COWASJP.COM – Sejatinya, banyak pihak yang menyayangkan pecah kongsi Dis v GM yang berakibat sangat dahsyat di JP Group.
Tak hanya retaknya JP Group. Di mana Sumeks Group dan Fajar Group keluar dari JP Group (baca JPNN) lalu membentuk jaringan berita sendiri, yakni, Fajar Indonesia Network (FIN) yang dikomandani Agus Salim, putra Alwi Hamu.
Pecah kongsi tak hanya menimbulkan perseteruan hebat kubu Dis dkk dan GM dkk di pihak lainnya. Juga berpengaruh hebat terhadap kelangsungan perusahaan di bawah JP Group.
Yang rugi tak hanya Dis dkk dan GM dkk, tapi juga menyangkut nasib ribuan karyawan JP Group yang tersebar dari Aceh sampai Papua.
Konflik JP sebenarnya hanya melibatkan dua tokoh kunci utama: Dis dan GM di pihak lainnya.
Kalau kedua tokoh ini bisa duduk bareng, melepas egonya, maka Kisruh JP Group insya Allah akan berakhir.
Apalagi beliau berdua sudah berumur. Sudah sepuh. Di masa senja hidupnya.
Semestinya mereka lebih bijak.
Mengedepankan kepentingan imperium JP Group di atas ego dan kelompoknya.
Kalau Dis dan GM bisa akur lagi, semua masalah JP Group akan tuntas dengan sendirinya.
CEO Fajar Group Alwi Hamu, optimistis gegeran Dis dkk vs GM dkk tidak akan sampai ke ranah hukum, apalagi masuk pengadilan.
Cukup berhenti di antara mereka berdua saja.
Suatu saat Alwi yakin akan tercapai jalan kompromi di antara mereka.
Mengapa Pak Alwi tidak mendamaikan mereka (Dis-GM) untuk kepentingan kejayaan JP Group. Eman. Sayang, JP Group yang sudah susah payah dibangun Dis dkk harus pecah, tercerai berai, berakhir seperti sekarang?
"Saya masih mencari jalan ke sana. Suatu saat kalau ada kesempatan saya ingin pertemukan mereka (Dis-GM), " aku Alwi (Baca Wawancara Alwi Hamu di buku 2).
Pecah kongsi Dis versus GM dkk juga membuat almarhum CEO Sumeks Group, Suparno Wonokromo sangat..sangat prihatin.
"Saya prihatin, tidak membayangkan itu terjadi pada Pak Dahlan (didepak dari JP). Padahal, Bos Dis orang paling berjasa luar biasa membesarkan JP Group," kata almarhum Suparno Wonokromo.
"Apa tidak ada jalan kompromi yang lebih baik? " tanya pria asal Ngawi, Jatim itu. (Baca Wawancara Suparno di buku 2)
Mengapa Dis dan GM tidak berkaca dari rekonsiliasi orang orang Tempo pada 21 Oktober 2008.
Sejatinya perseteruan awak majalah Tempo jauh lebih dahsyat. Berlangsung sangat lama. Belasan tahun. Berdarah darah. Hingga menimbulkan luka sangat dalam bagi kelompok yang bertikai.
Diaspora awak Tempo sejatinya dimulai Sabtu, 11Juli 1987. Di mana 32 karyawan yang dipimpin Shu'bah Asa salah satu pendiri Tempo dan Saur Hutabarat, Kepala Biro Tempo Jakarta memilih hengkang dari Tempo.
Mereka lalu mendirikan majalah Editor.
Sebagian awak Editor dalam perjalanannya pecah lalu sebagian bergabung majalah Prospek milik Sutrisno Bachir.
Ini awal menjalarnya awak Tempo ke berbagai media.
Puncaknya, pasca bredel Tempo 21 Juni 1994, awak Tempo tak hanya tercerai berai secara fisik. Juga secara ideologis.
Awak Tempo terserak. Pecah. Dari karyawan biasa sampai pemegang saham.
Sebagian karyawan yang loyal bertahan di Tempo. Membentuk media bawah tanah.
Sebagian bergabung media main stream yang tidak beralifiasi ke rezim orba sekadar bertahan hidup.
Tapi, sebagian besar awak Tempo bedhol desa ke majalah Gatra bentukan Bob Hasan kroni Soeharto. Termasuk Ciputra yang awalnya pemegang saham mayoritas Gatra. Lalu diakali Bob Hasan hingga sahamnya mengempis.
Foto kenangan pertemuan Big Boss Ir Ciputra (yang menaungi Tempo Group dan Jawa Pos Group), Big Boss Jawa Pos Eric Samola, dan Dahlan Iskan tempo doeloe. (FOTO: citraindah.com)
Gatra kemudian pecah. Sebagian awaknya membentuk majalah Gamma. Persebaran awak Tempo kian luas.
Luka perpecahan awak Tempo begitu dalam dan sangat berdarah darah, berlangsung belasan tahun dan melibatkan banyak tokoh penting pendiri Tempo.
Tapi, rekonsiliasi 21 Oktober 2008 menyatukan kembali pihak yang tercerai berai, terserak, terpisah secara fisik dan ideologi. Menjadi satu kembali dalam keluarga besar TEMPO.
Dalam rekonsiliasi Selasa malam di Komunitas Salihara, GM dalam pidatonya dengan takzim mengatakan: "Tak usah lagi mempersoalkan Gatra, Editor atau apa pun. Kita semua adalah satu Tempo. Permusuhan dan perseteruan tak boleh selamanya".
Gemuruh tepuk tangan dan sorak sorai 200 alumni Tempo mengiringi sambutan GM. Termasuk Dahlan Iskan ikut hadir. Setahun kemudian, 2009 Dis dipercaya menjadi Dirut PLN.
Almarhum Amarzan Lubis, redaktur senior Tempo mengungkapkan, inilah pernyataan resmi pertama GM tentang rekonsiliasi awak Tempo.
Seperti ungkapan Jawa: ngumpulke balung pisah. Mengumpulkan tulang yang terpisah. Atau menyatukan mereka yang terserak.
Kalau perseteruan awak Tempo melibatkan banyak tokoh, berdarah darah dan berlangsung belasan tahun saja berakhir happy ending. Mengapa gegeran, Konflik JP Group yang tokoh utamanya hanya Dis vs GM tak bisa didamaikan?
Sungguh terlalu. Kata Bang Haji Rhoma.
Selain Dis dan GM sudah sepuh. Dis sudah Kepala 7 tepatnya 71 tahun saat 17 Agustus 2022 nanti. Sedangkan usia GM sudah kepala 8. Tepatnya 81 tahun saat 29 Juli 2022 mendatang.
Harusnya mereka berdua malu pada anak anaknya. Generasi baru JP dan Tempo.
Apakah mereka akan membawa perseteruan sampai ke liang lahat?
Toh.. kalau menghadap Illahi, Dis tidak membawa JP. Begitu juga GM tak akan membawa Tempo yang dibidaninya.
Apa Dis-GM tidak belajar dari perseteruan para pendiri dan pengurus rumah ibadah di kawasan Nginden, Surabaya. Yakni, antara pdt AT dan pdt Lmt. Mereka saling lapor, saling gugat di pengadilan hingga
keduanya menemuinya ajalnya tanpa sempat menyelesaikan masalahnya secara damai.
Entah bagaimana sekarang. Apa sudah damai atau terus gegeran di alam kuburnya. Kasihan jemaatnya yang ditinggalkan.
Jangan sampai perseteruan Dis v GM bernasib sama seperti kedua tokoh di atas. Keburu menghadap Illahi tanpa bisa menyelesaikan masalah JP secara damai.
Penulis dan alumni JP, terlebih karyawan JP Group menanti rekonsiliasi Dis dan GM layaknya rekonsiliasi Tempo 21 Oktober 2008.
MENGAPA DIS TIDAK MELAWAN?
Tapi di sisi lain, banyak pihak yang menyayangkan, mengapa kubu Dis tidak melawan pemegang saham yang dimotori GM dkk.
Momentum terbaik Dis melawan GM dkk sebenarnya terjadi usai Azrul Ananda, anak lanang Dis dicopot dari Dirut JP Koran saat RUPS LB pada 24 November 2017.
Saat itu hampir semua pimpinan JP, JP Group, Direktur Radar dan senior JP bersimpati dan berada di belakang Dis.
Mereka tinggal menunggu komando Dis untuk melawan GM dkk.
Bahkan satu minggu sebelum dicopot dari Dirut JP Koran, sembilan Direktur Radar saat rapat triwulan di Banyuwangi menghadap Azrul. "Sampeyan ditekan Jakarta (GM dkk) nggak usah dihiraukan. Sampeyan kerja seperti biasa saja. Kami semua berada di belakang sampeyan, " kata Eri Suharyadi, Direktur Radar Jogja yang menjadi juru bicara para Direktur Radar yang disaksikan Direktur Radar lainnya.
"Kami siap pasang badan," timpal Direktur Radar lainnya.
"Malah kita senang Bos Azrul bersikap tegas dan keras sama pemegang saham," tambah Eri memprovokasi Azrul.
Tanggapan Azrul di luar dugaan, dan membuat para Direktur Radar masghul.
"Biasa Mas. Posisi saya kan sama seperti Anda. Biasa ditekan. Sampeyan tahu saya anaknya Pak Dahlan. Semua tergantung Abah. Saya tidak sefrontal itu, " kilah Ulik sapaan Azrul.
Glodak.. para Direktur Radar tidak menyangka Azrul yang biasanya fight. Tidak takut kepada siapa pun, kali ini loyo.
Nyaris tidak berbekas sedikit pun kegarangannya. Seperti kalah sebelum berperang.
"Kami.. Kami sangat kecewa, " aku Eri. Direktur Radar lainnya tak kalah kecewanya. Sampai misuh misuh.
(Baca:Cerita Dukungan Direktur Radar Tak Bersahut di buku 1)
"Kita juga loyal ke Pak Dahlan. Apa perintahnya kita taati. Ini sisa sisa pengabdian kami ke Bos Dis. Kita bisa jadi Direktur juga karena Pak Dahlan. Masak kita diam saat Bos Dis dikuyo kuyo (dianiaya) orang Jakarta (pemegang saham GM dkk) ," ujar seorang Direktur Radar senior ke penulis.
Para pimpinan JP Group daerah silih berganti mengunjungi Sakura Regency, rumah Dis. Baik perorangan maupun bersama sama, rombongan dipandu Zainal Muttaqien atau ditemani Yamin Hamid. Ada yang diterima, ada yang ditolak Dis tanpa alasan jelas.
Akhirnya, mereka yang ditolak Dis hanya kongkow di Hotel Alana seberang Graha Pena.
Eric Samola, Harjoko Trisnadi, dan Goenawan Mohamad tempo doeloe. (FOTO: datatempo.co)
Padahal, mereka harus terbang ribuan kilometer dari daerah asal kota mereka ke Surabaya untuk menemui Dis. Tapi, harus berakhir mengecewakan. Ditolak Dis.
Kedatangan ke rumah Dis selain silahturahmi, empati kepada nasib Azrul yang baru dicopot dari Dirut JP Koran.
Mereka juga ingin dapat arahan, petunjuk.
Mereka menunggu fatwa Dis untuk melawan pemegang saham Jakarta GM dkk.
GM dkk dianggap sewenang wenang terhadap Dis.
Tapi, mereka harus kecewa karena Dis tak pernah mengeluarkan fatwanya untuk pimpinan anak perusahaan. (Baca: Menanti Fatwa Tak Kunjung Turun di buku 1).
BACA JUGA: Pasca Pecah Kongsi Dahlan Iskan versus Goenawan Mohamad
Ditambah lagi dukungan sebagian besar para senior JP karena ada ikatan batin dengan Dis karena pernah sama sama berjibaku membesarkan JP dari koran sekarat menjadi imperium. Beranak pinak jadi ratusan media massa dan puluhan tv lokal.
Sayang Dis bergeming. Tak bergerak melawan GM dkk. Padahal, Dis saat itu sangat kuat. Masih menjabat CEO JP Holding dan mendapat dukungan luar dalam di JP Group.
Kalau Dis saat itu melawan itu moment terbaik. Mungkin sejarah JP akan lain tidak seperti sekarang. Bisa jadi GM dkk tidak mengobok obok JP Group seperti sekarang.
Bisa jadi kalau Dis saat itu melawan, mungkin masih berkuasa di JP seperti dulu.
Sayang moment terbaik melawan GM dkk itu dilewatkan Dis.
Kecuali kalau Yang Di Atas menakdirkan Dis seperti nasibnya sekarang lain ceritanya. Mungkin penguasaan atas JP Group sedang dipergilirkan oleh Yang Kuasa.
Tidak jelas alasan Dis emoh melawan GM dkk saat itu. Apakah karena posisi Dis saat lagi terbelit dugaan kasus korupsi tukar guling aset perusda BUMD Jatim, di mana Dis jadi Dirut nya. Kasus itu sempat membuat Dis menghuni sel Lapas Medaeng, Sidoarjo. Tapi belakangan semua tuduhan yang dialamatkan ke Dis tidak terbukti.
"Coba kalau kita kita (para senior) masih ada di dalam JP. Kita lawan mereka ( GM dkk). Kita usir mereka. Memangnya mereka siapa? Kok ujug ujug, seenaknya mengambil JP yang sudah besar. Mapan. Kenapa GM dkk tak mengambil JP saat masih susah. Mereka (GM dkk) memang tidak tahu diri, " ujar senior JP Ferry is Mirza.
Tapi Margiono, bos Rakyat Merdeka Group punya pandangan berbeda.
"Loyal itu tak bisa diukur. Tidak konkrit. Kalau karyawan loyal terus mendesak Dahlan-Azrul melawan pemegang saham Jakarta (GM dkk) tidak bisa begitu. Itu emosional, " kata Mg inisial Margiono.
BACA JUGA: Semua Lini Bergolak, Ada yang Menangis Lantas Menendang
"Dukungan itu hanya retorika. Ini perusahaan. Kalau adu kuat namanya geng. Bukan perusahaan lagi, " tambah Mg (Baca: wawancara Margiono di Buku ).
"Saya netral soal JP karena tidak punya saham di JP he.. he, " aku Mg.
Sudah jadi rahasia umum hubungan Mg dengan petinggi JP Surabaya selama ini kurang harmonis. Mg pernah tidak disapa petinggi Surabaya selama dua tahun gara gara bagi bagi mobil dan rumah pada karyawan RM ( Rakyat Merdeka). Juga membantu karyawan mendapatkan rumah dengan DP murah. Itu pun ditalangi RM. Kini, rumah karyawan RM di kawasan Gading Serpong, Tangerang harganya miliaran rupiah. Itu yang membuat gaduh manajemen JP.
Kalau RM yang baru tumbuh bisa bagi bagi mobil ke karyawan plus rumah. Mengapa JP yang induknya jauh lebih besar, jauh lebih kaya kalah dari RM tidak bisa melakukan hal sama.
Bahkan kalau mau bisa lebih. Sayang itu tak diwujudkan. Makanya, karyawan JP protes. Itu hanya soal kemauan pimpinan. Kalau pimpinan kikir, pelit, tidak ada perhatian ke karyawan, sekaya apa pun perusahaan tidak menetes ke para karyawan (rakyat JP).
Bukannya bangga, meniru langkah Mg. Pimpinan JP Surabaya malah memusuhi Mg. Aneh tapi nyata. Mg dianggap virus kesejahteraan yang bisa menulari karyawan JP Surabaya menuntut hal yang sama. (baca Di Buku Azrul Ananda Dipuja dan Dicibir... Wawancara Margiono)
Didiek Pudji Yuwono menyarankan Dis sebaiknya mengiklhaskan Jawa Pos. Meski itu sangat menyakitkan.
Mengapa? Itu karena Dis orang paling berjasa membuat JP menjadi imperium seperti sekarang ini.
"Pak Dahlan lebih baik membentuk semacam Dahlan Iskan (Dis) Foundation. Itu lebih mulia karena sifatnya pengabdian. Pak Dahlan lebih bermanfaat untuk banyak orang di lembaga itu, " tutur Didiek.
Kalau Dis termakan provokasi mereka yang mengaku loyalis Dis membentuk Harian DisWay misalnya, itu bukan untuk Dis tapi untuk kepentingan mereka yang mengaku loyalis Dis. Wabilkhusus Zainal Muttaqien dkk.
"Bukan saatnya lagi Pak Dahlan ngurusi media. Sudah terlalu tua, " ingat Didiek. (Baca Wawancara Didiek Pudji Yuwono).
DIS EMOSI, GM ANGKUH
Mengapa Dis tak melawan GM dkk meski sebagian besar Pimpinan JP Group, Para Direktur Radar, senior JP ada di belakang Dis.
Saat dicegat penulis di Graha Pena. Mengapa Bos Dis tidak melawan GM dkk?
"Saya ini orang Jawa...," jawab Dis tanpa mau meneruskan kalimatnya.
BACA JUGA: Loyalis Dahlan Difitnah dan Tersingkir, Saham Karyawan Jadi Bancaan
Banyak senior JP, pimpinan JP daerah dan loyalis Bos Dis siap di belakang sampeyan jika melawan kesewenang wenangan GM dkk?
"Saya tidak butuh loyalis,." ujar Dis emosional.
Penulis sudah ketemu banyak senior JP dan loyalis sampeyan. Mereka siap di belakang Bos Dis andai melawan GM dkk?
Raut muka Dis memancarkan tidak suka didesak desak terus penulis.
"Belum tentu.. Belum tentu loyal, " ujar Dis dengan nada tinggi sambil mengibas ngibaskan tangannya.
Penulis wawancara door stop Dis kurang lebih lima sampai enam kali.
Kali pertama sampai ketiga Dis terlihat tegang, emosional. Bawaannya uring uringan.
Bahkan Dis menolak segepok daftar wawancara berisi seratus lebih pertanyaan yang sudah disiapkan penulis.
"Saya tidak mau terima. Saya tidak mau terima, " elak Dis tegang.
Baru wawancara keempat dan kelima suasana sudah cair. Dis mulai bisa ketawa ketawa. (baca: Wawancara Dahlan Iskan di Buku 3)
Hal yang sama juga dialami penulis saat hendak wawancara Goenawan Mohamad.
Penulis japri tiga kali untuk minta waktu wawancara. Tapi dijawab GM pendek. "Maaf. Saya sedang menyiapkan buku dan pameran tunggal. Gak punya waktu, " balas GM.
Seorang senior JP yang melihat jawaban GM terhenyak. "Wah.. Angkuh benar orang ini (GM). Masak nggak punya waktu. Padahal, wawancara Mas Goen kan juga untuk kepentingan ratusan karyawan JP, " ujar senior tadi.
Saat ditemui penulis di Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, GM keukuh menolak diwawancarai.
"Lo, saya kan sudah jawab tidak bisa, " ujar GM ketus.
"Kenapa nggak bisa Mas Goen, " kejar penulis.
"Tetap saja saya nggak bisa jawab, " balas GM tak kalah sengitnya. Raut muka GM berubah masam. Tanda tak suka.
"Apa Mas Goen curiga kalau penulis tidak independen (dalam menulis Buku Konflik Jawa Pos Pasca Pecah Konflik Dis v GM), " cerca penulis.
"Tidak! Tidak! Saya tidak curiga seperti itu, " aku GM.
"Lalu kenapa Mas Goen tidak mau diwawancarai," desak penulis.
"Saya nggak bisa, " ujar Mas Goen pongah. Angkuh. Raut wajahnya menegang. Sorot matanya sedikit mendelik. Tanda marah, tak suka GM terus didesak desak penulis.
"Kenapa tidak bisa, " desak ulang penulis lagi.
"Kalau Anda... (suara Mas Goen tak terdengar karena lirih) bikin saya makin kesal saja, " gerutu GM.
"Apa Mas Goen," tanya balik penulis penasaran.
GM tidak menjawab. Ekspresi wajahnya kian mengeras. Marah. Tak suka terus didesak.
GM mempercepat langkahnya menuju ruang depan Salihara.
Penulis terus mengiringi langkah GM.
Di belakang penulis ada wartawati majalah Tempo yang sudah janjian untuk wawancara mengintili, ikut berjalan di belakang penulis.
Saat hendak duduk Mas Goen setengah berteriak menukas: "Ayo wawancara dimulai !" ujar Mas Goen dengan nada tinggi.
Wartawati Tempo berhijab tadi tergopoh gopoh cari kursi dekat Mas Goen.
Itu juga isyarat agar penulis keluar ruangan.
Tapi, penulis tak beranjak dari komplek Salihara.
Penulis memilih menunggu di sudut ruangan. Deretan bangku panjang di kompleks Salihara untuk menunggu wawancara lanjutan dengan GM.
Setelah menunggu 1,5 jam, wawancara wartawati Tempo dengan GM usai.
Penulis pun mendekati GM yang baru keluar ruangan untuk wawancara lanjutan.
Kali ini pembawaan GM agak rileks. Tidak spaneng seperti sebelumnya. Itu dimanfaatkan penulis untuk bercerita kondisi JP Koran terkini.
Salah satunya, program pensiun dini bagi redaktur berusia 40 tahun ke atas yang dipaksakan.
Tak hanya merugikan para redaktur. Juga berdampak besar terhadap produk dan kualitas isi Koran. Juga, masalah JP Koran lainnya. Seperti pembentukan Serikat Pekerja JP Koran yang dihambat, disabotase manajemen.
GM mendengarkan dengan serius.
"Saya tidak ngerti konflik Jawa Pos. Makanya, Saya nggak mau diwawancarai, " kilah GM.
Pengakuan GM ini bisa benar. Mungkin tidak dapat laporan manajemen Surabaya.
Tapi, bisa GM pura pura tidak tahu. Sekadar ngeles. Menolak diwawancarai.
Tapi, begitu obrolan penulis pindah ke pertanyaan, Mas Goen keukeuh enggan menjawab.
Baiknya Mas Goen dengan tangan terbuka mau menerima daftar pertanyaan yang disiapkan penulis. Terdiri dari 30 lembar halaman folio. Berisi 100 lebih daftar pertanyaan seputar masalah JP Group, hubungan GM dengan Dis dan lainnya. (Baca: Wawancara GM di Buku 3). Penulis juga sertakan e-mail. Tapi, tak pernah dijawab.
KIPRAH DIS--GM KIBARKAN JP DAN TEMPO
Dalam buku ini juga dilengkapi profil dan peran pemegang saham JP dalam mendirikan, membesarkan majalah Tempo maupun harian Jawa Pos. (Baca buku 3). Mulai Ciputra, Eric Samola, Fikri Jupri, Lukman Setiawan, Harjoko Trisnadi dan Ratna Dewi Wonoatmodjo biasa disapa Cik Wenny.
Dan tentu saja ikon buku ini yang saling berseteru. Dahlan Iskan (Dis) dan Goenawan Mohamad (GM). Khusus Dis dan GM juga dilengkapi peran, kiprah dan jasa masing masing. Bagaimana Dis membesarkan JP Group. Begitu pula sejarah GM membesarkan majalah Tempo.
Juga intrik intrik di internal Majalah Tempo. Wabilkhusus soal kesejahteraan karyawan dan pembagian saham majalah Tempo dan JP yang didominasi segelintir pendiri Tempo. Yakni, GM dan Fikri Jupri.
Yang akhirnya membuat sebagian pendiri majalah Tempo merasa tidak puas. Akhirnya Syu'bah Asa dkk eksosdus dari Tempo. Mereka mendirikan majalah Editor. Tandingan Tempo.
Juga cerita koresponden Tempo di pelosok Nusantara yang nasibnya terabaikan.
Juga ada cerita di balik pembredelan Tempo 1994 yang menjadikan GM dkk melakukan perlawanan bawah tanah terhadap rezim Soeharto.
Dengan proyek Blok M-nya GM kemudian dicap intel sebagai orang paling berbahaya di Indonesia saat itu.
GM meski kaya raya tapi penampilannya bersahaja. Makanya, orang Tempo menjuluki sebagai kapitalis malu malu kucing.
Beda dengan Fikri Jupri yang penampilannya sedikit glamour. Tak menutup diri bahwa dia kaya.
Juga kisah Dis menapaki dunia jurnalistik dengan bergabung harian Mimbar Masyarakat di Samarinda, Kaltim merangkap koresponden majalah Tempo. Bahkan Dis pernah berselingkuh menjadi koresponden Harian Kompas.
Siapa sangka masa kecil Dis yang pahit. Harus jalan 14 kilometer saat pergi pulang sekolah hanya cekeran. Kelak menjadi orang terkaya di Indonesia no 90 seperti dirilis Globe Asia pada 20 Maret 2017 dengan jumlah kekayaan USD 797, 4 di atas Surya Paloh, Bos Media Indonesia Group.
Bahkan kekayaan Dis mengalahkan putra putri Cendana, anak anak Soeharto. Yakni. kekayaan Bambang Trihatmojo yang menempati no 124 orang kaya Indonesia.
Sedangkan Mbak Tutut menempati no 132 dengan kekayaan USD 651 juta.
Tapi, kekayaan Dis kalah dari pemilik Kompas Gramedia Group yakni, Jacob Oetama dan putranya Lilik Oetama yang menempati no 21 orang paling tajir di Indonesia. Kekayaan Jacob menembus USD 2,3 miliar.
Tapi, orang dekat Dis tidak yakin pria kelahiran Takeran, Magetan, Jatim itu sekaya seperti ditulis Globe Asia.
Mengapa? Karena masih bercampur dengan aset aset milik JP Group.
Lalu berapa kekayaan Dis sebenarnya?
"Ya.. mungkin sekitar Rp 1 triliun, " kata orang dekat Dis tadi. Setelah berkuasa 36 tahun sejak diangkat jadi Redpel JP tahun 1982 dan dicopot dari CEO JP pada Juni 2018.
Mengapa Dis dan ahli warisnya Azrul Ananda begitu mudah didepak dari JP Group. (Baca: analisa senior JP. Abror, Suhu, Eri Suharyadi, Ferry is Mirza dan senior lainnya)
Buku juga dilengkapi cerita kiprah Dis, Suhu dkk dalam membesarkan JP. Ada juga cerita seribu kesalahan Dis yang berakibat JP merugi Rp 50 miliar. Tapi, kerugian tak terlihat karena Dis juga menghasilkan triliunan rupiah untuk JP.
Juga , dilengkapi beragam komentar karyawan JP terhadap sosok Dis yang kontroversial dalam memimpin JP Group.
Salah satunya cerita Amu atau Abdul Muis.
Ceritanya, saat itu tahun 1987, Amu ditugasi meliput Persebaya saat tandang ke Ujungpandang, kini Makassar melawan PSM.
Lalu berlanjut ke Irian Jaya kini Papua melawan Persipura Jayapura.
Usai jepret jepret di lapangan, Amu buru buru lari ke bandara Hasanuddin menitipkan satu rol film ke penumpang yang akan mendarat di Surabaya.
Amu dengan semangat 45 menulis pertandingan Persebaya vs PSM dan pernak perniknya sampai sepuluh angle atau berita.
Sayang semua berita tak bisa dikirim ke Surabaya dari laptop yang dibawa Amu. Selain laptop saat itu barang baru dan mahal. Juga tak banyak wartawan yang bisa mengoperasikan selain orang IT.
Belakangan diketahui ada tombol di laptop yang dipencet almahum Mas Tony saat liputan di Bangkok belum dikembalikan ke posisi semula. Tony juga gagal kirim berita dari Bangkok.
Apes. Saat laptop dibawa Amu ke Makassar juga gagal kirim berita. Gegara tombol tadi.
Karena kesulitan kirim berita, Dis malam itu bolak balik telpon Amu, sambil marah marah sampai tengat deadline.
"Saya juga stres berat ditelepon terus Pak Dahlan. Minta tolong orang Telkom juga tidak bisa," aku Amu.
Emosi Dis belum reda meski sudah berganti hari. Makanya, begitu melihat foto Amu yang sudah dicetak, Dahlan merobek foto satu rol jadi kecil kecil.
Dis sudah terlanjur kecewa karena beritanya tidak bisa dikirim.
Kurang ajarnya Dis, sobekan foto tadi sengaja ditaruh di laci Amu.
Begitu usai liputan, saat balik ke kantor JP Kembang Jepun, betapa kagetnya Amu mendapati foto hasil jepretannya di Makassar dirobek robek. Jadi kecil kecil. Pelakunya Dahlan. Darah Amu langsung mendidih.
"Jancok... Dahlan golek foto soro soro disuweki (cari foto susah susah dirobeki)," teriak Amu.
Seisi kantor JP Kembang Jepun kaget mendengar Amu misuh misuh.
Termasuk Dahlan yang posisinya tak jauh dari Amu.
Seperti biasanya Dis tak bereaksi, pura pura tidak mendengar.
Apalagi mengakui sebagai penyobek foto Amu. Tidak akan dilakukan Dis ha..ha gengsi sebagai pimpinan.
Melihat itu Amu kian kesetanan. Tiba tiba gubrak.... kaki Amu menendangi meja kursi guna melampiaskan kekesalanya pada Dis.
Sambil ngomel nggomel Amu terus menyepaki meja kursi.
Setelah puas malampiaskan kekesalannya, Amu ngeloyor pergi meninggalkan kantor.
"Pokoke emosi poll saat itu. Apalagi Dahlan merasa tidak berdosa. "
**
Penulis secara subyektif. Sekali lagi secara subyektif memilih sosok almahum Sholihin Hidayat sebagai Pimred paling wani dalam arti sebenarnya.
Suatu ketika kantor JP Karah Agung digerudug ormas pemuda yang protes pemberitaan. Orang JP kalang kabut, tak bisa mengatasi.
Tiba tiba Sholihin lantang berteriak. "Allahu Akbar! Walaupun jumlah ormas datang berkali lipat, saya tidak takut. Yang saya takuti hanya Allah SWT, " pekik Hin lantang.
Semua karyawan JP terhenyak. Juga massa ormas yang menggerudug. Mereka kaget tidak menyangka Hin begitu berani. Benar benar Hin bertindak heroik saat itu.
Massa ormas yang sebelumnya garang berubah lunak. Para senior JP dan Dis yang semula kewalahan dilabrak ormas tadi akhirnya plong.
Hin inisial Sholihin juga dikenal independen. Dis saja segan intervensi. Saat Hin jadi Pimred, karyawan JP paling banyak diangkat jadi pegawai tetap.
Penulis juga memilih sosok Santoso Bondhet. STS inisial Santoso saat jadi redaktur hidupnya mapan. Punya tiga rumah dengan tunggangan roda empat.
Setelah pensiun hidupnya berubah 180 derajat. Harta habis ditipu rekan bisnis.
Santoso kini hidup nomaden. Dari satu kontrakan pindah ke rumah kontrakan lain setiap tahun. Hidup keseharian Santoso hanya mengandalkan dagangan istrinya nasi kuning.
Kondisi yang dijalani Santoso ini ibarat potret umum para pensiunan JP. Tapi, hebatnya Santoso menjalani dengan tabah. Tanpa berkeluh kesah.
Di usia senjanya, Santoso juga digerogoti aneka penyakit. Terakhir terserang stroke.
Menyerahkah Santoso? Ini hebatnya Santoso, stroke justru menginspirasi melahirkan buku terkait pengalaman terserang stroke.
Buku ditulis sendiri, diedit sendiri, di lay out, dicetak dan dijual sendiri. Itu tak banyak dilakukan pensiunan JP.
Di tengah keterbatasan hidupnya, Santoso cukup produktif. Belasan buku hasil karyanya sudah dicetak. Mulai biografi sampai novel. STS juga rajin menulis di media online dan cetak. Semangatnya luar biasa dalam menulis. Ini sangat menginspirasi. Seperti tagline CowasJP, perkumpulan pensiunan karyawan JP.
Menulis sampai tuwek. Itu tercermin dalam diri Santoso Bondhet.
Dalam buku ini juga memuat nama nama daftar pejuang Jawa Pos Group yang sudah meninggal dunia.
Ini sebagai bentuk penghormatan kepada para almarhum dan almarhumah yang sudah berjuang ikut membesarkan JP menjadi imperium seperti sekarang ini.
Yang terdata meninggal baru 153. Hampir dipastikan jumlahnya terus bertambah.
Mungkin ada yang tercecer. Belum terdata. Sudah meninggal tapi belum tercatat. Atau ada yang baru meninggal.
Saat buku ini naik cetak, saudara kita senior JP almarhum Mas Tony dan almarhum Zahidin Muntaha, Direktur Radar Bojonegoro, dipundhut (dipanggil) Illahi. Jadi, tidak sempat ditulis dalam buku ini.
Moga semua dosa, salah, khilaf semua almarhum, almarhumah saudara kita, para pejuang JP diampuni Allah SWT. Aamiin..Alfateha.
Buku ini cukup
"mengenyangkan" bagi pembacanya meski tentu banyak kekurangannya di sana sini.
Salam penulis Bahari.(HABIS)