COWASJP.COM – Jumlah perceraian di Surabaya mengejutkan. Kepala Pengadilan Agama Surabaya, Samarul Falah ke pers, Rabu (22/12/21) mengungkap, di Januari - November 2021: 5.687 kasus. Kalau dikalkulasi 17 per hari.
***
Jika manusia tidur tujuh jam per hari, maka pasangan suami-isteri di Surabaya bercerai satu per jam.
Samarul Falah: "Dari jumlah itu, tercatat 5.198 kasus sudah diputus (cerai). Mereka adalah pasutri usia produktif. Pria usia 25 sampai 40. Perempuan usia 20 - 30."
Penyebab beragam. Mulai dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), ekonomi, judi, poligami. Kebanyakan disebabkan faktor ekonomi.
Diduga, terkait pandemi Corona. Menyebabkan gerakan orang terhambat. Bisnis jadi lesu. PHK. Cerai.
Tapi, jumlah itu menurun dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year on year). Yakni 6.221 kasus pengajuan cerai. Sedangkan, 5.329 kasus sudah diputus majelis hakim.
Kalau dikalkulasi, 18,6 kasus cerai per hari. Dengan metode penghitungan yang sama dengan di atas, ketemu angka: Satu perceraian per 52 menit.
Penyebab cerai tahun lalu, juga sama dengan tahun ini. Mayoritas karena faktor ekonomi. Terkait pandemi Corona, juga. Yang berarti, kondisi tahun lalu lebih parah dibanding 2021.
Perceraian mengakibatkan anak-anak (dari pasutri cerai) hidup dalam suasana tidak kondusif. Tersakiti hati mereka. Traumatik. Yang, berpotensi jadi penjahat, saat mereka dewasa kelak.
Ada hasil risetnya soal itu. Dikutip dari jurnal ilmiah National Institutes of Health's National Library of Medicine, dipublikasi PubMed Central (PMC), Agustus 2018, memuat risetnya.
Judul risetnya: "Experience of Child–Parent Separation and Later Risk of Violent Criminality".
Responden warga Denmark. Yang lahir 1971 - 1997. Berjumlah 1.346.772 orang.
Status responden, lebih dari 93% dari populasi penelitian, tinggal bersama kedua orang tua pada saat mereka lahir. Dan, 7% sudah tidak tinggal dengan ortu di saat mereka lahir.
Kemudian turun menjadi 71% pada usia 15 tahun. Artinya, saat responden usia 15, sudah tidak hidup bersama kedua ortu. Bisa karena bercerai, bisa meninggal dunia.
Remaja usia 15 yang sudah tidak tinggal bersama ortu (baik sejak lahir atau sesudahnya) itulah yang diteliti. Hasilnya, mayoritas dari mereka jadi remaja nakal, melakukan tindak kekerasan, bahkan melanggar hukum pidana.
Riset itu juga mengutip karya Perales F., Johnson S.E., Baxter J., Lawrence D., Zubrick S.R. "Family structure and childhood mental disorders: new findings from Australia (2017) yang menyatakan:
Ilustrasi: Radar Surabaya/Jujuk Suwandono.
Anak-anak korban perpisahan (perceraian) orang tua telah dilaporkan menunjukkan kesejahteraan dan kesehatan mental yang lebih buruk selama masa kanak-kanak dan dewasa, dibandingkan dengan mereka yang memiliki orang tua yang tidak pernah berpisah atau bercerai.
Paparan terhadap perpisahan orang tua, juga telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kenakalan dan kekerasan.
Dirinci, asosiasi bervariasi dengan pemisahan dari ibu saja. Atau ayah saja. Atau dari kedua orang tua. Artinya, jika pemisahan dari ayah dan ibu, maka anak itu ikut kakek-nenek atau kerabat, atau diadopsi, atau di panti anak yatim.
Semakin jauh anak dengan kerabat, semakin tinggi kecenderungan melakukan tindak kejahatan. Bahkan, jadi individu anti-sosial setelah mereka dewasa.
Uraian riset itu sangat detil. Tapi kesimpulannya: Tidak banyak pasangan suami-isteri yang berpikir tentang ini, ketika mereka cekcok berat, kemudian memutuskan bercerai.
Yang mereka pikirkan, ketika mereka hendak memutuskan bercerai, adalah kepentingan individu masing-masing (suami dan isteri).
Mereka tahu, bahwa anak mereka bakal tidak gembira, ketika mereka bercerai. Tapi, mereka tidak peduli. Atau, mereka merasa bahwa problem rumah tangga mereka lebih berat, dibanding kesedihan anak.
Tentunya, mereka tidak punya kemampuan memprediksi, bagaimana psikologis anak di masa depan. Dan, bakal jadi apa anak-anak itu, kelak.
Frekuensi perceraian warga Surabaya yang satu kasus per jam, cukup tinggi. Sebanyak itu pula jumlah anak-anak yang berpotensi jadi penjahat, kelak, sekitar 20 tahun ke depan.
Mereka yang bercerai bagai meninggalkan bom waktu. Yang meledak dalam bentuk peningkatan kriminalitas di masa depan. (*)