COWASJP.COM – Heboh parah. Guru agama, Herry Wirawan (36) memperkosa 12 santriwati usia 13 - 16, sejak 2016 - 2021. Mereka melahirkan (total) sembilan anak. Herry diadili di PN Bandung, mulai Selasa (7/12/21). Muncul wacana kebiri.
***
Sidangnya tertutup. Para wartawan cuma mendapatkan surat dakwaan jaksa, Rabu (8/12/21). Di situ diurai lengkap.
Herry Wirawan guru sekaligus pengelola Pondok Pesantren Tahfidz Madani di Cibiru, Bandung.
Sejak 2016 Herry memperkosa santriwati yang usianya antara 13 - 15 tahun. Dengan ancaman, bahwa santriwati akan dikeluarkan dari pesantren jika tidak menurut pada Herry.
Dari awalnya satu santriwati diperkosa, kemudian dilakukan pada santriwati lain di Ponpes tersebut. Sampai 12 santriwati diperkosa, kemudian menjadi kebiasaan, dan bergiliran.
Santriwati yang masih anak-anak itu, satu demi satu melahirkan anak. Sampai total sembilan bayi. Kini sudah Balita. Dan, dua janin lagi, masih dalam kandungan santriwati.
BACA JUGA: Polda Metro Bikin COP di Kampung Tangguh​
Herry menggauli para santriwati di berbagai tempat. Kebanyakan di kamar santriwati di Ponpes. Juga di Ponpes MH, tempat Herry juga mengajar. Kadang di Apartemen TS di Bandung.
Juga di beberapa hotel di Bandung. Antara lain, Hotel A, Hotel PP, Hotel BB, Hotel N, dan Hotel R. Karena, tidak memungkinkan hubungan seks selalu di Ponpes yang banyak murid tinggal di situ.
Dana untuk menyewa apartemen dan hotel-hotel itu, diduga dari uang sumbangan berbagai donatur untuk pesantren yang ia kelola.
Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Garut, Diah Kurniasari menyelidiki kasus ini sejak beberapa bulan lalu. Diah kepada wartawan, Kamis (9/12/21) mengatakan:
"Dari 12 santriwati yang jadi korban, 11 dari Garut. Seorang dari Bandung. Yang dari Garut, berasal dari dua kecamatan. Mereka bersaudara, punya kekerabatan, juga bertetangga. Jadi, rombongan dari Garut. Rame-rame mondok di situ."
Mengapa rombongan dari Garut?
"Karena ia (Herry Wirawan) dan isterinya asal Garut. Cuma sudah cukup lama tinggal di Bandung," jawab Diah.
Madani Boarding School terletak di Kompleks Yayasan Margasatwa, Kecamatan Cibiru, milik Herry Wirawan. (FOTO: Rachmadi Rasyad/kumparan)
Dilanjut: "Sebenarnya, mereka sekolah mondok di sana, karena gratis. Mohon maaf, orang tua para korban kurang berada. Jadi, karena gratis maka anak-anak mereka mondok di sana."
Para orang tua korban, warga sangat sederhana. Mereka bekerja sebagai buruh tani, tukang bangunan, pekerja serabutan, tukang servis jok, tukang sayur, tukang ojek.
Menurut Diah, ketika Ponpes Tahfidz Madani yang dikelola Herry itu dibangun pada 2015, para ortu santriwati ini ikut membantu pembangunan. Mereka gotong royong. Tidak dibayar. Hanya diberi makan. Dengan harapan (waktu itu) setelah bangunan jadi, anak-anak para pekerja itu bisa mondok di sana, gratis.
Ternyata pondok itu, justru lokasi perkosaan berkelanjutan terhadap anak-anak para pekerja bangunan tersebut. Sungguh ironis.
Apakah terdakwa Herry masih menikah? "Masih. Isterinya asal Garut, tinggal di Bandung. Mereka punya anak tiga," kata Diah.
BACA JUGA: KKB Papua, Saudara atau Bukan?​
Jadi, kalau dijumlah anak Herry sekarang 12 orang. Belum termasuk dua janin yang masih di rahim para santriwati. Itu lahir dari 13 wanita, termasuk seorang isterinya.
Para ortu santriwati marah tak tertahan. Para Ortu sudah menarik pulang anak-anak mereka. Bocah-bocah wanita itu, memboyong juga anak-anak yang mereka lahirkan. Ke rumah kakek-nenek. Jadi, tidak satu pun dari sembilan anak ditanggung Herry.
Dua bocah yang kini sedang hamil, pun ditarik pulang ke rumah ortu mereka. Salah satunya sudah siap-siap melahirkan. Hampir mbrojol. Di rumah kakek-nenek, juga.
Ayah salah seorang santriwati, meluapkan kemarahannya kepada wartawan. "Sungguh keji, dia."
Herry Wirawan, 36 tahun, pemerkosa belasan santriwati. (FOTO: Dok. Istimewa - kumparan.com)
Ortu lainnya mengatakan: "Katanya, pemerkosa anak, hukumannya dikebiri. Kami minta ia dikebiri saja, supaya tidak bisa mengulangi kebejatannya."
Hukuman kebiri sudah diatur. Sudah ada sejak lima tahun lalu. Indonesia ini gudangnya peraturan. Lengkap. Cuma, pelaksanaannya yang belum pernah diterapkan.
Presiden Jokowi sudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan ke dua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Sampai di sini, bisa dicermati: Sudah ada UU-nya sejak 2002. Yang kemudian diamandemen (jadi Perppu). Atau jadi peraturan yang baru.
Perppu Nomor 1 Tahun 2016 ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2016 menjadi Undang-Undang.
Di Undang-Undang Perlindungan anak tersebut sanksi yang diberikan adalah hukuman kebiri kimia. Itu diatur dalam pasal 81 ayat (7) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016.
Permasalahannya hukuman kebiri kimia sebagai pidana tambahan, apakah sesuai dengan sistem pemidanaan di Indonesia?
Juga, bagaimana pelaksanaan teknis kebiri kimia? Pelaksananya pastilah dokter, atau tenaga medis. Tapi, belum ditunjuk di dalam UU Nomor 17 tahun 2016.
Jadi, UU-nya ada. Petunjuk pelaksanaan teknisnya belum ada. Detilnya juga tidak ada.
Apakah kebiri permanen, atau berjangka waktu? Kalau berjangka, berapa lama? Kebiri kimia itu menggunakan bahan kimia apa? Di mana harus dilaksanakan, oleh siapa?
Beberapa bulan lalu, hal ini dihebohkan. Karena ada kasus perkosaan bocah perempuan. Waktu itu diusulkan, kebiri berjangka waktu dua tahun. Sebagai hukuman tambahan.
Diusulkan, penyuntikan kebiri kimia dilaksanakan, pada beberapa hari menjelang narapidana bebas hukuman. Sejak itu sampai dua tahun, ia tanpa kemampuan ereksi. Setelah dua tahun, bisa ereksi lagi.
Tapi, itu sekadar usulan. Tanpa tindak lanjut. Menghilang begitu saja.
Yang mengemuka justru pro-kontra hukuman kebiri kimia. Dinilai melanggar HAM. Melanggar hak seksual warga negara, meskipun hanya berjangka waktu dua tahun.
Pro-kontra ini, karena kebiri kimia memang debatable. Seperti hewan, dikebiri.
Victor T. Cheney, dalam bukunya "A Brief History of Castration" (second edition 2006) menyebutkan, kebiri manusia sudah dilakukan sejak ribuan tahun silam.
Disebutkan, kebiri (disebut juga kastrasi) adalah perlakuan paling kuno, mujarab, cepat, dan murah untuk mencegah kejahatan, penyakit, kekerasan, dan kelahiran yang tak diinginkan.
Bermacam alasan dilakukannya praktik kebiri, mulai dari alasan religius, hukuman kejahatan, hingga kepentingan vokal dalam bermusik mempertahankan nada tinggi anak-anak meski sudah beranjak dewasa.
Pengebirian manusia di Tiongkok dilaksanakan pada Dinasti Hsia (2205 SM - 1766 SM). Sampai sekarang. Terhadap pria pemerkosa anak-anak.
Di Mesir Kuno, Rasa Merneptah dari Mesir membuat monumen di Karnak sekitar 1225 SM, dengan mencantumkan daftar 13.000 penis yang dipotong lewat pertempuran dengan suku Libya dan orang-orang Mediterania.
Emaskulasi (pemotongan organ kelamin) dari musuh yang kalah perang, dipandang sebagai penyempurnaan kemenangan perang.
Pada masa Yunani dan Persia kuno, praktik kastrasi sudah dituliskan oleh sejarawan Herodotus (484-425 SM) dari Yunani. Herodotus mengisahkan Panionius yang mengkebiri budak (disebut orang Kasim) dan kemudian menjual budaknya.
Panionius menjual orang Kasim pada Ephesis dan Sardis. Orang Kasim dihargai sangat tinggi, karena jujur dan setia. Orang Kasim sangat terpercaya, menjaga harem, atau tempat tinggal para selir raja.
Karena si Kasim tidak mungkin ereksi.
Salah satu budak Panionius bernama Hermotimus, menjadi Kepala Kasim dari Xerxes (486-463 Masehi). Kepala Kasim artinya komandan dari beberapa orang Kasim. Sang komandan, juga Kasim.
Di Inggris, Alan Thuring, pionir ilmu komputer dihukum kebiri kimiawi pada 1952. Soalnya, dia didakwa bersalah melakukan tindak homoseksualitas. Saat itu homoseksual merupakan perbuatan kriminal di Inggris.
Kini tercatat 28 negara menerapkan hukum kebiri. Di catatan itu, tidak termasuk Indonesia. Mungkin, karena belum pernah ada eksekusi hukum kebiri. Di sini.
Perdebatan pelaksanaan hukum kebiri, tentu sangat sengit. Di tingkat elit.
Ortu santriwati korban perkosaan Herry, yang kuli bangunan, enak saja bicara hukum kebiri. Ia minta Herry dikebiri. Karena, puterinya kini trauma parah, depresi berat, nyaris gila, merawat bayi hasil perkosaan.
Sedangkan, para elit yang mendebat pelaksanaan hukum kebiri itu, 'kan tidak mungkin menempatkan puteri mereka di Ponpes gratisan. Di tempat Herry. Ow... tidak mungkin.
Di situlah perbedaan si miskin dengan si kaya. Si miskin, menuntut penegakan hukum, yang aturannya ada sejak 2016. Si kaya, bersilat bicara tentang HAM. Pastinya tidak ketemu.
Seperti kata filsuf Inggris, Thomas Hobbes, dalam bukunya "De Cive" (1651), homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya). Watak dasar manusia.
Serigala yang bisa memperkosa. Tak bisa dikebiri. (*)