COWASJP.COM – WAKTU berlalu begitu cepat. Tanpa terasa, sekarang kita berada di halaman depan tahun baru 2022. Apa yang dapat kita kenang di masa setahun lalu? Lebih banyak mana yang baik dan buruk? Yang menyenangkan dan menyedihkan? Lalu apakah akan ada prospek yang menggembirakan bagi anak bangsa untuk tahun yang baru berjalan ini?
Tentu saja, semua berharap kehidupan yang lebih baik sepanjang tahun “macan air” ini. Begitu juga di waktu-waktu yang akan datang.
Bagaimanapun, begitu banyak persoalan yang dihadapi anak bangsa setahun lalu. Salah satunya, misalnya, adalah pandemi Covid-19. Dengan segala permasalahannya. Dengan segala kesan ketidaksiapan pemerintah dalam mengatasinya. Dan kesulitan yang dihadapi rakyat banyak, khususnya kelompok ekonomi kelas bawah. Sementara di waktu yang sama justru dunia maya kita diramaikan lagi oleh terbongkarnya skandal bisnis PCR oleh pejabat tertentu. Yang sejatinya memalukan.
Karenanya semua berharap persoalan wabah Covid-19 itu berakhir tahun ini. Meskipun tidak sedikit pemberitaan tentang mulai ditemukannya gejala Covid varian Omicron yang cukup menakutkan.
Meski demikian, umat Islam sebagai bagian terbesar dari bangsa ini merasakan sesuatu yang tidak mengenakkan sampai akhir tahun lalu. Satu hal yang patut dicatat adalah soal radikalisme, ekstrimisme, intoleransi bahkan terorisme yang disematkan kepada sebagian umat Islam. Tuduhan-tuduhan yang tidak henti dilemparkan.
BACA JUGA: Ferdinand Offside
Hal ini antara lain berujung pada pembubaran ormas Islam seperti Front Pembela Islam (FPI), Rabu, 30 Desember 2020. Setelah setidaknya 4 ormas Islam lain – Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Aliansi Nasional Anti-Syi’ah (Annas), Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT) dan Majelis Mujahiddien Indonesia (MMI) – sebelumnya juga dinyatakan bubar. Secara otoriter. Tidak melalui keputusan sebuah pengadilan yang fair.
Semua itu menggambarkan betapa semangat Islamofobia itu begitu terasa muncul di kalangan penguasa.
Bila kita telusuri kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), khususnya di periode kedua ini, terasa sekali berbagai tindakan yang tergolong Islamofobia itu begitu meluas. Menteri Agama terdahulu, Jenderal (Purn) Fachrul Razi, begitu gencar bicara tentang radikalisme Islam. Bahkan terkesan tiada hari baginya untuk tidak bicara tentang radikal-radikul.
BACA JUGA: Siapa yang Tanggung Malu?
Sudah jadi buah bibir di kalangan publik. Bagaimana Menag Fachrul Razi menggambarkan ciri-ciri orang yang disebut radikal. Seperti: Good looking, penguasaan bahasa Arab bagus, hafiz qur’an dan sebagainya. Pandangan Menag ini kontroversial. Memancing reaksi beragam dari kalangan Islam. Seolah Menag menyampaikan tuduhan yang tidak masuk di akal. Bicara tentang sesuatu tanpa data yang memadai.
Ketika kemudian Jokowi mengganti Fachrul Razi dengan Yaqut Cholil Qoumas, ternyata situasi yang dihadapi umat Islam tidak jauh berbeda. Kalau Fachrul Razi lebih banyak bicara tentang radikal-radikul, Menag Yaqut terkesan lebih suka mengumbar narasi toleransi. Yang kebablasan. Dengan menyokong tanpa reserver apa yang disebut moderasi beragama. Yang membuat keterbelahan umat semakin menganga lebar. Karena toleransi antar umat beragama itu diterjemahkan secara membabi buta. Sesuai sikap dan pandangan Menag dan kelompok tertentu.
Sebuah kenyataan yang aneh, Islamofobia di negeri ini kian meningkat. Ketika kebijakan anti-islam di Amerika Serikat justru mereda. Soalnya, Selasa (14/12/2021) DPR AS menyetujui RUU yang diajukan Fraksi Partai Demokrat, terkait pendirian kantor khusus untuk memerangi Islamofobia di negeri Paman Sam itu.
DESAIN GRAFIS: aktualnews.co.id
Sejak terjadinya serangan 11 September 2001 terhadap menara kembar the World Trade Center (WTC) di New York AS, sangat terasa pemerintahan negeri ini berkiblat ke sana. Karenanya masuk akal aksi penumpasan terorisme dan ucapan radikal-radikul dari para elit kita begitu luar biasa. Sekarang, apakah karena kita sudah berkiblat ke Beijing, sehingga sikap dan kebijakan Islamofobia yang mulai ditinggalkan Amerika itu tetap kita pertahankan?
UMAT ISLAM DI TAHUN MACAN AIR
Tentu saja seluruh anak bangsa mendambakan kehidupan yang aman damai di tahun 2022 ini. Menurut pakar Fengshui Yulius Fang, tahun macan air ini datang 60 tahun sekali dalam kalender Cina. Terdiri dari dua elemen, yaitu Macan Besar yang berarti pohon dan Air Besar yang berarti laut atau sungai. Macan Besar memiliki sifat positif. Yaitu kuat, berani, kokoh, gesit, percaya diri, baik hati dan pemberani. Sedangkan Air Besar juga memiliki sifat positif. Yakni adaptif, bijak, cerdas kreatif, berhati-hati dan sosialisasinya tinggi.
Pertanyaannya, apakah hal-hal yang positif itu akan terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita dalam satu tahun ke depan ini? Tidak seperti tahun lalu, yang ditandai bencana Covid 19 yang memakan begitu banyak korban jiwa dan kesengsaraan rakyat jelata. Dan tidak henti-hentinya terjadi kegaduhan dalam percaturan politik, ekonomi dan hukum.
Setidaknya kita mencatat adanya sejumlah kasus korupsi besar yang menggemparkan bangsa ini setahun lalu. Sebut saja misalnya kasus korupsi bansos. Yang menyebabkan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dijatuhi pidana 12 tahun penjara. Begitu juga kasus korupsi Pelindo II, Asabri, Jiwa Sraya dan Bank Century. Yang menyebabkan negara rugi puluhan triliun.
Dalam bidang politik ada pembubaran ormas Islam seperti front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan beberapa ormas Islam lainnya. Bahkan tahun lalu kita menyaksikan pemenjaraan sejumlah aktifis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Yaitu Juliana, Devi, Khairi Amri, Wahyu Rasari Putri yang ditangkap di Medan. Dan Anton Permana, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Kingkin di Jakarta. Begitu juga penangkapan dan pemenjaraan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab (HRS). Tidak kecuali tindakan aparat menembak mati 6 lasykar FPI.
Stigma penegakan hukum yang tumpul ke atas tajam ke bawah sepertinya terealisir dalam kehidupan nyata dan sulit untuk dibantah. Kita berharap tahun ini bisa merasakan kehidupan yang lebih nyaman dibanding apa yang kita alami tahun lalu. Tapi hal itu tampaknya hanya akan jadi mimpi di siang bolong.
Baru saja kita menyaksikan betapa ramainya di media sosial unggahan tentang Habib Bahar bin Smith (HBS), yang dalam ceramahnya menyinggung Kasad Jenderal Dudung Abdurachman. Karena mantan Pangdam Jaya dan Pangkostrad itu mengatakan Tuhan bukan orang Arab. Lalu HBS dilaporkan ke Bareskrim Polri. Dalam tempo singkat dia disidik di Polda Jabar dan langsung ditetapkan sebagai tersangka. Ternyata, dalam kasus yang tidak ada kaitannya dengan konfliknya dengan Kasad Dudung Abdurachman.
Dan dalam tempo yang hampir bersamaan, seorang Ferdinand Hutahaean membuat cuitan di media sosial Twitter. Dengan mengatakan Allah itu lemah. Sedangkan Allahnya sendiri luar biasa kuat. Karena itu, sejumlah pihak melaporkannya kepada pihak berwajib. Lantaran cuitannya di media sosial Twitter itu diduga mengandung unsur kebencian dan bertendensi SARA. Lalu, apakah kasus ini segera diproses cepat, secepat pemrosesan kasus HBS Banyak yang meragukan, memang. Karena mantan politisi Partai Demokrat itu adalah buzer dan influencer pemuja Jokowi.
Kebijakan pemerintahan Jokowi yang tidak segera memproses laporan masyarakat terhadap oknum-oknum pemujanya tentu mengecewakan banyak kalangan. Ketika para pengkritik pemerintah justru cepat sekali diproses dan dibui.
Karenanya, kondisi umat Islam Indonesia di tahun macan air ini rasanya tidak akan jauh berbeda dengan tahun-tahun terdahulu. Kebijakan politik belah bambu yang diterapkan sejauh ini, mulai dari periode pertama sampai kedua pemerintahan Jokowi, tetap berlangsung sama. Anak bangsa terpecah belah. Bukan hanya antara yang muslim dan non muslim. Tapi juga antara pemuja dan pengkritik Jokowi. Angan-angan untuk merasakan “equality before the law” atau kesamaan di depan hukum hanyalah ibarat pungguk merindukan bulan.
Apalagi tahun ini akan ditandai dengan dimulainya kesibukan sejumlah elit, mempesiapkan diri dalam menyongsong Pilpres 2024. Dengan begitu, ketegangan secara politik tentu akan meningkat. Kita tidak tahu pasti, meski terus berharap, akan tampilnya “sang satrio piningit”. Yang akan mampu memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara kita ke depan. (*)
Nasmay L. Anas, wartawan senior di Bandung dan pemerhati persoalan publik.