COWASJP.COM – SAYA di Gunung Kawi kemarin. Di dekat-dekatnya. Ada Mas Yanto di situ. Yang lagi melakukan ”kekejaman” rutinnya: ia petik buah-buah durian yang masih kecil. Ia buang ke tanah.
Saya berteriak-teriak di depannya. Saya tidak tahan menyaksikan ”kekejaman” Mas Yanto itu. Eman sekali. Begitu banyak pentil durian yang ia renggut dari dahan. Untuk dia buang begitu saja.
Saya tidak sampai hati melihatnya. Tapi pohon durian itu miliknya sendiri –saya tamu di kebun itu. Hati saya teriris setiap kali tangan Mas Yanto meraih pentil durian, merenggutnya dan membuangnya.
Pentil –Bahasa Jawa– adalah buah yang masih kecil. Masih sangat muda. Masih bayi. Kebun durian Mas Yanto sedang memasuki musim pentil. Satu pohon bisa memiliki 100 pentil lebih. Kalau semuanya bisa membesar menjadi durian alangkah lebatnya buah di pohon itu.
Itu tidak mungkin. Sebagian besar, pentil itu, akan jatuh sendiri ke tanah. Mungkin minggu depan. Mungkin bulan depan. Atau depannya lagi.
Mas Yanto tidak mau itu. Sama-sama akhirnya rontok lebih baik digugurkan saat masih sangat kecil. Agar sari makanan yang dari pohon bisa fokus untuk membesarkan pentil-pentil yang bentuknya sempurna.
Mas Yanto bisa membedakan mana pentil yang akan menjadi durian dan mana yang akan gugur muda. Toh kalau semua menjadi buah dahannya tidak akan kuat. Satu dada wanita bisa digantungi dua gunung besar, tapi satu dahan durian akan patah digantungi begitu banyak buah.
Mas Yanto membatasi satu dahan hanya boleh digantungi 4 durian. Agar kualitas duriannya sempurna. Maka Mas Yanto tega saja hanya menyisakan 4 pentil di antara puluhan yang ada di satu dahan.
Dengan policy satu dahan cukup empat buah saja, toh satu pohon sudah bisa berisi 30 sampai 40 buah. Itu sudah sangat baik. Asal semuanya berkualitas Marilyn Monroe.
Menyapa tamu sambil bawa durian jatuhan. (FOTO: DISWAY)
Mas Yanto punya 60 pohon durian bawor dan 30 pohon Musang King. Itu yang di 3.000 meter tanah miliknya sendiri. Masih lebih banyak pohon durian lain di tanah yang ia sewa. Ada juga pohon durian hasil kerja sama dengan teman-temannya.
Berada di kebun durian Mas Yanto ini sangat menyenangkan. Pohon-pohonnya baru berumur 7 tahun. Ibarat gadis masih Gisel semua. Masih belum menjulang tinggi. Dahan-dahannya begitu banyak. Bentangan ke sampingnya begitu lebar. Jarak antar pohonnya memang hanya 8 meter.
Daun dari pohon satu sampai bersentuhan dengan daun dari pohon sebelahnya. Kebun ini terasa padat, subur, rapi dan menyenangkan. Dahan terbawahnya kurang satu meter dari tanah. Banyak buah durian yang bisa dipetik tanpa memanjatnya.
Saat Mas Yanto mendekati pagar ia melihat satu durian tergeletak di tanah: baru saja jatuh. Saya dipanggil untuk mendekat. “Pak Dahlan beruntung, ada durian jatuh,” katanya. “Ini Musang King,” tambahnya.
Saya pun berhoreee. Lalu mendongak. Masih banyak Musang King bergelantungan di atas sana. Mas Yanto minta agar saya menjauh –khawatir kejatuhan yang lain.
“Kok pohon yang satu ini tinggi sekali. Tidak seperti lainnya?” tanya saya.
“Dulu ada satu pohon durian yang sudah besar di sini. Tidak pernah mau berbuah. Lalu saya lakukan topwork,” katanya.
Topwork yang dimaksud: pohon durian kampung dipotong, untuk disambung dengan durian Musang King. Dengan demikian, bagian bawahnya: pohon durian jenis lama. Bagian atasnya: pohon durian jenis Musang King.
Sambil membawa durian runtuh itu kami ke teras rumah Mas Yanto. Saya berpapasan dengan banyak tamu. Kebun ini memang terkenal sebagai tempat belajar. Letaknya hanya satu jam bermobil dari kota Malang. Ke arah Gunung Kawi.
Mereka itu juga lagi melihat-lihat kebun Mas Yanto.
“Dari mana?” tanya saya dalam bahasa Mandarin.
“Dari Jakarta,” jawabnya.
“Mau beli durian atau mau dagang durian?”
“Kalau bisa dua-duanya,” jawabnya.
Kami pun membuka durian runtuh di teras itu. Kami duduk menghadap ke Gunung Kawi. “Ini Musang King beneran,” komentar saya setelah memperebutkannya dengan istri saya.
Tamu dari Jakarta itu membuka durian bawor. Ukurannya sangat besar. Saya permisi untuk mencicipinya, barang satu ruas: manis pahitnya ideal sekali. Sama dengan durian bawor yang dikirim Mas Yanto dari Tegal dua minggu lalu.
Saya bangga: durian bawor sudah punya standar rasa. Itu yang harus dijaga. Jangan sampai nama jualnya bawor tapi rasanya slebor.
Saya berkenalan dengan tamu dari Jakarta itu: Gunawan Wijaya. Bisnis yang digelutinya istimewa: kuburan. Ia punya tanah kuburan seluas 70 hektare. Di Karawang. Sejak tahun 2003. Jauh sebelum Lippo memasuki bisnis tanah makam di dekatnya: San Diego, yang luasnya 400 hektare.
“Saya belajar bisnis pemakaman dari Malaysia,” ujar Gunawan yang asli Pekalongan. Ia pernah survei di negara tetangga itu. Di sana sudah ada perusahaan pemakaman yang go public di pasar modal.
Gunawan lantas mengajak investor Malaysia. Yang diajak mau. Maka berdirilah perusahaan pemakaman PMA pertama di Indonesia.
Setahun kemudian Gunawan membuat perusahaan sendiri. Lokasinya di sebelah yang Malaysia itu: Graha Sentosa.
Gunawan ke Malang bersama istri dan ibunya. Juga seorang sepupunya yang berasal dari Tulungagung. Sang istrilah yang asyik bicara berdua dengan Mas Yanto. Kelihatannya deal: dari Malang dikirim ke Jakarta.
Mas Yanto hanya tamat STM. Lalu bekerja di perbengkelan karoseri mobil. Ayahnya, bertani. Menanam tebu. Turun temurun.
Ladang tebu itulah yang diubah Mas Yanto menjadi kebun durian. Kebiasaannya mengerjakan teknik di bengkel membuat kebunnya diurus secara teknik pula. Antar pohon itu dihubungkan dengan pipa air.
Dengan Ketua Tandurian (kanan) yang dokter itu. (FOTO: DISWAY)
Mas Yanto tahu: pohon durian itu rakus air. Lewat pipa itulah, di musim kemarau, ia siram pohonnya tiga kali seminggu. Sekali siram banyak sekali. “Satu pohon sampai 750 liter,” katanya. Itu lebih baik daripada disiram tiap hari @250 liter. Itu menyangkut bentuk pori-pori tanah. Jangan sampai buntu karena salah penyiraman.
Teras rumah Mas Yanto kian ramai. Lima pemuda datang menimbrung. Mereka adalah aktivis muda bidang pertanian nontradisional. Ada yang dokter, akuntan, pemulia tanah, dan ahli pembibitan. Mereka tergabung dalam kelompok ”Tandurian”. Ketuanya: dr Pandu Ari –sudah berhenti praktik sebagai dokter. Anggotanya sudah 3.000 orang. Mereka adalah anak muda yang bertekad kembali ke pertanian tapi dengan cara anak muda masa kini.
Bersama mereka itu saya seperti menjadi punya new hope. Mereka muda. Intelektual. Dari desa. Kembali ke desa. Dengan cara yang berbeda.
Saya pun bertanya pada mereka: melihat perkembangan durian 8 tahun terakhir, kapan kita berhasil menjadi negara pengekspor durian?
“Proses belajar durian ini lama. Satu siklus belajar 5 tahun. Mungkin baru tercapai 20 tahun lagi,” ujar R. Ahut F Hendrasul. Ia akuntan. Ia juga sudah mulai terjun ke kebun durian.
Pertanyaan lain: kapan durian Indonesia punya standar rasa – katakanlah lima rasa yang terbaik. Maksud saya: kapan aneka-ria rasa durian Indonesia itu tidak lagi mengganggu rasa yang utama.
“Masih lama. Menunggu mereka yang menanam Musang King, Bawor, Tembaga, dan yang unggul lainnya menjadi kaya. Setelah mereka terbukti kaya yang lain akan ikut,” ujar Ahud.
Berita baiknya: sudah ada teknik topwork. Durian aneka ria rasa itu tidak harus dibabat, untuk ditanam yang baru. Terlalu lama. Cukup dilakukan topwork.
Pertanyaan terakhir: ada berapa orang seperti Mas Yanto ini di seluruh Indonesia?
“Sedikit sekali”.
“1.000?”
“Tidak ada”.
“500?”
“Tidak sampai.”
“300?”
“Mungkin”.
“Di seluruh Malang ada berapa Mas Yanto?”
“Satu”.
“Di seluruh Jatim?”
“Satu”.
Saya pun ingat wiridan Butet: Air Susu Umi. (*)
Penulis: DAHLAN ISKAN, Sang Begawan Media.