidak bisa berusaha guna menggerakkan ekonomi keluarga.
Dan kemarin, Jum’at (29/10/2021) ada tarif yang lebih menarik lagi. Karena maskapai penerbangan Lion Air menetapkan Tarif Pelayanan PCR-nya hanya Rp 195 ribu. Menurut Corporate Communications Strategic of Lion Air Group, Danang Mandala Prihantoro, diturunkannya harga tersebut sebagai bentuk dukungan maskapai, untuk mempercepat pemulihan ekonomi serta membantu mengakomodir kebutuhan uji kesehatan Covid-19.
Hanya saja, katanya, ketentuan itu berlaku khusus untuk Jabodetabek. Artinya khusus bagi para penumpang yang berangkat dari Bandara Soekarno Hatta dan Bandara Halim Perdanakusuma.
Penurunan harga Tes PCR yang sudah terjadi beberapa kali mestinya disambut gembira masyarakat banyak. Tapi tak ayal tetap saja memantik berbagai reaksi. Di media sosial Twitter, misalnya, banyak yang mengomentari turunnya harga tes PCR menjadi Rp 300.000, dengan perasaan dongkol. Pertanyaannya: Kenapa baru sekarang diberlakukan tarif rendah? Kenapa tidak dari awal, sehingga rakyat tidak merasa terlalu dibebani?
Di samping itu, di Twitter ada pula yang menyoroti keuntungan yang sudah didapatkan penyedia jasa tes PCR ketika harga di kisaran Rp 900.000. Mereka mempertanyakan: Apakah penurunan harga sekarang ini dilakukan karena para supplier-nya sudah merasa puas dapat untung gede?
Pertanyaan seperti di atas tentu saja bisa muncul karena kebijakan pemerintah yang tidak transparan. Masak harga Tes PCR yang awalnya Rp 900.000 turun menjadi Rp 450.000 dan Rp 550.000. Sekarang bisa diturunkan lagi menjadi Rp 300.000,-. Tanpa adanya embel-embel bahwa biaya itu disubsidi pemerintah. Koq bisa?
“Padahal hampir setahun lho harganya bertahan di Rp 900.000. Coba bayangin keuntungannya,” begitu diungkapkan sebuah akun di media sosial Twitter.
SIAPA YANG TANGGUNG MALU?
Kenyataan tarif Tes PCR yang terjun bebas tak pelak melahirkan reaksi beragam, tentu saja. Bisa jadi hal ini sebagai akibat dari penanganan penyebaran virus Covid 19 hampir dua tahun terakhir yang terkesan acakadut. Mulai dari keputusan yang ragu-ragu untuk memberlakukan aturan yang mestinya ditetapkan. Apakah Karantina Wilayah (Lockdown), Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM)? Meskipun tujuannya untuk menjaga herd immunity (kekebalan kelompok) di masyarakat, namun banyak yang merasa begitu direpotkan.
Walaupun tidak banyak yang bisa menolak. Sehingga kegiatan vaksinasi pun telah berlangsung ramai luar biasa.
Pelaksanaan tes PCR, tes Rapid Antigen dan Vaksinasi terkesan sangat dipaksakan. Rakyat seperti ditakut-takuti dengan ancaman virus yang mematikan itu. Meskipun kegiatan vaksinasi umumnya digratiskan, namun pernyataan beberapa pejabat bahwa akan ada juga vaksinasi berbayar melahirkan kecurigaan. Bahwa sejumlah kebijakan itu diberlakukan untuk mendapatkan keuntungan yang menggiurkan bagi pihak tertentu. Karenanya kecurigaan sementara kalangan bahwa rakyat seperti dijadikan sapi perahan tentu cukup beralasan.
Tes PCR. (FOTO: beritasatu.com)
Terkait kecurigaan itu, dengan terjun bebasnya tarif Tes PCR ini sepertinya rahasia yang ada selama ini kian terbongkar. Bahwa pemberlakuan tarif terlalu tinggi awalnya sangat memalukan. Meskipun tidak satu pihak pun yang merasa menanggung malu. Karena telah menetapkan harga yang begitu tinggi, sementara kenyataannya dengan harga yang paling rendah sekarang saja sebenarnya sejumlah pihak terkait sudah mendapatkan keuntungan. Sehingga rakyat terus bertanya: Kenapa tarif yang terlalu tinggi itu diberlakukan dalam tempo yang cukup lama?
Bagaimanapun, menurut keterangan Sekretaris Jenderal Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-Alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab), Randy Teguh, sejumlah pihak masih mendapat keuntungan meskipun harga tes PCR turun. Dengan harga murah Rp. 270.000 saja sudah untung. Dan keuntungan itu tidak hanya didapatkan distributor, tapi juga pengelola klinik atau lab yang menyediakan jasa tersebut. Seperti dikatakan Randy saat dihubungi MNC Portal Indonesia, Sabtu (30/10/2021).
Bahkan, menurut dia, tarif tes PCR yang dibayar masyarakat selama ini bukan hanya mencakup harga dari alat tesnya. Melainkan juga sudah termasuk biaya alat pelindung diri (APD) dari perawat atau petugas laboratorium yang mengambil sampel, biaya swab stick, alat pelindung diri (APD), biaya jasa dokter, dan sebagainya.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, penetapan tarif tes PCR Rp 300.000 sudah termasuk yang termurah di dunia. Tapi beberapa sumber menyebutkan bahwa di Australia tarifnya adalah Rp 0 alias gratis. Sedangkan di India 500 rupee atau sekitar Rp 95.000. Itu pun setelah diturunkan lagi dari sebelumnya 800 rupee atau setara Rp 150.000.
Setelah diturunkan jadi Rp 300.000, apakah tarif itu masih dirasakan berat oleh masyarakat? Komentar yang cukup menarik justru datang dari Ketua Satgas Covid-19 IDI Prof Zubairi Djoerban. Yang katanya merasa resah oleh tarif yang berlaku. "Bayangkan kalau sekeluarga 4-5 orang," kata Zubairi dalam akun twitternya @ProfesorZubairi, seperti dikutip merdeka.com, Selasa (26/10).
Karena itu, dia berharap pemerintah mencairkan subsidi. "Harga tes PCR jadi Rp 300 ribu sepertinya masih berat bagi sebagian besar kalangan. Apalagi jika diterapkan di seluruh moda transportasi. Bayangkan kalau sekeluarga 4-5 orang,” ungkapnya.
Apakah yang diharapkan Prof Zubairi ini bisa jadi kenyataan? Rasanya hal itu seperti pungguk merindukan bulan. Soalnya, meskipun tarif Tes PCR telah diturunkan, tapi pihak terkait telah mewacanakan untuk memberlakukan Tes PCR untuk semua moda transportasi di seluruh tanah air. Tidak hanya transportasi udara seperti yang sekarang berlaku. Karenanya jangan tolak timbulnya pertanyaan: Apakah langkah itu untuk mengeruk keuntungan yang lebih besar lagi?
Toh jumlah penumpang transportasi udara sangat kecil jika dibandingkan penumpang dari seluruh moda transportasi darat dan laut.
Pemberlakuan Tes PCR bagaimanapun telah melahirkan protes. Dalam beberapa hari terakhir telah muncul petisi dari publik di tanah air. Di antaranya, seperti di situs Change.org. Agar kewajiban Tes PCR bagi calon penumpang pesawat terbang itu dihapus. Konon, hingga Selasa (25/10), sedikitnya 40.000 orang telah teken petisi tolak wajib tes PCR untuk penerbangan itu. (*)