COWASJP.COM – ARTIKEL itu beredar di beberapa grup WA beberapa hari lalu. Ditulis oleh Imam Shamsi Ali. Seorang cendekiawan muslim asal Sulawesi Selatan, yang giat mengembangkan kegiatan dakwah di Amerika Serikat. Dia bercerita tentang pengalamannya menjadi salah satu pembicara utama pada diskusi virtual yang dilaksanakan oleh Moya Institute Indonesia, Jumat pagi, 15 Oktober 2021.
Menurut dia, baginya tema yang diambil dalam diskusi itu sangat penting. Bahkan dia merasa itu begitu personal. Hal itu karena isu Islam dalam wajah keindonesiaan kita kerap dipandang sebelah mata. Seringkali Umat Islam dari dunia lain “overlook” (tidak memberi perhatian) kepada eksistensi dan potensi Umat Islam Indonesia.
“Ini sangat terasa dalam kerja-kerja Dakwah kami di Amerika Serikat. Betapa Islam seringkali diidentifikasi sebagai agama Timur Tengah. Sehingga posisi kita sebagai Muslim non Timur Tengah biasa dipandang sebelah mata atau kurang dianggap,” tulisnya.
Karenanya, menurut dia, menampilkan Indonesia dalam pergerakan Islam gobal menjadi sangat penting. Karena selain membangun chitra sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia. Juga untuk menampik wajah Islam sebagai agama Timur Tengah. Yang umumnya dipahami dengan konotasi negatif. Bahwa Islam sebagai agama Timur Tengah adalah agama yang anti demokrasi, diskriminatif terhadap perempuan, keras dan kaku, kurang kebebasan, masalah HAM, dan lain-lain.
Dengan demikian, Shamsi Ali memaparkan wajah Islam di Indonesia yang dia tekankan pada konteks “ummatan wasathan”. Di mana makna wasathiyah itu perlu difahami secara jeli. Karena, menurut dia, wasathiyah tidak berarti mengurangi komitmen kita kepada agama. Tapi bagaimana komitmen agama itu terjaga dalam nilai-nilai keseimbangan dan pertengahan (middle path). Di sìnilah Islam di Indonesia hadir dan membuktikan bahwa “jalan tengah” (wasathiyah) adalah jalan terbaik.
Tulisan Imam Shamsi Ali ini menarik, tentu saja. Bukan hanya karena topiknya yang berkenaan dengan “ummat wasathan”. Sesuatu yang banyak diulas dalam kajian-kajian Islam. Yang sering menampilkan ulama kondang dan para asatiz yang terkenal keluasan ilmunya di tanah air. Tapi juga karena ditulis oleh seorang imam di Islamic Center of New York dan Direktur Jamaica Muslim Center. Sebuah yayasan dan masjid di kawasan timur New York, Amerika Serikat. Lebih-lebih kalau kita melihat background Shamsi Ali sebagai pendakwah yang berkiprah dalam pembinaan umat di luar negeri, khususnya Amerika Serikat.
Sewaktu kami menerbitkan majalah dan tabloid khusus di Kementerian Sosial awal 2019, Shamsi Ali berkunjung ke kantor Kemensos di jl. Salemba Raya 28, Jakarta. Beliau sedang mencari dana untuk pengembangan pesantren yang diproyeksikan terbesar di luar negeri, terutama di Amerika Serikat. Kebetulan Mensos waktu itu adalah Idrus Marham, yang dengan Shamsi Ali sama-sama berasal dari Sulawesi Selatan. Sehingga tampak keduanya sangat akrab.
Tapi ketika kami menurunkan laporan tentang kunjungan itu, barulah timbul masalah. Sejumlah pihak di Kemensos, termasuk Idrus Marham sendiri, kuatir laporan itu akan menimbulkan persoalan di jajaran pemerintahan Jokowi. Idrus seperti kuatir akan ditegur Puan Maharani. Waktu itu, Puan adalah Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia. Yang mengkoordinir kebijakan beberapa kementerian, termasuk Kemensos.
Persoalannya adalah karena Shamsi Ali dianggap radikal. Disamasebangunkan dengan Anis Baswedan (baca: dalam sikap dan pandangan politik pemerintah). Bahkan mungkin juga dengan Habib Rizieq Syihab, bagi sebagian orang. Dianggap berseberangan dengan pemerintah yang berkuasa.
Meskipun secara kultural dia adalah tokoh yang berasal dari kalangan NU, tapi karena pernah kuliah di Pakistan, antara lain, dia dianggap terlalu condong ke “kanan” (baca: ekstrim kanan). Memiliki militansi yang dianggap tidak seirama dengan sebagian besar tokoh NU. Barangkali!
Sayangnya kita tidak mendapatkan informasi tentang pandangan para pembicara lain. Terutama Prof. Dr. Komarudin Hidayat dan KH. Marsudi Suhud. Yang juga jadi keynote speaker dalam diskusi virtual itu. Seperti kita tahu, Prof. Komaruddin dikenal sebagai pemikir Islam yang moderat. Sebagian orang bahkan memandang dia sebagai liberalis dan pluralis. Sedangkan Kiyai Marsudi sangat kental dengan pemikiran ke-NU-annya, tentu saja.
Konsep Ummatan Wasathan
Ummatan Wasathan secara konseptual merujuk kepada Surah Albaqarah 143. “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”ummatan wasathan” (umat pertengahan), agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”
Imam Shamsi Ali (tengah). (FOTO: rmol.id)
Bagaimanapun, apa yang dikemukakan Shamsi Ali juga dibahas Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar yang terkenal. Bahwa wasathan atau wasathiyah itu mesti terkait dengan al-i’tidal (keadilan/justice), at-tawazun (berimbang/balance), at-tasamuh (toleran), dan asy-syura (musyawarah/discussion). Memang mestinya demikian.
Sayangnya, pada umumnya wasthan atau wasathiyah lebih cenderung dimaknai dalam konteks kehidupan kekinian. Dalam rangka hablum minannas. Tidak hanya antar umat Islam sendiri, tapi juga antara umat Islam dan penganut agama dan kepercayaan lain. Kalau kita perhatikan pandangan Buya Hamka, beliau terkesan lebih menekankan pentingnya adanya perimbangan (balance) antara kehidupan duniawi dan ukhrawi. Dus, dengan demikian tentu lebih banyak bicara tentang konsep kehidupan internal umat Islam.
Bagaimana pun, tulisan Shamsi Ali memperlihatkan kegalauannya dalam melihat progres dakwah di dunia Barat, khususnya di negeri Paman Sam. Paling tidak kita menangkap kegelisahannya dalam dua hal. Pertama, soal Islam Indonesia yang dipandang sebelah mata baik oleh masyarakat dunia pada umumnya dan umat Islam mancanegara khususnya. Meskipun umat Islam di Indonesia adalah umat Islam terbesar atau terbanyak di seluruh dunia. Kedua, Islam di Indonesia juga dipandang tidak menonjol. Karena Islam itu lebih dicirikan sebagai agama yang berasal dari Timur Tengah. Dus, dengan demikian, Islam adalah Timur Tengah. Karenanya, meski penduduk muslimnya terbesar, Indonesia tetap tidak direken.
Mestinya kedua hal itu merupakan tantangan yang mesti dihadapi orang-orang yang bergerak dalam bidang dakwah di dunia Barat. Tidak dianggapnya umat Islam Indonesia tentu karena tidak ada hal yang menonjol yang dapat diperlihatkan para penggerak dakwah di tanah air. Apalagi bila kita ingat bahwa dalam beberapa waktu belakangan ini ada gerakan di Indonesia untuk mendikotomikan Islam Arab dan Islam Nusantara. Dalam perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat belakangan ini, informasi tentang silang sengkarut perkembangan Islam di Indonesia tentu begitu cepat menyebar ke berbagai belahan dunia yang lain. Dan munculnya Islam Nusantara tentu melahirkan berbagai pandangan yang tidak suportif terhadap umat Islam di negeri ini.
Sementara itu, wajah Islam di dunia Barat itu masih belum begitu banyak berubah. Masih cenderung dipandang dari sisi negatifnya. Dari sisi radikalismenya, anti demokrasi, diskriminatif terhadap perempuan, cenderung kaku dan melakukan kekerasan, kurang kebebasan, persoalan HAM, dan lain-lain.
Bagaimanapun, persoalan ini mestinya dipandang sebagai buah penyebaran informasi yang keliru tentang Islam oleh sebagian besar media. Terutama di dunia barat, yang sebagian besar media arus utamanya adalah milik kalangan non-muslim (Yahudi dan Nasrani). Meskipun belakangan ini semakin banyak orang yang jadi muallaf di Barat, namun bagi sebagian besar orang yang belum mengenal Islam, agama ini adalah agama yang jahat. Pertarungan pemikiran (ghazwul fikri) dalam hal ini masih belum mampu dimenangkan oleh para pendakwah Islam.
Di samping itu, di Indonesia sendiri umat Islam menghadapi tantangan yang sangat besar. Meskipun dari segi kuantitas, umat Islam adalah terbesar, namun dari segi kualitas “sangat kecil”. Sangat tidak berarti untuk menjadi umat yang patut dibanggakan eksistensinya.
Menurut survey yang disiarkan Kemenag tahun 2019, 60 sampai 70 persen umat Islam di negeri ini belum bisa membaca Alquran. Kalau ditotal penduduk negeri ini sekarang 250 juta jiwa dan 87%-nya adalah umat Islam, maka jumlah umat Islam adalah 217.500.000 jiwa. Kalau 60%-nya tidak dapat membaca Alquran, maka totalnya adalah 130.500.000 jiwa yang tidak dapat membaca Alqur’an.
Ini hanyalah hitung-hitungan kasar tentang kondisi umat Islam di negeri ini sekarang. Jadi kalau kitab sucinya saja mereka tidak bisa baca, bagaimana mungkin mereka mampu memahami Islam secara lebih dalam.
Selanjutnya bagaimana mungkin kita bicara tentang persoalan-persoalan yang lebih prinsipil. Masalah ummatan wasathan atau wasathiyah itu tak pelak sekarang menghadapi tantangan yang sangat besar. Tidak bisa disederhanakan begitu rupa. Dengan hanya mengedepankan perlunya toleransi, musyawarah dan kasih sayang antar umat Islam dan dengan penganut agama dan kepercayaan lain.
Kita kuatir, konsep ummatan wasatan lebih dimaknai sebagai konsep kehidupan dalam pengertian moderat semata-mata. Di Indonesia, konsep moderatisme seringkali dipahami sebagai pemikiran dan paham keagamaan yang tidak mengadopsi dua kutub pemikiran: pemikiran liberal Barat di satu sisi, dan pemikiran ekstrem radikal di sisi lain. Yang pada dasarnya di dalam Islam konsep semacam ini diartikan sebagai sebuah ketidakjelasan bersikap.
Bagaimanapun moderat cenderung lebih ditekankan pada perlunya umat Islam memiliki sikap dan pandangan yang tidak kaku dan lebih toleran dalam membangun modus vivendi antar umat beragama. Dengan menjauhi militansi dan radikalisme yang belakangan ini sering dimaknai sebagai momok yang menakutkan. Sehingga dengan demikian umat Islam tidak perlu lagi mengenal apa yang disebut dengan “ghirah Islamiyah”. Yang menurut Buya Hamka adalah perasaan cemburunya orang beriman dalam kaitan dengan agamanya. Yang sejatinya mesti dipertahankan.
Umat Islam di negeri ini terlalu sering dan terlalu banyak dimintai tanggung jawab, tapi tidak begitu diperhatikan hak-haknya. Jangan sampai konsep ummatan wasathan itu dijadikan tameng untuk terus mengekang kehidupan umat Islam. Sementara penganut agama dan kepercayaan lain diberikan kebebasan luar biasa. Untuk menjadikan umat Islam murtad dari agamanya.
Jangan lupa, gerakan kristenisasi di negeri ini tidak pernah redup. Sebaliknya malah makin meningkat dari waktu ke waktu. Target mereka untuk memurtadkan umat Islam sampai separohnya pada 2050 mendatang terus dikejar. Dengan berbagai fasilitas yang tersedia, kucuran dana yang tidak terbatas dan kurangnya perhatian dari pemerintah maupun pemuka agama Islam sendiri, memungkinkan negeri ini berubah seperti Filipina dalam beberapa puluh tahun ke depan. Na’uzubillah min zalik! (*)