COWASJP.COM – BERITA meninggalnya RH. Widjojo Hartono tentu mengagetkan banyak kawan. Terutama di lingkaran konco lawas Jawa Pos (CowasJP). Atau perkumpulan perseduluran wartawan dan karyawan media cetak itu. Karena begitu mendadak. Tidak ada informasi sebelumnya bahwa dia dirawat di rumah sakit.
Dan, saya sengaja memberi judul tulisan ini dengan “In Memoriam Pak Kaji Toing”. Karena sebutan “Pak Kaji Toing” ini begitu populer. Yang tidak asing di telinga para awak media cetak terbesar di Indonesia Timur, kala itu. Yang saya kenal sejak saya bergabung dengan Jawa Pos. Awalnya di Jalan Prapanca Raya 40, Jakarta, sekitar oktober 1989.
Sebutan Pak Kaji Toing ini benar-benar khas lidahnya orang Jawa Timur. “Pak Haji” mestinya. Tapi kawan-kawan asli Jawa Timur lebih mantap dan terbiasa dengan sebutan “Pak Kaji”. Itulah kesan pertama saya. Sebagai orang yang berasal dari Sumatera, saya tidak berbahasa Jawa. Sebab itu kata-kata Pak Kaji bagi saya cukup menarik. Dan saya tidak tahu mengapa kemudian Toni berubah jadi Toing.
Almarhum Widjojo Hartono dimakamkan di TPU Kalimulya 2, Kecamatan Cilodong, Kota Depok. (FOTO: Umar Fauzi/ Cowas JP)
Mas Toni, begitu saya biasa memanggilnya, adalah salah satu redaktur olahraga di Surabaya. Sedangkan saya bertugas di desk internasional di Biro Jakarta. Karenanya kami jarang bertemu.
Meskipun dalam beberapa kesempatan dia berkunjung ke Biro Jakarta, kami sempat juga ngobrol-ngobrol singkat. Waktu ngopi-ngopi santai di sore hari. Di teras tengah kantor Jawa Pos di Jalan Prapanca Raya 40, Jakarta. Setelah para wartawan pulang dari liputan berita di lapangan.
Biasanya bila ada event-event olahraga penting yang berlangsung di Jakarta. Dan untuk memperkuat liputan di event olahraga itu, ada redaktur olahraga dari Surabaya yang diterjunkan ke Jakarta.
Selain itu, tak ada hal penting untuk dicatat, menurut saya. Kecuali rasa persaudaraan sesama orang-orang yang makan gaji di Jawa Pos. Meskipun tak pelak, wartawan maupun karyawan di Jakarta – dari jabatan paling tinggi sampai yang paling rendah – punya pandangan tersendiri tentang karakter maupun watak para petinggi Jawa Pos yang ada di kantor pusat di Surabaya. Termasuk Mas Toni, tentunya.
Sudah rahasia umum, beliau memiliki watak yang keras. Bisa dibilang temperamental. Bicaranya lugas, tanpa tedeng aling-aling.
Karena itu, bisa jadi ada yang merasa tidak nyaman di dekatnya waktu itu. Tapi hal itu tidak melahirkan konflik yang berarti. Apalagi dalam beberapa waktu belakangan ini, setelah masing-masing jadi mantan wartawan dan karyawan Jawa Pos. Dan masing-masing sudah merasa pada tua juga. Karena rata-rata sudah bisa disebut “Abu Khamsin” (usia di atas 50-an). Atau “Abu Sittien” (usia di atas 60-an).
Apalagi motto persaudaraan di kalangan mereka yang kemudian tergabung di CowasJP adalah: “Nulis sampek tuek, seduluran sampek matek, nek matek ditulis rek arek”. (Menulis sampai tua, persaudaraan sampai mati, kalau mati ditulis kawan-kawan).
Ayyub Wicaksono (dua dari kiri) anak sulung Almarhum di tepi makam Ayahnya di Depok. (FOTO: Umar Fauzi/ Cowas JP)
Bagaimanapun, ibarat pepatah: “mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak”. Ajal adalah rahasia Allah. Tak satu pun manusia yang dapat minta dimajukan atau dimundurkan walau sedetik. Hari minggu siang (24/10/2021) kemarin, pukul 14:00 WIB, Mas Toni berpulang ke rahmatullah. Di Rumah Sakit Islam Kendal, Jawa Tengah. Dalam perjalanan beliau naik bus dari Jogjakarta menuju Jakarta. Kabarnya, karena mengalami serangan jantung di sebuah tempat peristirahatan (rumah makan) dan pemberhentian bus di daerah Kendal. Lalu awak bus melarikannya untuk mendapatkan pertolongan di RS Islam Kendal. Sayang, nyawanya tidak terselamatkan.
DIA ORANG BAIK
Sesuai ajaran Islam, bila seseorang meninggal dunia, kita dianjurkan untuk tidak bicara tentang keburukan si mayit. Sebaliknya bicara tentang kebaikannya. Menceritakan kebaikan-kebaikan orang yang sudah meninggal sangat dianjurkan. Agar dia dipermudah Allah masuk surga.
Sabda Rasulullah Saw.: "Yang kalian puji kebaikannya, maka wajib baginya surga. Dan yang kalian sebutkan kejelekannya, wajib baginya neraka. Kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi." (HR. Bukhari/Muslim)
Mas Toni, hemat saya, adalah sosok yang unik. Bahkan cenderung kontroversial. Pernah jadi pejabat penting di jajaran Jawa Pos. Pernah pula dipenjara. Dan dia telah mengalami transformasi yang luar biasa. Dalam kematangan sikap dan perilaku. Terutama dalam beberapa tahun terakhir.
Dia seringkali cerita tentang kemarahannya kepada Pak Bos Dahlan Iskan. Menyangkut persoalan yang saya tidak ingin tahu banyak. Hal itu dia ceritakan kepada saya dan mungkin juga kepada banyak kawan yang lain. Tapi di saat yang sama dia tidak menutup-nutupi. Bahkan bisa dibilang menyebarkannya ke mana-mana. Bahwa Pak Dahlanlah yang menanggung biaya operasi jantungnya.
Dalam sebulan terakhir, sudah tiga kali dia menelpon saya. Meminta saya gabung mendirikan majalah dan media online “Kabar Jogja”. Juga meminta saya mendirikan “Kabar Bandung”. Katanya, dia sudah komunikasi dengan kawan-kawan yang mengelola kabarmadura.id. Dia ingin membuat sebuah grup media. Sebagai bahan pertimbangan, dia mengirimkan juga proposal lengkap pendirian sebuah grup media. Lengkap dengan kalkulasi untung rugi, perkiraan berapa lama bisa break even point, dan sebagainya.
Kemarin saya baca tulisan Tubagus Adhi. Yang bercerita tentang Mas Toni. Tentang pergaulannya di Jawa Pos dengan redaktur olahraga itu sejak 1989 sampai 1991. Termasuk bagaimana Mas Toni berusaha mengikuti ujian kompetensi wartawan utama beberapa waktu lalu, meskipun dirinya sudah tergolong lansia. Hal itu, tentu saja, memperlihatkan keseriusannya untuk mendapatkan pengakuan sebagai pemimpin sebuah media.
Yang tidak kalah menarik, belakangan ini dia sering bicara tentang kedekatannya dengan Ustad Yusuf Mansyur (UYM). Juga tentang pembelaannya terhadap ulama kondang itu. Yang banyak musuhnya itu. Yang telah menerbitkan beberapa buku untuk membunuh karakter UYM. Kedekatan yang membuat UYM menyediakan sebuah ruangan kantor di pesantrennya untuk Mas Toni. Meskipun sampai akhir hayat tidak pernah ditempatinya.
Saya ingat betapa Mas Toni berusaha melakukan hal terbaik untuk UYM. Yang menurut dia sering disalahfahami orang. Bahkan karena pandangan positifnya itu, dia berangan-angan untuk mendukung UYM sebagai salah satu capres di 2024 mendatang.
Kenangan bersama Alm Widjojo Hartono (berdiri no 3 dari kiri) di Bromo. (FOTO: Dok Nana Misnawati - Cowaser)
Di luar itu, Mas Toni cerita tentang kesibukannya membangun pusat kesehatan Tibbun Nabawi. Begitu juga cerita tentang isterinya yang orang Aceh itu. Yang dikenalnya sewaktu mengikuti seminar tentang Tibbun Nawawi di Kuala Lumpur, Malaysia, beberapa tahun silam. Dinikahinya dan diajaknya tinggal di Sleman, Jogjakarta. Tempat dia membangun pusat kesehatan Tibbun Nabawi. Dengan tetap menafkahi isterinya yang di Depok.
Saya suka meledeknya, soal isteri Acehnya yang cantik. Bahkan dengannya dia masih dikaruniai Allah seorang anak balita. Sekarang sekitar 2 atau 3 tahun usianya.
Dia sama sekali tidak tersinggung. Bahkan dia balik bertanya: “Apakah saya salah mengikuti sunnah Rasul, Ustad?” Dia selalu memanggil saya ustad. Karena menurut dia, dia hanya berusaha menjalankan syari’at Islam dengan benar. Tertarik dengan seorang janda yang siap dinikahi, ya dinikahi saja. Sesuai syari’at. Konsep hidupnya, biarlah hidup ini mengalir begitu saja.
Berulang kali dia cerita bahwa dia ingin ke Jakarta. Karena kondisi kesehatan jantungnya yang tidak fit, dia berharap bisa menjalani operasi pasang ring kembali. Tapi di samping itu, dia terkesan berusaha keras untuk ibadah lebih banyak. Sedekah lebih serius. Dan membantu banyak orang yang perlu dibantu. Saya tidak tahu, apakah dia sudah merasa ada tanda-tanda bahwa “sang waktu” itu sudah semakin dekat.
Selamat jalan Mas Toni. Semoga tak ada tempat yang layak menanti kedatanganmu. Kecuali surganya Allah. Yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. (*)