COWASJP.COM – Indonesia memang kaya akan kuliner. Setiap daerah punya makanan khas dengan ciri khas masing-masing. Bukan hanya tampilannya beda, tapi cita rasanya pun beda. Meski jenisnya sama sekali pun. Seperti soal dawet yang ditulis oleh Santoso, wartawan senior di Madiun.
***
Meski hampir setiap hari saya makan pagi di Joglo Palereman Kelun, Madiun, namun baru sekali saya menyicipi Dawet Kendhil di situ. Sebab sejak stroke saya memang mengurangi minum es. Jadinya setiap hari paling minum teh panas.
Tapi karena saat itu cuaca panas, saya pun mencoba pesan dawet. Begitu dawet terhidang dan sendokan pertama masuk mulut, saya merasa bahwa ini kan dawet Jabung, Ponorogo yang melegenda itu.
Saya sangat hapal ciri khasnya. Cendolnya terbuat dari ‘’pathi aren’’ atau tepung aren. Tepung itu dibuat dari kayu pohon aren yang ditumbuk sampai halus kemudian dijadikan tepung. Tepung aren itulah yang dibuat cendol dawet Jabung, hingga menjadi ciri khas yang tiada duanya.
Rasanya sangat berbeda dengan cendol yang dibuat dari tepung lainnya. Ini lebih lumer dan -- ini dia— tanpa pewarna jadi lebih sehat. Toppingnya juga sama, tape ketan hitam yang rasanya manis. Sirupnya dari gula aren juga dan diberi nangka hingga rasanya... wowww... super.
Meski di tempat asalnya, Ponorogo, semangkok dibandrol Rp 5.000, di Joglo Kelun hanya Rp 3.000 saja. Tentu dengan rasa yang sama. Jadi orang Madiun yang senang Dawet Jabung, tak perlu harus jauh-jauh ke Mlarak, Ponorogo.
Tapi mengapa penjualnya tidak membranding dengan nama Dawet Jabung??? Mengapa justru pakai nama Dawet Kendhil, yang jelas-jelas belum dikenal di dunia kuliner? Ah entahlah. Apalah arti sebuah nama hanya untuk semangkok dawet?
Beginilah penjual Dawet Jabung asli di Mlarak, Ponorogo. Penjualnya cantik dan ramah. Tapi jangan minta lepeknya ya.(FOTO: Santoso)
Itu membuat saya penasaran. Karena eman sekali. Karena orang akan melihat Dawet Kendhil sebagai dawet pada umumnya. Saya sempat bertemu suami ibu yang jual dawet. Dia adalah pensiunan TNI AD yang aslinya Mlarak, Ponorogo. Mlarak memang pusat dan cikal bakal Dawet Jabung.
‘’Yang jualan dawet di Mlarak itu hampir semuanya krandah (keluarga) saya,’ katanya. ‘’Saya sendiri yang keluar jalur, jadi tentara,’’ katanya.
Karena itulah ketika sang istri diberi kesempatan jualan di Joglo Palereman Kelun, maka dawet Jabunglah yang dibikin. ‘’Untuk menjaga cita rasa cendolnya, tepung arennya juga saya datangkan dari Ponorogo,’’ ungkapnya. Demikian pula gula arennya.
Nah akhirnya penasaran saya agak terobati. Meski tetap saja ada tanda tanya. Hanya karena kesepakatan nama. Hadeh.
MITOS DAWET JABUNG
Dawet Jabung tak hanya sekadar kuliner. Tapi juga mengandung mitos. Di Ponorogo sendiri, penjualnya rata-rata masih muda dan cantik-cantik. Posisi jualannya juga punya ciri khas tersendiri. Penjualnya berada di tengah sebagai center dikelilingi meja yang berisi makanan kecil, seperti tahu goreng, tempe goreng dan lain-lainnya.
Dengan demikian, konsumen bisa menikmati dawet sambil memandang si cantik penjualnya. Dan para penjual rata-rata ramah terhadap pembelinya. Jadi kita kadang tidak sadar sudah menghabiskan mangkok ketiga heheheehe.
Bahkan ada guyonan, ‘’ngombe dawet sak mangkok sampek njebolke celana’’ saking lamanya duduk.
Sedang mitosnya, terkait dengan lepek (piring kecil) yang digunakan melayani pembeli. Mangkok diletakkan di atas lepek. Baru kemudian diisi dengan dawet. Saat diserahkan ke konsumen, lepek itu tak diberikan. Jadi hanya mangkoknya saja.
Nah di situlah mitosnya. Konon kalau lepek itu diserahkan, berarti penjualnya siap dinikahi. Bahkan pak Hariyadi menyebutkan lebih ekstrem lagi. ‘’Ada yang bilang kalau lepeknya diberikan, berarti penjualnya bisa dibawa’’.
"Ini kan merugikan nama baik Jabung pak,’’ kata saya menyelidik.
Mbak Mia, jual nasi pecel asli Madiun di kios Taman Kelun. (FOTO: Santoso)
Pak Hariyadi tertawa. Menurut dia, dengan adanya mitos itu justru membuat Dawet Jabung terkenal dan didatangi orang luar kota. ‘’Ketika mereka menikmati dawetnya yang enak, mereka sudah lupa dengan mitos itu,’’ ungkapnya. Yah bener juga ya.
DUNIA KULINER
Dunia kuliner memang amat sangat luas. Seperti pecel, ada pecel Madiun yang melegenda, pecel Blitar, Kediri Kertosono dan sebagainya.
Masing-masing punya ciri khas tersendiri. Dan orang yang biasa makan pecel langsung bisa membedakan meski penyajiannya sama. Begitu menyicipi rasanya, kita pasti tahu apakah ini pecel Madiun atau Blitar. Karena Pecel Madiun berasa jeruk purutnya, sedang Pecel Blitar berasa kencurnya.
Selain pecel, banyak makanan lain yang hampir sama . Soto misalnya, ada soto Lamongan, Madura, Sulung. Semuanya punya ciri khas masing-masing dan punya penggemar sendiri-sendiri.
Seminggu lalu cucu saya beli Bebek Goreng di Taman Kelun di depan Joglo yang digunakan sebagai PKL berjualan. Begitu melihat tampilannya saya lantas bilang, ‘’ Ini yang jual pasti orang Madura.'’
‘’Lho kok akung tahu,’’ tanya cucu saya.
Nih ciri khasnya, ada sambel ijo, ada bubukan rempah berasa kare, dan ada srundengnya. Dan ini tidak ada di bebek goreng lainnya.
’’Bener kung yang jual orang Madura,’’ katanya.
Dengan demikian, di wilayah Kelurahan Kelun memang layak untuk sentra kuliner sebagai window display Kota Madiun bagian Timur. Karena sudah banyak jenis makanan yang dijajakan. Ada soto ayam dua ribuan yang dijual Bu Sriwati, ada soto Lamongan yang penjualnya Anisa, lulusan sekolah perawat kesehatan yang wajahnya manis dan grapyak.
Pecel pasti ada. Pecelnya mbak Mia yang merupakan cabang pecelnya Yu Parmi. Mbak Mia yang nama aslinya Kasmiyati, mantan guru Paud menempati lapak di kios Taman Kelun. Selain itu Pecel Blitar juga ada di Joglo. Sate Madura, nasi goreng , lengkap pokoknya.
Mau minum anget-angetan juga ada Cemoe dan Ronde Solo. Kopi, pasti ada. Dan ketika PPKM mulai longgar, setiap malam Joglo Kelun dipadati pengunjung.
Kali ini saya terpaksa acungi dua jempol untuk program Wali Kota Madiun H. Maidi untuk mengangkat UMKM di tingkat kelurahan. (*)