COWASJP.COM – SUKA ATAU TIDAK, perayaan maulid nabi tetap saja berlangsung di banyak tempat. Bagian dari umat Islam yang mencintai Rasulnya akan tetap merayakannya. Apa pun hambatan dan rintangannya. Dan apa pun kata orang-orang yang menolak penyelenggaraan perayaan maulid Nabi.
Paling tidak, untuk mensyukuri nikmat Allah yang telah memilihkan seorang Rasul akhir zaman untuk mereka. Sebagai “uswatun hasanah” atau suri teladan kehidupan. Yang dimaksudkan untuk membimbing seluruh umat manusia ke jalan yang diridloi-Nya.
Dan walaupun hari libur peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. digeser pemerintah dari tanggal 19 ke 20 Oktober 2021 ini, namun umat Islam tidak merasa terganggu dengan pergeseran tanggal itu. Apakah alasannya untuk menghindari terjadinya cluster baru Covid-19 maupun alasan-alasan yang lain, mereka tidak peduli. Apalagi bagi sementara kalangan, kegiatan ini sudah mentradisi puluhan bahkan ratusan tahun.
Persoalannya, karena menurut hemat kita, memang bukan hal itu yang pokok dalam perayaan hari kelahiran Rasulullah Saw. ini. Di tengah kondisi umat yang carut-marut, dengan tingkat kerusakan “ukhuwah Islamiyah” yang begitu rupa, barangkali perlu diambil langkah-langkah yang tepat. Terutama oleh para pemuka agama. Bahwa persatuan dan kesatuan umat yang makin terkoyak ini hendaknya dapat dirajut kembali.
Untuk itulah momen perayaan maulid Nabi ini jadi begitu penting. Tentu saja, seandainya seluruh anak bangsa ingin sadar dan ingin menyelesaikan segala persoalan yang ada. Merajut kembali persatuan dan kesatuan di negara yang tercinta ini. Dengan sebaik-baiknya. Dengan cara yang sebijak-bijaknya.
Tidak bisa dinafikan, masalah perayaan maulid Nabi adalah salah satu yang dipertentangkan di kalangan umat. Baik di antara mereka yang awam sama sekali maupun yang sudah mempelajari duduk persoalannya. Karena masih banyak yang berkeyakinan bahwa perayaan maulid Nabi itu bid’ah. Perbuatan yang melenceng dari ajaran Rasulullah Muhammad Saw.
Apalagi kalau mereka sudah berpegang pada sebuah hadist yang berbunyi: “Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan (baru). Dan “kullu” (setiap) perkara yang diada-adakan (baru) adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan tempatnya di neraka”. (HR. An Nasa’i).
BID'AH MEMBID'AHKAN
Sangat disayangkan, persoalan bid’ah dan membid’ahkan ini terus berlangsung di negeri ini sekarang. Artinya gesekan antar kelompok disebabkan perbedaan pandangan menyangkut masalah furu’ (cabang) ini kini bukannya berkurang. Sebaliknya, malah terus meningkat dalam beberapa waktu belakangan ini. Terutama terkait segelintir alumni Timur Tengah – khususnya dari Mekah dan Madinah – yang pulang ke tanah air.
Termasuk juga beberapa pendakwah yang bukan alumni Timur Tengah.
Jadikanlah momentum peringatan Maulid Nabi Muhammad sebagai penyemangat untuk menyatukan semangat dan gairah ke-Islam-an. (DESAIN GRAFIS: tirto.id)
Lalu mereka menggencarkan kegiatan dakwah. Dengan membawa topik yang berkaitan dengan bid’ah itu. Karena mereka melihat bahwa banyak kegiatan keagamaan yang mesti mereka koreksi. Di samping juga karena mereka terdorong pula oleh keinginan untuk membina umat. Agar menjadi umat seperti di zaman Nabi, zaman Khulafaur Rasyidin, dan para salafus soleh yang hidupnya tidak terlalu berjauhan dengan zaman Nabi.
Dengan kemajuan teknologi informasi, khususnya internet, dakwah mereka pun dengan cepat menyebar. Tapi tanpa disadari, mereka berbenturan dengan umat yang puluhan bahkan ratusan tahun sudah menjalani tradisi yang dicap bid’ah itu. Kelompok masyarakat yang melalui guru-guru dan para kiyai panutan mereka juga punya “hujjah” yang tidak kalah kuat. Menyangkut alasan mengapa mereka menjalankan praktek-praktek ibadah maupun kegiatan keagamaan yang kemudian dicap bid’ah itu.
Tentu saja kelompok ini memberikan perlawanan. Mempertahankan tradisi dan cara ibadah yang sudah mereka jalani turun temurun. Bahkan mereka juga tidak jarang melancarkan serangan balik. Dengan gencar pula. Termasuk dengan menggunakan jaringan internet.
Persoalan-persoalan yang menyangkut perbedaan pandangan dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam, di antaranya berkenaan dengan persoalan furu’ (cabang) itu mestinya sudah selesai satu abad atau seratus tahun yang lalu. Tapi sayang, hal itu tidak terjadi. Yang terjadi malah pertarungan yang tidak kunjung habis.
Gesekan yang makin lama makin menimbulkan luka. Yang sudah menjadi koreng. Sehingga sulit bisa diobati.
Kita tahu, di zaman lampau gesekan antar kelompok disebabkan perbedaan yang sama marak juga terjadi di negeri ini. Misalnya antara kelompok NU dan Muhammadiyah. Persoalan qunud saja – di mana orang NU membaca do’a qunud, sedangkan Muhammadiyah tidak – pernah jadi persoalan yang meruncing. Begitu juga soal-soal furu’ lainnya. Sehingga pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan sendiri pernah dituduh kafir dan disebut “Kristen Putih”. Sedangkan orang-orang yang menjalankan tradisi NU pernah dicap sebagai pelaku tahayul, bid’ah dan khurafat.
Dalam perjalanan waktu, kita menyaksikan, gesekan antara NU dan Muhammadiyah itu tampak berkurang. Orang Muhammadiyah sudah lebih fokus pada kegiatan dakwah, pengelolaan rumah sakit, pembangunan pendidikan dan upaya pembangunan ekonomi umat. Meskipun di kalangan NU – termasuk di tataran akar rumput – orang Muhammadiyah itu seolah dipandang lebih kristen dari pada orang Kristen sungguhan – namun situasinya jauh lebih mereda. Jika dibandingkan dengan zaman lampau.
Sayangnya, kemunculan kelompok baru yang oleh kalangan Nahdhiyin dicap sebagai “Wahabi” justru melahirkan situasi dan kondisi yang baru. Berupa perpecahan yang terkesan lebih tragis. Pertarungan terasa lebih sengit. Tidak hanya secara off line. Tapi lebih dahsyat secara on line. Di mana masing-masing kelompok tidak lagi saling mempertahankan hujjah. Tapi sudah sampai pada tahap saling serang. Dilakukan oleh para tokoh yang sejatinya menonjol dalam pembinaan umat. Sebaliknya malah membuat bingung jama’ah di akar rumput.
TIDAK MUDAH
Kita tahu, penyelesaian masalah ini tentu tidak mudah. Tapi bila para pemuka dan pemimpin umat mau dengan ikhlas menyelesaikan persoalan ini, dengan duduk bareng secara kekeluargaan, tentu akan ditemukan jalan keluarnya. Kita kuatir, jangan sampai ada pihak yang terkesan lebih penting mencari pupularitas dari pada mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya umat Islam. Dan kita juga kuatir tentu saja, suasana yang tidak kondusif ini justru dimanfaatkan oleh mereka yang tidak suka dengan persatuan kaum muslimin. Bukankah kita sama menyadari bahwa perbuatan adu domba di kalangan umat Islam saat ini semakin gencar dilakukan.
Kenapa persoalan-persoalan sensitif menyangkut kegiatan agama itu dibiarkan diumbar secara sangat terbuka di dunia maya? Bukankah lebih baik persoalan itu dibicarakan dalam kelompok terbatas, antara mereka yang faham duduk persoalannya? Sehingga persatuan dan kesatuan umat dapat dirajut kembali. Dan kelompok yang memang berkeinginan mengadu domba di kalangan umat tidak diberi celah untuk melakukan keinginannya.
Jangan sampai para pengemban misi dakwah justru terperangkap dalam kesalahan fatal dalam dakwahnya. Bertentangan dengan firman Allah Swt., Surat Al-Hujurat ayat 10: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
Momen perayaan Maulid Nabi rasanya cukup tepat untuk membina kembali persatuan umat. Sehingga cita-cita menjadikan negeri ini sebagai “baldatun thayybatun war Rabbun ghafur” akan tercapai melalui ridla-Nya. (*)