COWASJP.COM – Satu
Hidup dalam dinamika politik gelap, jelas rasa resah selalu menyelimuti dan banyak tanya yang ditimbulkan dari setiap pemberitaan televisi, radio, media cetak, media online atau di berbagai media sosial (medsos).
Semuanya tak ada titik cahaya walaupun hanya sekejap saja. Dalam situasi itu saya hanya merasakan terbukanya dunia informasi begitu hebat dan tak dapat dikendalikan. Sebuah perkembangan peradaban zaman serba blak-blakan, dihantam sajian statement sampai narasi dengan disertai foto, video dan gambar dan sebagainya tak memberikan jeda berfikir atau merenung.
Terjadilah tumpukan persoalan dari waktu ke waktu tak pernah terselesaikan - jadi arena perang statement, narasi, opini dan lainnya tak terelakkan. Semua bergerak atas kemauan dan kepentingan setiap individu maupun kelompok. Jadi gaduh seperti kaleng-kaleng kosong berbunyi nyaring dan mengganggu kehidupan kita semua (baik yang terlibat maupun tidak).
Sementara kita sering dihantui dengan pendapat, bahwa kita adalah bangsa besar, sangat kaya-raya dengan sumber daya alam maupun sumber daya manusia - negeri zamrud katulistiwa, indah pemandangannya dan gemah ripah loh jinawi. Berbudaya tinggi, memiliki tatakrama, etika atau sopan santun yang kuat. Dengan latar belakang budaya tersebut tidak jarang pula terperangkap rasa ewuh pakewuh menghadapi ketidakadilan yang dilakukan penguasa. Sehingga tidak banyak yang berani, serba tidak enak mengkritisi penguasa berbuat zalim. Mengingat setiap yang bernada kritik dari pandangan kritis terhadap penguasa tersebut dianggap atau dicap tidak berbudaya, tidak sopan, pengacau keamanan dan seterusnya. Seperti terjadi penghapusan atau pencekalan karya seni mural (lukisan dinding) oleh pemerintah dan pendukungnya di Tangerang dan Bangil-Pasuruan, Agustus bulan kemarin jadi viral ( mural: 404 Not found dan Dipaksa Sehat di Negeri Yang Sakit).
Penekanan rasa ewuh pakewuh dalam budaya tersebut sering pula dimanfaatkan sebagai retorika pembelaan terhadap penguasa yang menjauh dari kepentingan, keinginan, tuntutan atau kebutuhan rakyat pada umumnya. Sehingga menjadi sejenis pembodohan dan penipuan teroganisir dilakukan secara terang-terangan dan arogan oleh penguasa, disertai dengan berbagai opologi pembenaran menabrak konstitusi dan jadi teror. Rakyat jadi apatis atau pesimis dalam lingkaran kehidupan serba gamang, tertekan dan gaduh. Berlangsunglah pembunuhan daya kritis di tengah pandemi Covid-19 berdampak buruk terhadap perkembangan ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial, keagamaan dan sebagainya. Semua jadi korban ketidakadilan penguasa memihak pada pemilik modal besar di tengah pandemi sedang berlangsung, menakutkan dan meresahkan.
Dua.
Dalam situasi dan kondisi politik mengancam kedaulatan kehidupan berbangsa dan bernegara memerlukan ketajaman intuisi dari seorang penyair, hadir berperan aktif dirinya sebagai makhluk berfikir atas kesadaran sebagai pemimpin ada pada setiap diri manusia ikut serta bertanggung jawab menghadapi berbagai persoalan datang bertubi-tubi sebelum menjadi lebih parah. Di antara banyak persoalan yang sedang menimpa negeri ini, tentunya mengambil satu persoalan dianggap jadi sumber berbagai persoalan mengancam eksistensi kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu adanya gejala mau ingin mengubah falsafah dasar negara merdeka atas rahmat-Nya, menjadi negara sekuler dengan disertai memutus mata rantai sejarah perjuangan para syuhada melawan pemerintahan kolonial. Hal tersebut semestinya tidak harus dilakukan atau terjadi selama masih mau mengakui berdirinya negeri ini tidak dari semangat sekuler, melainkan dengan semangat religi jadi negara merdeka.
Sebagaimana lazimnya seorang sastrawan, khususnya penyair ikut serta berperan aktif sebagai warga negara menghadapi banyak persoalan menimpa negara, seorang penulis salah satu senjatanya: Menulis terdorong obsesi, tak bisa ditahan membuncah dalam dada, karena ada realitas mengganggu tatanan kehidupan tersebut di atas. Secara umum, seni adalah ekspresi dari kebutuhan manusia untuk memperoleh kehidupan yang selaras dan lengkap, yaitu memperoleh hak-haknya yang telah dirampas oleh masyarakat berkelas (Leon Trotsky).
Dengan demikian melalui proses mengejawantahkan diri untuk melahirkan puisi serta gagasan dari lubuk hati yang dalam. Peran serta penyair dalam hal ini dengan sendirinya memilih jenis dan bentuk puisi memberi sumbangsih pada khasanah dunia sastra. Pilihan seperti itu sudah tidak asing dalam dunia sastra, tidak heran lagi jenis-jenis puisi dalam perkembangan tak terhitung banyaknya.
Menginjak pada pilihan jenis dan bentuk puisi adalah otoritas setiap penyair, masing-masing punya alasan sendiri untuk menyemarakkan dunia sastra yang tak pernah habis dikupas oleh masyarakatnya. Di dalamnya bertebaran nilai-nilai sastra dari para penyair menyetubuhi ruang batin keluar dari keterasingan realitas kehidupan yang memenjarakan dirinya.
Tiga.
Hidup di tengah-tengah bunyi kaleng-kaleng kosong dalam dinamika politik kita, saya memilih menulis Puisi Satu Kalimat (PSK), tergolong jenis puisi pendek atau epigram berbentuk satu kalimat, sebuah bangunan kalimat, bertingkat atau tidak sebagai pilihan ekspresi seorang penyair telah lelah membaca bunyian kaleng-kaleng kosong tersebut. Menulis PSK, tidak lain kepiawaian penyair bermain akrobat kosa kata dengan didorong intuisi yang muncul dari intensitas latihan memainkan kata-kata, sebuah dorongan bisikan hati mengejawantahkan pengalaman berfikir, merenung dan melihat gejala dari peristiwa kehidupan sedang terusik di era zamannya. Sedang para sastrawan pendahulu kita yang pernah menulis puisi pendek di antaranya: Ramadhan KH, Sitor Situmorang, Mustofa Bisri, Sanusi Pane dan seterusnya, turut menyertai karya-karya sastra yang lain.
Maka dari itu kutulis sastra PSK sejenis epigram hanya terikat dengan bentuk satu kalimat, juga terdorong oleh kekuatan intuisi setelah mendapat pengalaman melihat, membaca, merenung, berfikir dan terlibat langsung terhadap kejadian-kejadian yang mengganggu dan meresahkan keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, dikarenakan dari bunyi kaleng-kaleng kosong mendominasi perpolitikan punya akses ke pejabat elite penentu membuat kebijakan dan pelaksanaan mengelola negara - bermental makelar jauh dari kebutuhan dan keinginan rakyat kecil. Bertolak dari pemikiran tersebut, menulis PSK tidak untuk bersaing keras-kerasan bunyi dengan kaleng-kaleng kosong tersebut. Lebih tepatnya menulis PSK tidak lain membangun kesadaran diri di tengah persolaan kehidupan sedang terjadi menjadi sumber berita yang melelahkan, dihadapi dengan menulis puisi satu kalimat:
PENYAIR
Buat syair jadinya sihir []
SENI
Ruang birahi penghias makna []
DIAM EMAS
Diam yang emas hanya ada di puncak MONAS []
SEPAKAT
Sepandangan bukan berarti setujuan []
KONSPIRASI FABEL
Menyetubuhi katak yang lahir biawak []
LELAH MEMBACA INDONESIA
Dibaca terus babak belur, gak dibaca hancur []
DEMOKRASI SABIN
Padi semakin merunduk semakin berisi, saat panen tiba harga dirinya jatuh di tangan tengkulak []
KEBENARAN
Kebenaran takkan hilang walau dibungkam, kebenaran selalu bersuara lantang meskipun semua diam []
ZALIM
Setiap kezaliman tak akan lewat tanpa perhitungan []
KEMERDEKAAN
Aku diam karena mudah mendapat keadilan, kalau aku bersuara lantang tandanya keadilan sulit didapatkan []
BERTEDUH DI LAPTOP
Hujan email membasahi pandang berbagi kabar []
Selain itu menulis PSK bisa dikatakan karena ketidakmampuan melihat keganjilan-keganjilan realitas kehidupan terlalu lama berlarut-larut tanpa ada upaya mencari jalan keluar. Dengan sendirinya sebagai penyair tidak ingin kehilangan diri - bersamaan beriringan dengan realitas yang mengganggu tatanan kehidupan tersebut ada hasrat dengan segala kemampuan mengungkapkan mimpi-mimpinya berupa akrobat kata-kata. Sebuah upaya membangun ruang imajinasi sarat makna, sebuah proses kreatifitas yang kritis dan dinamis.
Menulis PSK yaitu jenis puisi pendek kesannya tidak lengkap. Meskipun demikian pilihan kosa kata dalam puisi itu didesain menghadirkan semiotik menjadi ruang imajinasi yang sugestif - lahir dari memanaj obses agar lebih arif dan bijaksana. PSK kesannya seperti pesan singkat bisa menjadi sebuah perlawanan, yaitu untuk melawan rasa lelah dan jenuh membaca dinamika realitas politik yang menjemukan dan tak jelas arahnya. Dengan sendirinya PSK tidak lain adalah bangunan ruang imajinasi sarat makna yang ada di balik peristiwa-peristiwa yang mengganggunya. Kesemuanya bertolak dari kesadaran setiap manusia adalah mahkluk sosial memiliki rasa tanggung jawab pada Sang Pencipta Alam semesta (sosialis keilahian).
Sastra PSK hadir menjadi sebuah perenungan, pencerahan, katarsis dan juga bisa berkelanjutan jadi agen perubahan. Bisa dilakukan dengan mudah oleh siapa saja yang memiliki kepedulian terhadap integritas nilai-nilai kemanusiaan. Bergerak menyebar di setiap jenis ruang publik yang ada diera milenial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, You Tube, Line, Telegram, WhatAspp, Hangouts, Blog, Website, Email dan sebagainya. Dengan menawarkan estetika baru, yaitu etika masa depan selalu berkembang di atas kepentingan menjaga tatanan kehidupan untuk semua golongan yang beradab. (*)
Penulis: Saiful Hadjar, lahir di Surabaya aktif di sastra, seni rupa dan teater. Penggagas dan aktor utama gerakan kebudayaan Kelompok Seni Rupa Bermain (KSRB) di Surabaya.